Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Pacuan Telkom, Makin Timpang

Di indonesia ada 40 stasiun bumi, dengan distribusi tak seimbang. saluran telkom di jakarta meningkat jauh dengan daerah lain, hingga harganya mahal. teknologi satelit mempengaruhi sektor ekonomi.

24 Juli 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KETIKA satelit Palapa diluncurkan, 9 stasiun bumi belum rampung. Minggu lalu, ketika Palapa sudah masuk orbitnya dan mulai "disetir" dari Cibinong, dikabarkan tinggal 6 yang belum rampung. Mudah-mudahan saja, bulan depan saat Presiden Soeharto membacakan pidato 16 Agustus-nya, semuanya sudah beres. Paling tidak 26 stasiun bumi yang melayani setiap ibukota propinsi dapat menangkap siaran TV dari Jakarta, sebab memang ada 6 stasiun bumi lintas tipis yang tidak dilengkapi dengan alat penangkap siaran TV dari satelit. Dari segi penyebarannya, posisi ke-40 stasiun bumi (termasuk Cibinong sebagai pengendali stasiun cukup merata di seluruh tanah air: 20 di Indonesia bagian Barat, termasuk yang dekat Denpasar, Bali, dan 20 lagi tersebar di Indonesia bagian Timur. Tapi ditinjau dari sudut distribusi penduduk, penyebaran stasiun bumi itu agak timpang. Sebab Indonesia Timur minus Bali penduduknya cuma 25 juta, sedang Indonesia bagian Barat berpenduduk 110 juta. Berarti 1 stasiun bumi di lndonesia bagian Barat rata-rata melayani 5 juta penduduk, sedang 1 stasiun bumi di Indonesia bagian Timur melayani 1 juta penduduk. Juru Selamat Atau kalau ditinjau pulau Jawa dengan 80 juta penduduknya, dan hanya punya 6 stasiun bumi, maka di sini 1 stasiun bumi rata-rata melayani kepentingan 13 juta penduduk. Padahal Irian Jaya -- yang hanya 1 1/2 juta penduduknya, termasuk yang jadi korban gempa bumi itu -- paling kaya stasiun bumi: di sana bakal bercokol 8 stasiun bumi. Selain di Jayapura sebagai ibukota propinsi, maka lapangan terbang (internasional) Biak, pusat minyak Sorong, pusat tambang tembaga Tembagapura, pusat nikel pulau Gag/Wageo, Manokwari, Fakfak dan Merauke masing-masing mendapat 1 stasiun bumi. Mengapa distribusi stasiun bumi itu tidak seimbang dengan distribusi penduduk? Sebab daerah yang padat penduduknya -- Jawa khususnya, dan Indonesia bagian Barat pada umumnya sudah banyak sarana telekomunikasinya. Sebaliknya bagi propinsi-propinsi di Indonesia Timur, satelitlah 'juruselamat' telkom yang paling ampuh untuk menerobos keterpencilan penduduk di sana dari Jakarta atau propinsi-propinsi lain di Barat. Sehingga letusan gunung api di Flores atau Sangir Talaud, atau gempa bumi di Irian Jaya tidak makan waktu seminggu lagi sebelum ketahuan di Jakarta. Maklumlah, kebanyakan pulau di Timur itu pun tidak terjangkau jaringan microwave Nusantara. Jaringan telkom darat yang baru akan rampung 2 tahun lagi itu hanya akan sampai Ujungpandang, tanpa menjamah banyak tempat terpencil di Sulawesi, Maluku, Irian dan Nusa Tenggara. Sebenarnya orang juga bisa bertanya apakah Sumatera, Jawa dan Bali masih membutuhkan komunikasi satelit? Bukankah itu hanya tumpang-tindih dengan sarana telekomunikasi microwave Lintas Sumatera dan Jawa-Bali? Menanggapi hal itu Menteri Perhubungan Emil Salim menegaskan bahwa telkom "selalu harus berpacu lebih cepat dari permintaan". Dan permintaan akan sarana telkom antara ketiga pulau itu -- juga antara Jawa dengan Kalimantan yang kaya minyak dan kayu -- tumbuhnya saat ini lebih cepat dari pada di kawasan lain. Maka stasiun stasiun bumi satelit pun terus dibangun di Indonesia bagian Barat. Dengan risiko interferensi sinyal satelit dengan sinyal gelombang mikro (lihat Ilmu). Walhasil, tumpang-tindihnya radio VHF (very high frequency), microwave dan satelit di Indonesia bagian Barat menyebabkan distribusi sarana telkom secara nasional makin timpang. Ketimpangan itu juga terasa antara fasilitas telkom di Jakarta dan di luar Jakarta berbarengan dengan pembangunan SKSD Palapa, jumlah telepon di Jakarta akan dinaikkan 3 x lipat dari 1310 saluran (1976) menjadi 4950 saluran (1977) Sedang telepon di luar Jakarta yang tadinya cuma 510 nomer akan dinaikkan menjadi 5050 nomer. Berarti telepon di Jakarta hampir sama banyak dengan yang di luar Jakarta. Dan sementara telepon engkol di pelosok-pelosok luar Jakarta baru satu dua akan diganti dengan telepon otomat, maka Jakarta akan "melompat" ke telepon pijit tombol -- yang di Eropa sendiri belum begitu populer. Adapun kenaikan jumlah nomer telex, lebih menguntungkan Jakarta pula. Yakni dari 45,3 ribu saluran menjadi 262,8 ribu saluran. Sedangkan yang di luar Jakarta hanya akan naik dari 184, ribu saluran menjadi 232,1 ribu saluran. Konsentrasi fasilitas telkom di Jakarta -- atau untuk memperlancar komunikasi dengan Jakarta -- tentu akan berpengaruh di sektor ekonomi pula. Apalagi dengan mahalnya telepon dan telex baru, yang sulit sekali terjangkau oleh pengusaha kecil atau golongan menengah yang tidak tebal dompetnya. Jadi kalau di atas kertas teknologi satelit ini memungkinkan orang dari Ujungpandang dengan mudah menelepon ke Palembang, atau dari Padang ke Kupang, dalam prakteknya pemakaian sarana telkom ini akan lebih banyak diborong oleh pemerintah dan perusahaan-perusahaan besar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus