Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ekonomi

Kompetisi Ketat Berburu Tebu Rakyat

Sejumlah pabrik gula milik negara di Jawa Timur mengakhiri musim giling lebih awal. Korban pertama persaingan yang kian sengit untuk mendapatkan pasokan tebu.

19 September 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Pabrik gula PTPN memilih stop giling lebih dini akibat pasokan tebu berkurang.

  • Pabrik baru penerima kuota impor gula mentah dianggap mengambil alih banyak pasokan petani rakyat.

  • Peluang baru bagi petani untuk mendapatkan cuan lebih banyak dan cepat.

WORO-WORO penting menyebar dalam waktu singkat di kalangan petani tebu di Kediri, Jawa Timur, dan sekitarnya. Isinya tentang keputusan manajemen Pabrik Gula (PG) Meritjan, pabrik yang dikelola PT Perkebunan Nusantara X (Persero), mengakhiri periode giling tahun ini pada Kamis malam, 17 September lalu. Kabar ini menyusul pengumuman serupa yang seperti berkejaran dalam dua pekan terakhir. Sehari sebelumnya, PG Tjoekir di Jombang, Jawa Timur, juga menyampaikan pengumuman stop giling mulai Rabu malam, 16 September lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Satu per satu pabrik gula di bawah PTPN X mengakhiri musim giling 2020 lebih dini dari rencana semula. “Yang sudah tutup PG Lestari di Nganjuk, PG Djombang Baru di Jombang, dan PG Kremboong di Sidoarjo,” ucap Direktur PTPN X Aris Toharisman kepada Tempo, Rabu, 16 September lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ia mengatakan pabrik-pabrik itu beroperasi tak sampai seratus hari karena kekurangan pasokan tebu. Idealnya, mesin pabrik bekerja minimal selama 150 hari dalam satu musim giling. Bila kurang dari itu, pabrik bisa dipastikan bakal merugi. Tapi keputusan terpaksa diambil, kata Aris, “Daripada saya lanjutkan giling, kondisi tertatih-tatih, on-off, on-off. Lebih baik off saja, karena nanti biaya bahan bakar akan tinggi, gulanya pun rusak.”

Selama ini, sebagian besar suplai bahan baku pabrik gula PTPN X diperoleh dari luar wilayah kerja pabrik. Masalahnya, produksi tebu tahun ini anjlok 20-30 persen gara-gara musim kering berkepanjangan pada akhir 2019. Di Jawa Timur, Aris memperkirakan, hasil panen tebu kali ini hanya 12,8 juta ton. Sedangkan kapasitas giling pabrik gula secara keseluruhan hanya sekitar 139 ribu ton per hari. Artinya, rata-rata pabrik cuma bisa menggiling selama 92 hari. Akibatnya, persaingan antarpabrik kian sengit. “Semua ingin mendapatkan tebu dengan berbagai cara,” tutur Aris.

Menurut Aris, neraca tebu makin jomplang. Jumlah pasokan dan kapasitas pabrik yang tidak seimbang telah memicu persaingan ketat untuk memperoleh bahan baku. Dampaknya, perencanaan tebang yang telah disusun berdasarkan tingkat kemasakan tebu, waktu tanam, dan lain-lain menjadi berantakan. Produktivitas pabrik pun menurun.

PTPN X, misalnya, hanya mendapat pasokan 3 juta ton tebu pada musim giling tahun ini. Jumlah itu menyusut dibanding periode giling sebelumnya yang bisa mencapai 3,3 juta ton. Akar masalahnya, kata Aris, sisi hulu dan hilir sektor pergulaan tidak lagi setimbang. Pabrik gula baru terus muncul. Sebaliknya, luas kebun tebu berkurang antara lain karena alih fungsi lahan. “Pabrik baru tidak mengembangkan lahan, tapi hanya memanfaatkan area existing yang selama ini dikelola PTPN atau PG yang sudah ada,” ujarnya.

Ketatnya kompetisi berburu tebu rakyat juga dirasakan manajemen PT Kebun Tebu Mas (KTM). Pabrik gula swasta di Lamongan, Jawa Timur, yang berkapasitas hingga 12 ribu ton cane per hari (TCD) itu hanya mengolah rata-rata 7.500-8.000 ton tebu per hari pada musim giling kali ini. Manajemen KTM mengumumkan periode giling yang dimulai sejak 1 Juni lalu akan diakhiri pada 22 September.

Artinya, mesin giling KTM hanya bekerja hampir empat bulan. Padahal pabrik yang beroperasi sejak pertengahan 2017 itu biasanya bisa menggiling selama lima-enam bulan. “Iya, rencana tutup giling, karena bahan baku habis,” kata Advisor PT KTM Adi Prasongko kepada Tempo, Kamis, 17 September lalu. Pabrik KTM selama ini menerima pasokan tebu bukan hanya dari Lamongan, tapi juga dari berbagai daerah lain di Jawa Timur, seperti Bojonegoro, Tuban, Gresik, Jombang, Mojokerto, dan Kediri.

•••

PEKAN lalu menjadi minggu yang padat bagi manajemen PT Kebun Tebu Mas. Mereka harus mengurus lahan di Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Cepu, Jawa Timur. Perseroan tengah bekerja sama dengan Perum Perhutani untuk memperluas kebun tebunya di area milik badan usaha milik negara tersebut. KTM menargetkan bisa memiliki kebun tebu pemasok bahan baku seluas 25 ribu hektare.

Kerja sama dengan Perhutani sebenarnya telah berjalan sejak awal pabrik berdiri pada 2017. Perusahaan mengajukan izin pinjam pakai seluas 12 ribu hektare. Tapi sampai saat ini yang tergarap baru 461,21 hektare. Lokasinya tersebar di lahan milik KPH Mojokerto, Jombang, Tuban, dan Bojonegoro. KTM memanfaatkan para pesanggem atau petani untuk menggarap lahan hutan tersebut.

Pemerintah, lewat Peraturan Menteri Pertanian Nomor 98/Permentan/OT.140/9/2013 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan, memang mewajibkan industri pengolahan hasil pertanian menyediakan minimal 20 persen bahan baku dari kebun sendiri. Sisanya harus dipenuhi dari kebun masyarakat atau perusahaan perkebunan lain melalui kemitraan.

Sama dengan KTM, PT Rejoso Manis Indonesia (RMI), yang mengelola pabrik gula di Blitar, Jawa Timur, juga bekerja sama dengan Perhutani. Direktur Utama RMI Syukur Iwantoro menjelaskan, perusahaannya memerlukan kebun seluas 20 ribu hektare untuk memenuhi kebutuhan bahan baku pabriknya yang berkapasitas 10 ribu ton per hari. “Kalau 20 persen, berarti 4.000 hektare (dari kebun sendiri),” kata mantan Sekretaris Jenderal Kementerian Pertanian itu, Selasa, 15 September lalu.

Pada tahap awal, RMI bekerja sama dengan Perhutani untuk menanam tebu di area seluas 2.700 hektare. Perusahaan masih memegang izin penggunaan 5.800 hektare yang akan digarap secara bertahap. Syukur menargetkan ketentuan menyediakan bahan baku sendiri sebanyak 20 persen akan terlampaui pada 2021. Adapun sisanya bakal dipenuhi dari pertanian rakyat.

Syukur juga tak khawatir mengenai urusan ini. Berdasarkan hasil survei Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pertanian, dia mengungkapkan, lahan kering yang bisa ditanami tebu di Blitar—di luar sawah dan perumahan—seluas 22 ribu hektare. “Itu belum termasuk lahan hutan,” ujarnya.

Dia memperkirakan luas lahan tebu di Blitar baru sekitar 4.000 hektare. Sekitar dua pertiga hasilnya dikirim petani ke pabrik gula RMI. Sisanya dipasok ke pabrik gula di luar Blitar, antara lain, karena telah terikat kontrak. “Mungkin karena punya utang dan sebagainya,” tutur Syukur.

Kecilnya luas kebun tebu, menurut Syukur, dipicu merosotnya animo petani yang selama ini tidak bisa hidup layak dari hasil kebunnya. Ia optimistis gairah pekebun tebu akan bangkit kembali bila kesejahteraan itu ada. Makanya, dia menambahkan, RMI membeli tebu petani dengan harga di atas rata-rata pabrik gula lain.

Dengan begitu, Syukur yakin Blitar akan kembali menjadi sentra tebu seperti dulu. Lebih dari sedekade lalu, luas area tebu di wilayah ini mencapai 10-12 ribu hektare. “Karena selama ini enggak menarik. Petani enggak punya modal, kebun jarang dipupuk. Tidak pakai bibit bagus, bahkan rata-rata ratun 8-12 tahun,” ucapnya. Padahal usia ratun alias sisa keprasan maksimal tiga tahun. Walhasil, produktivitas lahan tebu jeblok, hanya 70 ton per hektare, jauh di bawah kondisi normal 100-120 ton per hektare.

Grup PTPN pun berencana memperluas area penanaman tebu, antara lain dengan mengonversi kebun karet dan teh. Selain itu, mereka akan berkolaborasi dengan Perhutani dan pemerintah daerah untuk memanfaatkan lahan sosial dan nonsosial.

•••

MOHAMMAD Wahyudi kini memilih mengirim tebunya ke Rejoso Manis Indonesia ketimbang ke pabrik gula lain. Hampir tiap hari petani tebu asal Kediri itu mengangkut empat-lima rit truk penuh tebu —satu rit setara dengan 7-8 ton—hasil kebunnya ke pabrik di Blitar tersebut. Ia senang dengan sistem pembelian tebu RMI yang tunai.

Mekanisme jual-beli tunai alias putus ini telah lama menjadi tuntutan petani. Selama ini, petani menjual tebunya ke pabrik milik PTPN dengan skema bagi hasil. Duit baru mereka terima setelah gula terjual. Ini bisa memakan waktu beberapa bulan. Wahyudi, misalnya, juga mengirim tebu ke PG Ngadirejo, Kediri. Dari 10 rit tebu miliknya yang digiling di pabrik PTPN X itu, dia baru menerima pembayaran hasil penjualan gula dari dua rit pertama.

Pabrik selain RMI juga mulai memberlakukan sistem jual-beli putus, seperti PT Kebun Tebu Mas. Belakangan, sejumlah pabrik gula milik PTPN menerapkan skema serupa. Tapi, “Paling penak enggih RMI, harga bagus,” kata Yudi, panggilan akrab pria 37 tahun itu.

Menjelang musim giling usai kali ini, Yudi masih menjalankan truk-truknya ke RMI di Blitar. Terakhir, Ahad, 13 September lalu, dua rit tebu masuk ke mesin giling. Total jenderal, ia mengingat, sekitar 60 rit tebu telah terkirim ke pabrik baru tersebut. “Hari ini dapat Rp 81 ribu per kuintal,” ujarnya.

Truk pengangkut tebu antri sebelum proses giling di Pabrik Gula Asembagus, Situbondo, Jawa Timur, 2016. ANTARA/Seno

Ia membandingkannya dengan harga di pabrik-pabrik gula di Kediri yang hari itu membeli Rp 77 ribu per kuintal. Itu pun harga di pok-pokan alias pengepul tebu. Harga di pabrik gula malah lebih rendah. “Hitungan rendemen rendah, harga penawaran pun murah.”

Yudi dan para petani tebu lain memang sedang ketiban berkah pada periode panen tahun ini. Pasar bergairah seiring dengan beroperasinya pabrik gula baru. Akibatnya, pabrik menawarkan harga yang bersaing. Rata-rata, dalam dua atau tiga hari, ada pengumuman harga baru yang terus meningkat. “Pokoknya jorjoran,” ucapnya.  

Petani tebu kini merasa merdeka, bebas menjual hasil panennya ke pabrik mana saja yang memberikan penawaran harga tinggi. Bahkan pok-pokan pun tak mau kalah. Mereka bisa menawarkan harga di atas pabrik PTPN.

Direktur Utama RMI Syukur Iwantoro menampik bila penawaran harga RMI disebut jorjoran. Ia mengatakan tujuan RMI adalah membangun hubungan emosional jangka panjang dengan petani mitra. Dia juga beralasan perusahaan ingin mendongkrak kesejahteraan petani yang ujungnya diharapkan bisa membuat petani bersemangat lagi menanam tebu berkualitas. “Harga yang kami tetapkan itu harga yang, menurut kami, untuk petani bisa hidup layak, dan kami juga tidak merugi. Kami masih menganggapnya wajar,” ujarnya.

Direktur PTPN X Aris Toharisman merasa sebaliknya. Dia menilai ada persaingan yang tidak adil. Pabrik swasta, kata dia, mendapat kuota impor gula mentah yang relatif besar pada awal musim giling. Keuntungan besar dari berjualan gula impor itulah yang diyakini sebagai modal untuk membeli tebu petani dengan harga tinggi. “Kalau rendemen 7 (persen), dengan harga gula Rp 10.500, plus tetes dan lain-lain, harga tebu normal Rp 59 ribu per kuintal,” tutur Aris. Nyatanya, menurut dia, harga tebu di lapangan bisa melampaui Rp 70 ribu per kuintal.

Aris mengatakan, dengan tingkat rendemen tebu yang masih rendah, harga setinggi itu semestinya tidak masuk hitungan keekonomian pabrik. “Tapi swasta berani membeli dengan harga tinggi. Itu terjadi di lapangan,” ucapnya. “Kalau sama-sama tidak mendapat kuota impor raw sugar misalnya, kami masih berani bersaing.”

Pemerintah memang memberikan kuota impor gula mentah kepada sejumlah pabrik pada triwulan I 2020. Mereka ditugasi mengolahnya menjadi gula konsumsi. Kebijakan ini diambil saat pasokan gula dalam negeri menipis, hingga mendongkrak harga hingga Rp 18 ribu per kilogram.

PT Kebun Tebu Mas, PT Rejoso Manis Indonesia, dan PTPN sebenarnya sama-sama menerima kuota impor gula mentah ini. Namun kuota yang diterima PTPN hanya 26 ribu ton pada Juni 2020. Sedangkan KTM berturut-turut mendapat alokasi impor 52.140 ton untuk realisasi Oktober-Desember 2019, 35 ribu ton pada Februari-April 2020, dan 65 ribu ton pada Maret-Juni 2020. Sedangkan RMI kebagian jatah impor 60.140 ton untuk realisasi Oktober-Desember 2019, 20 ribu ton pada Februari-April 2020, dan 35 ribu ton pada Maret-Juni 2020.

Gara-gara hal ini, induk usaha PTPN berharap pemerintah memberikan kembali hak impor gula mentah kepada PTPN. Keuntungan dari penjualan gula itu bisa dipakai untuk memperbaiki harga petani supaya lebih baik sekaligus memastikan harga jual kepada distributor sesuai dengan kebijakan pemerintah. “Sehingga di tingkat konsumen tidak melebihi harga eceran tertinggi Rp 12.500 per kilogram,” tutur Sekretaris Perusahaan Holding PTPN Imelda Pohan.

RETNO SULISTYOWATI, SUJATMIKO (LAMONGAN)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus