Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Rencana pemerintah memberi konsesi tambang untuk perguruan tinggi mendapat reaksi yang beragam. Dosen Universitas Andalas Feri Amsari mengatakan izin kampus kelola tambang bukan hanya sekadar bisnis, tetapi juga bisa memecah belah perguruan tinggi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut dia, kampus yang seharusnya menjadi ruang pengkritik terhadap perilaku negara, kini jadi target untuk dipecah belah. “Fenomena ini mirip dengan upaya membelah ormas seperti Muhammadiyah dan NU, yang awalnya berbasis keadaban, tetapi kemudian terdorong ke arah perhitungan ekonomi," kata Feri dalam diskusi publik Bakul Pemimpi secara virtual pada Sabtu, 8 Februari 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saat ini menurutnya, kampus berada dalam ancaman serupa. "Berbagai kepentingan berupaya mengarahkan institusi akademik ke ranah keuntungan bisnis tambang, yang berimplikasi pada fragmentasi internal,” tambahnya. Feri menilai ketika kampus berubah menjadi entitas bisnis tambang, objektivitas akademik akan mustahil tercapai. Menurut dia, fenomena ini merupakan dilema besar yang secara sistematis telah disebarluaskan pemerintahan sebelumnya.
Karena itu, Feri menyerukan agar kampus-kampus dan organisasi akademik menolak rencana pemberian konsesi tambang untuk perguruan tinggi. “Kampus harus tetap menjadi penjaga moral dan intelektual bangsa, bukan pemain dalam bisnis ekstraktif yang merusak lingkungan,” kata dia.
Dalam kesempatan yang sama, Dosen Universitas Gadjah Mada Akbar Reza rencana memberikan konsesi tambang untuk kampus akan berdampak pada orientasi dosen dalam menjalankan Tri Dharma Perguruan Tinggi. Dia menyebut dosen nantinya bukan hanya mengajar di kelas, tapi juga dibebankan untuk mengelola tambang. “Jangan-jangan akademisi malah full time ngurusin tambang, kampusnya jadi part time. Mahasiswa jadi korban,” kata Akbar.
Selain itu, Akbar juga menyoroti soal syarat kampus yang bisa mengelola tambang mesti memiliki akreditasi B. Dia menyebut akreditasi tak menjamin bahwa perguruan tinggi bisa mengelola tambang karena tak hanya kompetensi, tapi juga modal yang besar. Karena itu, kalaupun kampus bisa mengelola tambang, kondisi ini akan memunculkan disparitas atau kesenjangan antara pemilik modal besar dan kampus yang kecil. “Kampus yang memiliki kapasitas dan jaringan besar bisa dan akan mampu mengkapitalisasi IUP (Izin Usaha Pertambangan),” kata dia. Menurut dia, fenomena in juga akan memunculkan konflik horizontal.
Dalam kesempatan yang sama, Dosen Universitas Sulawesi Barat Kasmiati mengatakan rencana memberi konsesi tambang untuk perguruan tinggi bisa menjadi masalah baru. Selain berdampak pada ekonomi dan kerusakan lingkungan, kampus juga akan menjadi aktor dalam pengelolaan energi kotor ini. “Tambang itu bisnis tidak bersih, efek sosial, ekonomi, dan lingkungan sangat besar,” kata Kamiati.
Wacana kampus mengelola tambang muncul dalam revisi Rancangan Undang-Undang Mineral dan Batu Bara (RUU Minerba) yang resmi menjadi usulan inisiatif DPR lewat sidang paripurna pada Kamis, 23 Januari 2025. Badan Legislasi atau Baleg DPR membahas rancangan tersebut secara tertutup saat masa reses parlemen, yang berakhir pada 20 Januari lalu.
Pilihan editor:Maruarar Sirait dan Erick Thohir Sepakat Aset BUMN Menjadi Lokasi Proyek 3 Juta Rumah