KETIKA satelit Palapa diluncurkan, 9 stasiun bumi belum rampung.
Minggu lalu, ketika Palapa sudah masuk orbitnya dan mulai
"disetir" dari Cibinong, dikabarkan tinggal 6 yang belum
rampung. Mudah-mudahan saja, bulan depan saat Presiden Soeharto
membacakan pidato 16 Agustus-nya, semuanya sudah beres. Paling
tidak 26 stasiun bumi yang melayani setiap ibukota propinsi
dapat menangkap siaran TV dari Jakarta, sebab memang ada 6
stasiun bumi lintas tipis yang tidak dilengkapi dengan alat
penangkap siaran TV dari satelit.
Dari segi penyebarannya, posisi ke-40 stasiun bumi (termasuk
Cibinong sebagai pengendali stasiun cukup merata di seluruh
tanah air: 20 di Indonesia bagian Barat, termasuk yang dekat
Denpasar, Bali, dan 20 lagi tersebar di Indonesia bagian Timur.
Tapi ditinjau dari sudut distribusi penduduk, penyebaran stasiun
bumi itu agak timpang. Sebab Indonesia Timur minus Bali
penduduknya cuma 25 juta, sedang Indonesia bagian Barat
berpenduduk 110 juta. Berarti 1 stasiun bumi di lndonesia bagian
Barat rata-rata melayani 5 juta penduduk, sedang 1 stasiun bumi
di Indonesia bagian Timur melayani 1 juta penduduk.
Juru Selamat
Atau kalau ditinjau pulau Jawa dengan 80 juta penduduknya, dan
hanya punya 6 stasiun bumi, maka di sini 1 stasiun bumi
rata-rata melayani kepentingan 13 juta penduduk. Padahal Irian
Jaya -- yang hanya 1 1/2 juta penduduknya, termasuk yang jadi
korban gempa bumi itu -- paling kaya stasiun bumi: di sana bakal
bercokol 8 stasiun bumi. Selain di Jayapura sebagai ibukota
propinsi, maka lapangan terbang (internasional) Biak, pusat
minyak Sorong, pusat tambang tembaga Tembagapura, pusat nikel
pulau Gag/Wageo, Manokwari, Fakfak dan Merauke masing-masing
mendapat 1 stasiun bumi.
Mengapa distribusi stasiun bumi itu tidak seimbang dengan
distribusi penduduk? Sebab daerah yang padat penduduknya --
Jawa khususnya, dan Indonesia bagian Barat pada umumnya sudah
banyak sarana telekomunikasinya. Sebaliknya bagi
propinsi-propinsi di Indonesia Timur, satelitlah 'juruselamat'
telkom yang paling ampuh untuk menerobos keterpencilan penduduk
di sana dari Jakarta atau propinsi-propinsi lain di Barat.
Sehingga letusan gunung api di Flores atau Sangir Talaud, atau
gempa bumi di Irian Jaya tidak makan waktu seminggu lagi sebelum
ketahuan di Jakarta. Maklumlah, kebanyakan pulau di Timur itu
pun tidak terjangkau jaringan microwave Nusantara. Jaringan
telkom darat yang baru akan rampung 2 tahun lagi itu hanya akan
sampai Ujungpandang, tanpa menjamah banyak tempat terpencil di
Sulawesi, Maluku, Irian dan Nusa Tenggara.
Sebenarnya orang juga bisa bertanya apakah Sumatera, Jawa dan
Bali masih membutuhkan komunikasi satelit? Bukankah itu hanya
tumpang-tindih dengan sarana telekomunikasi microwave Lintas
Sumatera dan Jawa-Bali? Menanggapi hal itu Menteri Perhubungan
Emil Salim menegaskan bahwa telkom "selalu harus berpacu lebih
cepat dari permintaan". Dan permintaan akan sarana telkom antara
ketiga pulau itu -- juga antara Jawa dengan Kalimantan yang
kaya minyak dan kayu -- tumbuhnya saat ini lebih cepat dari
pada di kawasan lain. Maka stasiun stasiun bumi satelit pun
terus dibangun di Indonesia bagian Barat. Dengan risiko
interferensi sinyal satelit dengan sinyal gelombang mikro (lihat
Ilmu).
Walhasil, tumpang-tindihnya radio VHF (very high frequency),
microwave dan satelit di Indonesia bagian Barat menyebabkan
distribusi sarana telkom secara nasional makin timpang.
Ketimpangan itu juga terasa antara fasilitas telkom di Jakarta
dan di luar Jakarta berbarengan dengan pembangunan SKSD Palapa,
jumlah telepon di Jakarta akan dinaikkan 3 x lipat dari 1310
saluran (1976) menjadi 4950 saluran (1977) Sedang telepon di
luar Jakarta yang tadinya cuma 510 nomer akan dinaikkan menjadi
5050 nomer. Berarti telepon di Jakarta hampir sama banyak
dengan yang di luar Jakarta. Dan sementara telepon engkol di
pelosok-pelosok luar Jakarta baru satu dua akan diganti dengan
telepon otomat, maka Jakarta akan "melompat" ke telepon pijit
tombol -- yang di Eropa sendiri belum begitu populer.
Adapun kenaikan jumlah nomer telex, lebih menguntungkan Jakarta
pula. Yakni dari 45,3 ribu saluran menjadi 262,8 ribu saluran.
Sedangkan yang di luar Jakarta hanya akan naik dari 184, ribu
saluran menjadi 232,1 ribu saluran. Konsentrasi fasilitas telkom
di Jakarta -- atau untuk memperlancar komunikasi dengan Jakarta
-- tentu akan berpengaruh di sektor ekonomi pula. Apalagi
dengan mahalnya telepon dan telex baru, yang sulit sekali
terjangkau oleh pengusaha kecil atau golongan menengah yang
tidak tebal dompetnya. Jadi kalau di atas kertas teknologi
satelit ini memungkinkan orang dari Ujungpandang dengan mudah
menelepon ke Palembang, atau dari Padang ke Kupang, dalam
prakteknya pemakaian sarana telkom ini akan lebih banyak
diborong oleh pemerintah dan perusahaan-perusahaan besar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini