Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MENJADI raksasa oleochemical di Indonesia ternyata bukan perkara gampang. Itulah yang kini disadari Susanto Lim, bos Domba Mas Group. Berbekal kucuran kredit Bank Mandiri, di bawah bendera Sawit Mas Group, ia berencana membangun kompleks oleochemical terpadu di Kuala Tanjung, 150 kilometer ke arah timur dari Medan, Sumatera Utara.
Proyek yang bertetangga lokasi dengan PT Indonesia Asahan Aluminium itu merupakan ekspansi bisnis Susanto sebelumnya di kebun sawit dan pabrik minyak sawit (crude palm oil). Ia juga dikenal sebagai pemilik pabrik bingkai dan lensa kacamata di Tanjung Morawa serta peternakan babi di Tiga Runggu, Simalungun.
Bila terwujud, kompleks seluas 50 hektare itu kabarnya akan menjadi yang terbesar di Indonesia?melebihi kilang milik Salim Group dan Sinar Mas Group. Tahap pertama berupa kilang berkapasitas 300 ton per hari yang memproduksi fatty acid dan glycerine. Keduanya bahan setengah jadi untuk memproduksi kosmetik, produk farmasi, pasta gigi, dan sabun. Sebagian besar hasil produksinya akan diekspor.
Tahap kedua berupa kilang berkapasitas 100 ton per hari yang menghasilkan fatty alcohol, bahan setengah jadi untuk membuat detergen dan produk kebersihan lain. Sebagian kecil fatty acid dari kilang pertama akan menjadi bahan baku fatty alcohol ini. "Kedua kilang dibangun menggunakan teknologi Lurgi Life Science dari Jerman," kata Michael Utama Purnama, Direktur Utama Domba Mas.
Untuk pemasaran hasil produksi, PT Domas Agrointi Prima, anak perusahaan Sawit Mas Group, telah menjalin kontrak dengan Procter & Gamble Chemicals, raksasa produk konsumsi dari Amerika. P & G akan membeli produk Sawit Mas Group selama lima tahun senilai US$ 200 juta atau setara dengan Rp 1,8 triliun.
Menurut rencana, kilang tahap pertama akan rampung dan mulai berproduksi pada kuartal ketiga tahun ini. Kilang kedua akan dibangun sesudah kilang pertama selesai. Namun, menurut pengamatan TEMPO pada pertengahan Juli, pembangunan kilang tampaknya bakal meleset dari jadwal.
Di lokasi pembangunan pabrik itu, yang dijaga ketat dan dikelilingi pagar setinggi lima meter, tampak baru satu pipa menara terpancang. Sebagian besar konstruksi bangunan lainnya masih berupa kerangka baja dan beton. Kegiatan pekerja yang bisa dilihat adalah menimbun kawasan pabrik yang masih berupa rawa.
Truk-truk tronton yang masuk ke area kilang lebih banyak membawa tanah, pasir, dan batu untuk menimbun lokasi ketimbang membawa peralatan pabrik. Tak terlihat tenaga ahli atawa konsultan asing yang ikut membantu pembangunan kilang itu.
Ermis Tanjung, staf hubungan masyarakat Domba Mas di Kuala Tanjung, mengakui pembangunan pabrik baru memasuki tahap pemasangan instalasi mesin dan tangki. "Peralatannya belum datang dan belum bisa dikatakan sebagai pabrik," katanya. Selebihnya Ermis mengunci mulut, khawatir ditegur atasan di Medan.
Yang lebih mengejutkan, para pekerja kontrak mengeluh pembayaran gaji mereka kerap terlambat. Umumnya buruh harian lepas di sana mendapat Rp 21 ribu-Rp 35 ribu per hari. Tak ada tunjangan lainnya. Syahrul, seorang subkontraktor pemasok bahan pembangunan tangki dan pipa, mengaku enam bulan terakhir bahkan belum menerima bayaran dari Sawit Mas. Ia jadi sulit membayar gaji 25 karyawannya. "Pusing kepala saya," katanya bersungut.
Saat ini jumlah pekerja kontrak di kompleks oleochemical Sawit Mas diperkirakan 200 orang. Selebihnya, sekitar 50 orang, merupakan karyawan Sawit Mas yang bertindak sebagai pengawas dan petugas keamanan. Mereka biasanya tinggal di rumah penduduk yang disewa perusahaan sebagai mes. Sebagian lainnya tidur di bedeng darurat di dalam kompleks pabrik.
Entah apa yang membuat proyek itu tersendat dan pembayaran gaji pekerjanya terlambat. Yang jelas, Bank Mandiri bakal ikut ketiban pulung. Sejauh ini, Domba Mas telah menerima kucuran kredit dari bank bersimbol pita emas itu sebanyak Rp 1,15 triliun. Tersendatnya pembangunan kilang dikhawatirkan mempengaruhi kemampuan Domba Mas membayar angsuran utang. Bila kredit Domba Mas seret, tentu beban Bank Mandiri akan bertambah.
Soalnya, tahun lalu kredit seret (non-performing loan) si Pita Emas telah meningkat 37,4 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya, dari Rp 4,76 triliun menjadi Rp 6,54 triliun. Kredit seret kotor meningkat dari 7,3 persen menjadi 8,6 persen, kendati sampai kuartal pertama tahun ini persentasenya turun sedikit menjadi 8,4 persen. Begitu juga kredit seret bersih naik dari 1,6 persen pada 2002 menjadi 1,8 persen pada 2003. Pada semester pertama tahun ini, kredit seret bersih turun kembali menjadi 1,6 persen.
Pejabat bank sentral dua pekan lalu telah memanggil manajemen Bank Mandiri dan menanyakan pengelolaan kredit seret itu. "Panggilan itu bisa juga diartikan sebagai teguran," kata Viraguna Bagoes Oka, Deputi Direktur Pengawasan Bank Pemerintah di Bank Indonesia. BI, kata Viraguna, sedang melakukan penelitian terhadap kredit-kredit besar Bank Mandiri.
Termasuklah kredit di Domba Mas. "Kami menilai risk profile setiap debitor," ujarnya. Pekan ini pertemuan antara BI dan Bank Mandiri tentang masalah tersebut akan digelar kembali. Sebelumnya, tak kurang dari Gubernur BI Burhanuddin Abdullah telah meminta Bank Mandiri tegas menangani kredit seretnya. Bila tidak, dalam jangka panjang, kredit seret ini akan menjadi beban bagi ekonomi Indonesia. "BI akan terus mengawasi kondisi kredit seret Bank Mandiri," kata Burhanuddin, "Bila kredit seret bertambah, bank sentral akan meminta Bank Mandiri mengambil tindakan tertentu." Menanggapi permintaan itu, Bank Mandiri cukup sigap. Beberapa waktu lalu, Direktur Utama Bank Mandiri, E.C.W. Neloe, telah meminta Lativi, salah satu debitornya yang bermasalah, menyerahkan aset senilai Rp 200 miliar sebagai jaminan utang.
Tapi, terhadap Domba Mas, Neloe belum bertindak. Soalnya, kata Neloe, sejauh ini Domba Mas masih lancar mencicil utang. "Pokoknya, kredit Domba Mas tidak macet," katanya pendek. Senior Vice President Bank Mandiri, Koen Sardjono Sadrie, meneguhkan ucapan bosnya. Lewat keterangan tertulis, ia menjelaskan, berdasarkan kajian pemeriksa dari luar, yaitu Ernst and Young, per 31 Maret 2004, kredit Domba Mas tergolong lancar atau kolektibilitas satu.
Keterangan senada datang dari Michael Utama. Ia mengaku masih rutin membayar cicilan setiap tiga bulan ke Bank Mandiri kendati cuma bunganya. "Jadi, tak bisa disebut macet," ujar profesional yang sebelumnya pernah bekerja di Gudang Garam dan Raja Garuda Mas itu. Duit untuk membayar cicilan kredit ini berasal dari penjualan crude palm oil dari kebun sawit seluas 92 ribu hektare di Jambi. Menurut Michael, pihaknya tak pernah diminta menyerahkan aset untuk membayar utang.
Ihwal pabrik oleochemical di Kuala Tanjung, Michael juga membantah proyek itu tersendat. Fisik proyek, menurut dia, sudah 70 persen selesai. Memang agak mundur dari jadwal semula. Kendalanya, lokasi proyek adalah tanah bekas rawa sehingga tiang pancang harus dilesakkan hingga 15 meter ke dalam tanah. Dan itu memakan waktu lebih lama. "Mungkin akhir tahun ini pembangunan baru selesai," katanya. Michael pun menampik keterlambatan membayar gaji karyawan.
Michael meyakinkan, pabrik oleochemical kelak akan menjadi tambang emas bagi Domba Mas. "Ini adalah usaha yang prospektif," katanya, tetap dengan nada optimistis. Tapi itu semua baru menjadi kenyataan jika perusahaan ini mampu melewati jalan terjal yang masih membentang di depan mata. Dan lagi, risiko kegagalan Domba Mas tak cuma bakal menimpa Susanto Lim, tapi juga Bank Mandiri jika kredit itu benar-benar macet.
Nugroho Dewanto, Taufik Kamil, Bambang Soedjiartono (Medan), Hambali Batubara (Kuala Tanjung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo