PERLUASAN jaringan listrik, dan pergantian tegangan konsumen ke
220 Volt, memperluas pasaran alat-alat listrik di Indonesia.
Soalnya, sumber tenaga yang berasal dari motor bakar atau
turbin air tidak bisa begitu saja dipakai selepas dari
generator. Lebih dulu arus listrik itu harus dinaikkan atau
diturunkan tegangannya dalam serentetan gardu listrik. Baik
untuk keperluan transmisi maupun untuk distribusi. Melalui kawat
tegangan rendah seperti yang terentang di antara tiang listrik
di tengah kota, aliran listrik itu masuk ke rumah atau pabrik
melalui meter pembatas. Mulai dari generator, gardu induk dan
gardu pembagi, diperlukan papan-papan penghubung, pembagi,
pengukur dan pengontrol tegangan dan arus listrik.
"Papan-papan" inilah yang lazim disebut "panel listrik", Khusus
untuk keperluan PLN, sudah ada kontraktor yang memborongnya,
yakni PT Murdaya. Sedangkan pabrik-pabrik yang memakai :tenaga
listrik memesannya dari fabrikan panel listrik. Persaingan
merebut order pembuatan panel listrik di antara fabrikan itu
ramai juga.
Persaingan itu bertambah rumit karena masing-masing fabrikan
begitu fanatik pada sistim yang dikuasainya. Dan mereka berusana
pula mempromosikan onderdil panel yang diageninya. Cuma satu
keuntungannya: "Tak ada ukuran standar dalam membuat panel-panel
itu", ujar ir Darius Fachruddin dari PT Panel Nusantara, "karena
kami berusaha melayani selera pemesan". Karena harus menunggu
pesanan dulu, para fabrikan panel itu tidak mungkin memprodusir
barangnya secara besar-besaran.
Lalu alat buatan dalam negeri apa saja yang bisa dirakit dalam
ramuan panel yang begitu rumit itu? "Hampir tidak ada", kata
Darius lagi, "paling-paling beberapa fitting serta sakelar yang
buatan dalam negeri. ltu pun pada kotak sikring rumah tangga
yang justru merupakan model panel listrik yang paling kecil".
Kendati demikian, dia optimis bahwa masa depan cabang industri
ini cukup cerah di Indonesia. Karena selama orang masih
menggunakan aliran listrik, selama itu hasil produksi mereka
akan laku.
Dulunya panel-panel itu dipesan dari luar negeri. Tentu saja
harganya mahal karena terkena bea masuk yang tinggi. Setelah
dibuat di dalam negeri, harga bisa ditekan. Cuma saja pembuat
panel ini mengeluh karena bea masuk onderdil masih cukup tinggi.
"Dan sering kita terkena pajak berganda", kata Darius lagi.
Artinya, setelah terkena bea masuk masih harus memikul berbagai
macam pajak yang lain.
Untuk menghindari berbagai persaingan dan memperjuangkan nasib
bersama, 16 perusahaan pembuat panel ini sejak Mei 1976 sudah
pula membentuk asosiasi. APPI (Asosiasi Pembuat Panel Listrik
Indonesia) singkatnya. Berapa jumlah anggota asosiasi ini?
Darius yang juga Ketua asosiasi itu menyebutkan, "sedang
didaftar". Dalam berproduksi, diharapkan para anggota akan
rela mempertukarkan komponen panel di antara sesama mereka.
Terutama onderdil yang murah dan bermutu tinggi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini