Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Manis Tebu di Bibir Importir

Ribuan ton gula bagian petani tebu menumpuk di pabrik-pabrik milik badan usaha milik negara. Mengejar janji importir. 

19 September 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Pekerja menurunkan tebu saat proses giling di Pabrik Gula (PG) Tjoekir, Jombang, Jawa Timur, 2016. ANTARA/Syaiful Arif

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Ribuan ton gula bagian petani belum terjual.

  • Buntut kesepakatan yang dipicu lonjakan harga.

  • Transaksi baru di PTPN XI yang digugat petani.

APA yang disepakati di atas meja belum tentu berjalan di lapangan. Soemitro Samadikoen sadar akan situasi itu. Dan, sudah menjadi tugas Soemitro, Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional Andalan Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI), untuk mengejar pelaksanaan kesepakatan yang diteken bersama importir pada 16 Juli lalu. “Ada yang sudah memenuhi kesepakatan. Ada yang sebagian, ada yang belum sama sekali,” kata Soemitro, Jumat, 11 September lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Soemitro saban hari mencatat importir gula mana saja yang telah membeli gendis milik petani. Hingga dua pekan lalu, baru 52 ribu ton gula petani tebu yang telah ditebus importir. Angka itu masih jauh dari kesepakatan 16 Juli, ditambah kesepakatan 20 Juli, yang mewajibkan importir membeli 521.786 ton gula bagian petani. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pakta 16 dan 20 Juli 2020 adalah buntut dari anjloknya harga gula lokal sejak awal tahun. Sejak musim giling tebu kuartal kedua tahun ini, harga gula lokal jatuh di kisaran Rp 10 ribu per kilogram, baik di pasar lelang maupun di distributor besar. 

Harga tersebut memang sudah di atas harga pokok pembelian gula Rp 9.100 per kilogram. Namun petani menilai harga itu tidak manusiawi. Harga pokok pembelian itu adalah hasil penghitungan 2016 yang tidak kunjung diperbarui. 

APTRI bergerilya sejak awal Juni, meminta perbaikan harga beli gula lokal. Tujuan mereka cuma satu: mendorong pemerintah mewajibkan importir membeli gula petani dengan harga lebih tinggi. Bagi petani yang tergabung dalam APTRI, importir gula sudah mengeruk untung sejak awal tahun, ketika dibolehkan mengimpor 988.802 ton gula. 

Pemerintah, pada Maret lalu, membuka keran impor lantaran harga gula berada di kisaran Rp 16-18 ribu per kilogram, jauh melompati harga eceran tertinggi Rp 12.500, buntut dari langkanya pasokan dalam negeri. APTRI menaksir importir ketiban untung segunung karena rata-rata harga gula impor cuma Rp 7.000 per kilogram. “Kami minta kelonggaran hati mereka. Tolong bantu kami. Jangan menghindar,” tutur Soemitro. 

Petani mengangkat tebu hasil panen di lahan milik petani mitra PT Perkebunan Nusantara (PTPN) X di Malang, Jawa Timur, 24 Agustus lalu. ANTARA/Ari Bowo Sucipto

Setelah melalui sejumlah korespondensi, rapat kerja dengan parlemen, serta dialog dengan Kementerian Koordinator Perekonomian dan Kementerian Perdagangan, akhirnya pemerintah mau menengahi APTRI dan importir. Pada 16 Juli, di kantor Kementerian Koordinator (Kemenko) Perekonomian, pemerintah menugasi 12 importir gula menyerap 496 ribu ton gula petani yang berada di pabrik-pabrik gula badan usaha milik negara. Pada 20 Juli, satu importir, PT Primus Sanus Cooking Oil Industrial, menyusul kesepakatan itu dan berkomitmen menyerap 25.786 gula petani. Dengan demikian, total komitmen penyerapan oleh importir menjadi 521.786 ton. 

Ketua Umum Asosiasi Gula Rafinasi Indonesia Benardi Dharmawan mengatakan, saat kesepakatan itu dibuat, harga jual gula putih lokal dari pabrik ke pedagang besar alias distributor berada di rentang Rp 10.400-10.500 per kilogram. Petani lewat APTRI kemudian meminta importir membeli gula mereka dengan harga Rp 11.200 per kilogram. “Penentuan angka itu atas permohonan dari petani,” ujar Benardi, Kamis, 17 September lalu. “Kemenko hanya memfasilitasi. Nanti antara importir dan petani membuat kesepakatan business-to-business.”

•••

SALAH satu importir gendis yang harus membeli gula bagian petani adalah PT Kebun Tebu Mas (KTM), produsen gula swasta asal Lamongan, Jawa Timur. Hingga Kamis, 17 September lalu, pemain anyar di industri gula ini baru sanggup menyerap 14.110 ton dari kewajiban serap 19.840 ton. “Karena ada gula petani yang sudah dijual,” kata Adi Prasongko, bekas petinggi PT Perkebunan Nusantara (PTPN) yang menyeberang menjadi penasihat KTM, saat dihubungi pada 17 September lalu. 

Berlokasi di Lamongan, KTM harus mendatangi sejumlah pabrik gula BUMN di Jawa Timur untuk menunaikan kewajibannya. Dari Pabrik Gula (PG) Tjoekir di Jombang, misalnya, KTM membeli gula petani sebanyak 1.090 ton dengan harga yang sudah disepakati, yakni Rp 11.200 per kilogram.

KTM juga mendatangi PG Meritjan di Kediri, PG Djombang Baru di Jombang, PG Rejoagung Baru di Madiun, PG Krebet Baru di Malang, dan PG Candi Baru di Sidoarjo. Pada penyerapan periode kedua, mereka mendatangi PG Kebonagung di Malang, PG Lestari di Kertosono, PG Kedawung di Pasuruan, dan PG Semboro di Jember. 

Soemitro Samadikoen menyebut KTM sebagai salah satu importir yang tertib menjalankan kewajiban itu. “Bukan bermaksud mengunggulkan KTM atau menyudutkan yang lain. Yang lain pelan-pelan menyerap juga,” ucapnya. Selain KTM, ada sejumlah perusahaan yang sudah mulai menyerap gula petani, seperti PT Angels Products.

Namun kesepakatan tanpa harga mengikat pada 16 dan 20 Juli lalu itu kini berbuntut panjang. Tidak semua importir langsung mau membeli gula petani. Sekarang ribuan ton gula bagian petani tak kunjung terjual dan menumpuk di gudang-gudang pabrik gula BUMN. 

Di antaranya gula milik Mohammad Wahyudi, 37 tahun, petani tebu asal Kediri yang menyetorkan tebunya ke PG Ngadirejo milik PTPN X. Dari 30 rit truk tebu yang dia kirim sejak Mei lalu, baru 10 rit yang telah menjadi uang. Satu rit truk biasanya berisi 7-8 ton tebu. “Sisanya belum laku-laku,” tutur Wahyudi saat dihubungi pada Sabtu, 19 September lalu. 

Situasi ini menjepit petani yang terikat bagi hasil seperti Wahyudi. Mayoritas petani menjual tebu ke pabrik-pabrik gula BUMN dengan skema ini. Petani menyetor tebu lewat koperasi atau perwakilan APTRI, dan baru menerima sebagian hasil penjualan tebu bila gula yang telah digiling pabrik telah terjual ke distributor besar.

Bagi petani yang relatif lebih kecil, mereka punya opsi menjual putus tebu ke pok-pokan, pengepul versi Kediri dan sekitarnya. Sedangkan petani yang lebih besar dan ingin menjual tebu secara putus biasanya lari ke pabrik tebu swasta, seperti KTM dan PT Rejoso Manis Indo di Blitar, Jawa Timur. 

Nasib petani bagi hasil tetap bergantung pada PTPN. Mereka inilah yang kini menjadi pasien APTRI. “Kalau yang jual putus, kami tidak ada urusan,” ujar Soemitro. 

Anggota Komisi Perdagangan Dewan Perwakilan Rakyat, Marwan Ja’far, mendesak pemerintah menertibkan importir agar memenuhi janji menyerap gula petani. Menurut dia, bola persoalan ini sekarang memang di pemerintah. “Pemerintah harus menjamin komitmen importir itu dipenuhi,” kata politikus Partai Kebangkitan Bangsa tersebut pada Sabtu, 19 September lalu. 

Sementara itu, Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Agribisnis Kementerian Koordinator Perekonomian Musdhalifah Machmud berjanji menindaklanjuti perkembangan kesepakatan antara importir dan petani. “Sedang dianalisis perkembangannya,” katanya, Jumat, 18 September lalu. 

Di tengah penantian sisa-sisa gula bagian petani laku, kabar mengejutkan datang dari PTPN XI. Pada 7 September, BUMN yang mengelola 14 pabrik gula di Jawa Timur itu menjual 42 ribu ton gula ke PT Agro Tani Nusantara, bagian dari Artaguna Sentosa (Grup AGS), seharga Rp 10.425 per kilogram. Gula itu berasal dari gilingan tebu eks petani periode kelima-kesembilan musim giling 2020. 

APTRI langsung menggugat keputusan PTPN XI tersebut karena menganggapnya menyalahi perjanjian. Menurut Didik Purwanto Abdullah, Ketua Dewan Pimpinan Cabang APTRI Lumajang, APTRI dan PTPN XI sudah bersepakat hanya akan melepas gula dengan harga minimal Rp 11.200 per kilogram, sesuai dengan kesepakatan 16 dan 20 Juli bersama importir. “Yang dijual itu adalah gula bagian petani. Kenapa main tunjuk langsung tanpa lelang?” ucap Didik saat dihubungi, Jumat, 18 September lalu.

Dihubungi sejak 18 September lalu, Direktur Utama PTPN XI Tulus Panduwidjaja belum menjawab soal keputusan perusahaan menjual gula di bawah harga kesepakatan kepada importir Agro Tani Nusantara. Tulus, yang menjabat Senior Executive Vice President Business Support PTPN XI ketika transaksi penjualan dengan Agro Tani Nusantara berlangsung, baru menjadi direktur utama pada Kamis, 17 September lalu.

KHAIRUL ANAM, SUJATMIKO (LAMONGAN)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Khairul Anam

Khairul Anam

Redaktur ekonomi Majalah Tempo. Meliput isu ekonomi dan bisnis sejak 2013. Mengikuti program “Money Trail Training” yang diselenggarakan Finance Uncovered, Free Press Unlimited, Journalismfund.eu di Jakarta pada 2019. Alumni Universitas Negeri Yogyakarta.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus