Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Dua perusahaan pemilik konsesi penambangan pasir diduga berafiliasi dengan Gubernur Sulawesi Selatan.
Proses perizinan kedua perusahaan berlangsung kilat.
Keuntungan perusahaan diduga mencapai Rp 1,1 miliar per hari.
PEMERIKSAAN dua bundel dokumen setebal lebih dari 1.000 halaman itu tuntas dalam waktu sekitar tujuh pekan. Diajukan pada 29 Oktober 2019, dokumen itu berisi kerangka acuan analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) yang diajukan PT Banteng Laut Indonesia dan PT Nugraha Indonesia Timur. Pada 16 Desember, Dinas Lingkungan Hidup Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan menyetujui dokumen itu menjadi amdal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kecepatan keluarnya amdal itu menimbulkan kecurigaan dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sulawesi Selatan. Direktur Eksekutif Walhi Sulawesi Selatan, Muhammad Al Amien, mengatakan proses persetujuan amdal mengacu pada tahapan pengurusan amdal di Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 5 Tahun 2012. “Paling cepat 120 hari,” kata Amien, Jumat, 18 September lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PT Banteng dan PT Nugraha memperoleh izin usaha penambangan pasir di Blok Spermonde, sisi barat perairan Sulawesi Selatan yang berada di kawasan Kabupaten Takalar. Total luasnya mencapai hampir 1.300 hektare. Lokasi tambang keduanya terbilang strategis karena cadangan pasirnya tinggi dan dikelilingi pulau-pulau kecil. Hasil penambangan itu digunakan untuk melanjutkan proyek reklamasi Makassar New Port (MNP) di Kota Makassar.
MNP, yang ditetapkan sebagai proyek strategis nasional, digadang-gadang menjadi pelabuhan terbesar di timur Indonesia dengan total luas 1.428 hektare. Pelabuhan ini dioperasikan dan dibangun oleh PT Pelabuhan Indonesia IV (Persero) bekerja sama dengan PT Pembangunan Perumahan dengan nilai investasi mencapai Rp 89,57 triliun. “Hingga akhir tahun ini masih dibutuhkan 2 juta kubik pasir,” ujar Direktur Teknik PT Pelindo IV Prakosa Hadi Takariyanto. Proyek ini ditargetkan rampung pada 2022.
Nelayan bersama sejumlah aktivis mahasiswa dan lingkungan saat melakukan aksi menolak penambangan pasir, 12 September 2020./Aliansi Selamatkan Pesisir
Sejak 13 Februari lalu, kontraktor pertambangan PT Boskalis International Indonesia mulai mengeruk pasir. Mereka menggunakan kapal keruk bernama Queen of Netherlands. Panjangnya mencapai 230 meter dan memiliki daya tampung 24 ribu kubik pasir. Salah satu kawasan yang digarap oleh Boskalis merupakan kawasan yang menjadi konsesi PT Banteng dan Nugraha.
Penambangan itu berdampak terhadap kehidupan nelayan, khususnya yang bermukim di sekitar Pulau Kodingareng Lompo. Mereka merupakan nelayan tradisional yang mengandalkan metode memanah, memancing, dan menggunakan bagan untuk menangkap ikan. Setelah penambangan berjalan, air laut mengeruh. Pengambilan pasir pun dituding merusak habitat ikan.
Pulau Kodingareng berpenghuni sekitar 5.000 orang. Bersama komunitas lain di sekitar pulau, para nelayan dan keluarganya rutin mendemo kapal penyedot pasir di lokasi tambang sejak Juni lalu. Puncaknya, mereka berunjuk rasa di lokasi tambang pada Sabtu, 12 September lalu. Seusai demonstrasi, tujuh nelayan dan empat aktivis ditangkap polisi karena dituduh merusak kapal pengeruk pasir. Namun mereka bebas keesokan harinya. “Kami sedang mencocokkan dengan bukti lain untuk menentukan siapa pelaku perusakan,” kata Direktur Polisi Perairan dan Udara Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan Komisaris Besar Hery Wiyanto.
Gubernur Sulawesi Selatan Nurdin Abdullah (kiri) dan Akbar Nugraha, Desember 2019./Facebook.com/ Akbar Nugraha
Walhi bersama organisasi lain yang tergabung dalam Aliansi Selamatkan Pesisir menyatakan kerusakan lingkungan yang berujung pada konflik antara masyarakat dan perusahaan tambang terjadi karena pemerintah tak menerapkan aturan yang ketat saat mengeluarkan izin. Salah satunya proses pengurusan amdal yang terbilang kilat. “Ini diduga akibat ada orang-orang dekat gubernur yang menikmati penambangan itu,” ucap Muhammad Al Amien.
Pemilik PT Banteng Laut Indonesia dan PT Nugraha Indonesia Timur diduga terkait dengan “Prof Andalan”—akronim dari Profesor Nurdin Abdullah dan Andi Sudirman Sulaiman—yang berlaga dalam pemilihan kepala daerah 2018. Akta perusahaan mencantumkan setengah saham PT Banteng Laut dimiliki Sunny Tanuwidjaja, Sekretaris Dewan Pembina Partai Solidaritas Indonesia, salah satu partai politik pengusung Nurdin Abdullah-Andi Sulaiman. Sisanya dimiliki oleh Akbar Nugraha dan Abil Iksan. Sunny menjabat komisaris utama, Akbar direktur utama, dan Abil direktur.
Akbar dan Abil adalah mantan anggota tim “Prof Andalan”. Akbar juga teman satu kampus putra Nurdin Abdullah. Akhir tahun lalu, Gubernur Nurdin Abdullah mengangkat Akbar sebagai Ketua Badan Promosi Pariwisata Daerah Sulawesi Selatan.
Abil dan Akbar juga memiliki saham di PT Nugraha Indonesia Timur. Keduanya menguasai setengah saham PT Nugraha dengan nilai Rp 125 juta. PT Nugraha berdiri pada Mei 2019, lebih cepat satu bulan dari pendirian PT Banteng Laut pada Juni 2019. Pada 31 Juli 2019, perusahaan itu sudah mengantongi izin lokasi penambangan. Sehari kemudian, mereka mendapatkan izin usaha pertambangan. Pada 7 Agustus, perusahaan mendapatkan izin usaha pertambangan eksplorasi.
Seorang sumber yang mengetahui proses perizinan tambang PT Banteng Laut dan PT Nugraha di Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan mengatakan dua perusahaan itu memang mendapat karpet merah. Menurut sumber ini, Gubernur Nurdin Abdullah sempat menekan bawahannya untuk mempermudah perizinan Banteng Laut dan Nugraha. Keistimewaan itu juga diperoleh saat pembahasan amdal. Sumber yang sama menyebutkan ada sejumlah tahapan yang tak dilakukan kedua perusahaan, seperti berkoordinasi dengan masyarakat di sekitar lokasi tambang.
Kepala Dinas Pengelolaan Lingkungan Hidup Provinsi Sulawesi Selatan Andi Hasdullah membantah tudingan tersebut. Dia mengatakan layanan perizinan tak memandang soal kedekatan dengan gubernur. Soal cepatnya waktu persetujuan amdal, kata Hasdullah, karena dokumen itu dianggap telah lengkap. “Kecepatan persetujuan itu karena dokumen permohonan tidak banyak dikoreksi,” ujarnya.
Namun Hasdullah mengakui tim penilai amdal tak mengajak warga Pulau Kodingareng membahas permohonan itu. Sebab, warga di kepulauan itu tidak masuk wilayah yang dianggap terkena dampak praktik penambangan. “Pelibatan partisipasi hanya terhadap sejumlah penduduk yang tinggal di tujuh desa di Kecamatan Galesong Utara, Kabupaten Takalar,” ucapnya.
Sunny Tanuwidjaja, Komisaris Utama PT Banteng Laut, tak merespons panggilan telepon dan pesan yang dikirim lewat akun WhatsApp miliknya hingga Sabtu, 19 September lalu. Akbar Nugraha pun tak menjawab permintaan wawancara. Tempo mendatangi rumah Abil Iksan di Makassar. Seorang perempuan yang mengaku istrinya mengatakan Abil tidak berada di rumah. “Sekarang dia di luar kota,” katanya, Jumat, 19 September lalu.
Adapun PT Boskalis belum merespons permintaan wawancara yang dikirim Tempo melalui surat elektronik. Saat Tempo berkunjung ke kantor Boskalis di Gedung 88 Kota Kasablanka, Jakarta Selatan, seorang resepsionis yang mengaku bernama Diyah menyatakan tak bisa memfasilitasi permohonan wawancara.
Abil Iksan./Facebook.com/ Abil Ikhsan
Gubernur Nurdin Abdullah mengatakan keterlibatan mantan anggota tim suksesnya bukanlah pelanggaran hukum. Ia juga mempertanyakan relevansi kedekatan para pemilik saham perusahaan itu dengan anak kandungnya. “Dia bukan pemilik saham, bukan juga anggota direksi. Coba lihat saja akta perusahaan itu,” ujarnya.
Ia juga membantah mengistimewakan perizinan PT Banteng Laut Indonesia dan PT Nugraha Indonesia Timur. “Kami berkomitmen mempermudah proses administrasi. Selama itu sesuai dengan aturan dan perundang-undangan, semua kami percepat,” kata mantan Bupati Bantaeng dua periode ini.
• • •
KAPAL Queen of Netherlands terapung di perairan Kabupaten Takalar, Rabu siang, 16 September lalu. Menggunakan kapal ketinting sepanjang enam meter, Tempo mencoba menengok aktivitas kapal baja itu dari dekat. Lokasinya ditempuh sekitar dua jam berlayar dari Pulau Kodingareng Lompo.
Satu kilometer mendekati kapal, air laut terlihat keruh dan berwarna kecokelatan. Kedua lambung kapal milik perusahaan asal Belanda itu menjulurkan dua pipa ke dalam laut. Dua orang terlihat mengawasi proses penyedotan pasir tersebut. “Kedalaman perairan ini 15-20 meter,” tutur Ismail, nelayan Pulau Kodingareng yang menemani Tempo.
Menurut dia, para nelayan kini dihantui perasaan khawatir setiap mendekati perairan itu. Ombak di sana bisa mencapai 3 meter akibat penambangan. Sejumlah nelayan pernah mengalami kecelakaan, khususnya jika berada di sekitar kapal pengeruk pasir tersebut. Ismail turut serta dalam demonstrasi menentang pengerukan pasir pada Sabtu, 12 September, itu. Tapi ia tak ikut ditangkap. Sejak kejadian itu, kata dia, polisi kerap berpatroli menjaga aktivitas kapal Queen of Netherlands lengkap dengan senjata laras panjang. “Kami merasa terteror,” ujarnya.
Polisi masih menyelidiki kerusakan pipa kapal seusai demonstrasi itu. Direktur Kepolisian Perairan Polda Sulawesi Selatan Komisaris Besar Hery Wiyanto menduga ada nelayan yang merusak pipa kapal menggunakan bom molotov. “Masih kami pelajari siapa pelaku pelemparan bom molotov itu,” katanya.
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar mempersoalkan sikap polisi dalam mengusut dugaan kerusakan kapal. Sebab, diduga terjadi penganiayaan terhadap beberapa demonstran dalam proses interogasi. Sebagian dari tujuh nelayan yang sempat ditahan mengaku mengalami kekerasan. “Kami meminta polisi bertindak profesional,” tutur Wakil Direktur LBH Makassar Edy Kurniawan, yang juga pengacara para nelayan.
Tak hanya dihantui kecemasan, penduduk Pulau Kodingareng juga mendapat berbagai masalah baru setelah penambangan pasir dimulai. Area yang semula menjadi tempat penangkapan ikan tak lagi mendatangkan hasil. Kesulitan ekonomi pun menimpa para nelayan. “Saya selalu bertengkar dengan istri yang marah karena mulai sering pulang tak membawa ikan,” kata Sahril Kilo, 35 tahun, nelayan pemancing cumi-cumi dari Pulau Kodingareng.
Kondisi nelayan jauh berbeda dengan keuntungan yang diperoleh PT Banteng Laut Indonesia dan PT Nugraha Indonesia Timur sebagai pemilik konsesi tambang pasir. Analisis tim Walhi Sulawesi Selatan menyebutkan keuntungan yang didapatkan keduanya berkisar Rp 1,1 miliar per hari. “Mereka tinggal terima uang dari kontraktor dan pemegang proyek reklamasi tanpa harus kerja,” ucap Direktur Walhi Sulawesi Selatan Muhammad Al Amien.
Sekretaris Perusahaan PT Pelindo IV Dwi Rahmad Toto membantah kerusakan lingkungan terjadi akibat eksploitasi pasir laut. Menurut dia, penambangan sudah dilakukan sesuai dengan prosedur dan aturan yang ditetapkan pemerintah pusat ataupun daerah. Ia juga mengklaim proyek Makassar New Port tak akan menimbulkan masalah lingkungan karena sudah melewati kajian. “Proyek ini sudah mengantongi amdal dan sejumlah perizinan lain,” katanya.
RIKY FERDIANTO, FAJAR FEBRIANTO, ANDITA RAHMA (JAKARTA), DIDIT HARYADI (MAKASSAR)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo