Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Jepang Dapat Formula Baru

Dalam kunjungan Presiden Soeharto ke Jepang, Dirut Pertamina, Piet Haryono menandatangani persetujuan bantuan sebanyak $ 160 juta untuk biaya eksplorasi minyak di 4 wilayah Pertamina.(eb)

23 Juni 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

APA kabarnya rencana hydrocracker di Dumai Ketika Presiden Soeharto dua pekan lalu berkunjung ke Tokyo, rencana investasi proyek $700 juta yang ingin mengundang swasta Jepang itu memang dibicarakan. Tapi MITI, Kementerian Industri dan Perdagangan Internasional Jepang yang berwibawa itu, rupanya keberatan kalau sebagian dari pembiayaan yang diharapkan datang dari swasta dan bankir Jepang itu tidak disertai persyaratan jelas "dijamin oleh pemerintah" alias Bank Indonesia. Proyek itu sendiri dianggap vital oleh Pertamina. Dengan hydrocracker, maka LSWR (low sulphur waxy residue) -- bagian dari hasil kilang-kilang minyak di Riau yang menyuling Minas crude dan sulit dijual ke Jepang itu sendiri -- akan bisa diolah di dalam negeri menjadi minyak tanah, solar, minyak pelumas dan lain-lain. Dir-Ut Pertamina Piet Harjono, atas pertanyaan pers di Tokyo, mengatakan sesungguhnya jaminan dari pemerintah Indonesia sudah otomatis ada. mengingat hasil-hasil dari hydrocracker yang sampai kini harus diimpor, akan bisa dibeli pemerintah dari dalam negeri sendiri. Dan sebagai garansi pula, Jepang atau swasta manapun juga disetujui untuk memiliki saham-sahamnya dalam rencana proyek itu. Pertanyaan DPR Tapi agaknya yang dilirik oleh Jepang adalah bidang minyak yang dipandang kurang risikonya. Selama presiden berada di Tokyo, Dir-Ut Piet Harjono telah menandatangani persetujuan bantuan/pinjaman (loan) sebanyak $160 juta untuk embiayai eksplorasi minyak di empat wilayah Pertamina, mulai dari Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Jawa dan Kalimantan Timur. Berbeda dengan pencarian minyak di lepas pantai, maka eksplorasi di 4 wilayah Pertamina itu termasuk "empuk". Selain berada di daratan, dus bisa lebih banyak menekan biaya eksplorasi, menurut Piet Harjono, penyelidikan awal yang dilakukan Pertamina menunjukkan di tempat-tempat tersebut ada persediaan minyak yang cukup besar. Alhasil, kalau ternyata nanti ladang-ladang di daratan itu menyemburkan minyak, pengembalian hutang yang berjangka 6 tahun itu disertai bunga 6,5%. Tapi yang menarik adalah ini: pengembalian pinjaman itu tak usah dalam uang tunai, tapi dalam minyak. Juga pihak Jepang berhak untuk membeli sampai 50% dari hasilnya dengan harga yang berlaku waktu itu. Jepang, dalam perjanjian minyak baru itu, juga setuju untuk meminjami pembiayaan bagi setiap lapangan minyak yang ditemukan Pertamina. Tapi untuk itu mereka akan menerima suatu bonus 4,7% dari hasil ladang-ladang minyak yang dibantu Jepang boleh mereka beli dengan bebas bea (free of charge). Laporan dari koran The Asian Wall Street Journal di Tokyo itu juga menyebutkan: di daerah-daerah di mana Pertamina kelak menerima bagian yang cukup besar, pihak Jepang juga akan menerima 2,5% dari hasilnya secara cuma-cuma, sebagai imbalan atas bantuan mereka dalam eksplorasi. Dalam perjanjian itu memang disebutkan bahwa Pertamina-nya Jepang, yakni Perusahaan Minyak Nasional Jepang (JNOC), akan mendirikan anak perusahaannya di Indonesia untuk bekerjasama di bawah pimpinan Pertamina. Beberapa perusahaan Jepang lain kemungkinan akan diajak serta. Kerjasama baru itu, oleh beberapa pengamat dianggap merupakan suaru langkah lain dari sistim 'bagi-hasil' yang kita kenal dan kini mencapai 85:15 untuk Indonesia. Tidak heran kalau dalam acara 'dengar-pendapat' dengan Komisi VI DPR pekan lalu, DirUt Piet Harjono mendapat serangan pertanyaan yang bertubi-tubi. Mereka umumnya menilai formula baru yang dibuat dengan Jepang -- pembeli terbesar minyak Indonesia itu -- sebagai suatu "langkah mundur". Santoso Donoseputro, wakil ketua Komisi VI dari Fraksi PDI merasa khawatir, bahwa dengan begitu Indonesia "menggadaikan" ladang minyaknya. Sunario Hadade dari FKP juga merasa waswas, demikian pula rekan sefraksinya seperti Surardjo dan Jan Mokoginta serta Suwarno, dari Fraksi Karya juga. Semua kekhawatiran yang beralasan itu dijawab oleh Piet Harjono bahwa kendali masih tetap di tangan Pertamina. "Pertamina tak akan menjual minyak dengan sistim gadai," tapi hak pembelian hasil produksi yang oleh Piet disebut 40% itu dianggapnya "justru ingin membatasi Jepang, karena angka 40% itu digunakan untuk membayar kembali hutang." Piet juga meyakinkan sidang bahwa Pertamina sendiri pada prinsipnya ingin menangani sendiri pencarian minyaknya. "Tapi apa yang bisa diperbuat, bila toh dananya tak ada," katanya. Bagaimanapun, Indonesia sudah mengikat janji dengan Jepang dalam suatu formula pinjaman dan bagi-hasil yang baru. Kalangan minyak Amerika melihat sistim yang baru itu lebih menarik ketimbang 'bagi-hasil' (production sharing) yang sekarang berlaku. Menjadi pertanyaan: apakah perusahaan minyak asing lainnya juga akan melamar Pertamina agar diperlakukan seperti dengan Jepang? Dir-Ut Piet, yang meneken perjanjian itu, belum lagi menerangkan soal itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus