Astra International dan anak perusahaannya dikepung utang. Astra International punya kewajiban US$ 726 juta dan Rp 881 miliar, sementara US$ 133 juta dan Rp 165 miliar di antaranya jatuh tempo akhir tahun ini. Utang ini sudah dimafhumi oleh manajemen Astra tak akan mampu mereka bayar. Karenanya, dalam sejumlah pertemuan dengan kreditor yang sudah digelar sejak pertengahan tahun ini, Astra mengajukan beberapa model penyelesaian, mulai dari penjadwalan utang, menerbitkan saham terbatas dan dananya untuk membeli kembali utang, sampai menjual aset. Langkah terakhir dikemukakan oleh Direktur Keuangan Astra International, Jhon Slack, akan dilakukan dengan membayar 60 persen utang itu menggunakan kas perusahaan.
Direktur Utama Astra International, Budi Setiadharma, usai pertemuan dengan kreditor Agustus lalu mengatakan, di antara empat pilihan itu yang paling memungkinkan adalah perpanjangan pembayaran 4-6 tahun. Meski penerbitan saham baru juga termasuk hitungan.
Beban utang jumbo seperti ini ternyata tak hanya milik sang induk. Perusahaan-perusahaan di bawah kendali Astra bernasib sama. Astra Graphia, misalnya, punya utang US$ 34,9 juta yang, untungnya, masa pembayarannya sudah diperpanjang tiga tahun. Perusahaan teknologi informasi ini sedang berupaya melakukan pembiayaan kembali utangnya, antara lain dengan meminjam dari bank dan menerbitkan obligasi.
Dua anak perusahaan lainnya, Astra Sedaya Finance dan Federal International Finance, juga berencana menerbitkan obligasi tahun depan. Hasilnya untuk menggantikan obligasi yang diterbitkan tahun 2000. Sementara itu, United Tractor segera membayar Rp 380 miliar utangnya ke kreditor setelah penjualan 60 persen sahamnya di anak perusahaan yang memproduksi batu bara, Berau Coal, selesai. Ini sebagian dari utang Rp 790 miliar yang akan jatuh tempo akhir tahun ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini