PADA ulang tahun kemerdekaannya yang ke-200, Amerika Serikat
telah jadi lonceng Philadelphia. Bila dia berdentang-dentang,
orang pun tahu bahwa gemanya adalah suara kemerdekaan. Siapa pun
lagi lelap di tengah tidur kebodohan dan terbangun, lantaran
Deklarasi Kemerdekaan yang diwartakan menyadarkan mereka bahwa
"semua manusia diciptakan sama", dan karena itu dikaruniai
beberapa hak yang tak dapat diganggu-gugat seperti kemerdekaan,
persamaan dan ikhtiar mengejar kebahagiaan. Diterjemahkan ke
dalam istilah-istilah politik maka semua itu berarti bahwa
setiap rakyat adalah sama. Karena itu masrng-masing mereka
diberi hak yang sama pula untuk mewujudkan kebahagiaan daiam
negara lewat pemerintahan. Semboyan: pemerintahan dari, oleh dan
untuk rakyat adalah saduran politik dari ketentuan-ketentuan
asasi di atas.
Bila setiap manusia sama martabatnya, maka kemerdekaan jelas
akan menjadi risiko. Perang perbudakan jaman Lincoln, ketegangan
rasial jaman Kennedy dan pembersihan konstitusionil jaman Nixon
adalah separuh dari harga yang harus dibayar demi demokrasi yang
telah mereka pilih. Adakah Amerika Serikat pernah menyesali
dirinya karena itu?
REVOLUSI KEDUA
Di tahun 1971, ketika diadakan Konperensi Gedung Putih mengenai
kaum muda di Estes Park, Colorado, berkumpullah di sana 1000
anak muda menurut suatu cara undangan yang bisa menjamin sifat
representatif mereka. Semua kelompok minoritas, semua negara
bahagian dan semua tingkat pendidikan konon terwakili di sana.
Kegegeran timbul ketika diumumkan mukadimah laporan konperensi,
di mana dengan tegas diisyaratkan bahwa Amerika Serikat sedang
memulai suatu revolusi kedua dalam sejarahnya. Revolusi harus
dikobarkan kembali karena cita-cita Deklarasi Kemerdekaan belum
pernah terwujud bagi rakyat sejak awal mula hingga hari ini.
Rumusan mereka keras, tanpa diplomasi atau basa'-basi: "Akhirnya
sekarang tiba waktunya untuk mengukuhkan serta melaksanakan
cita-cita yang diucapkan dalam Deklarasi Kemerdekaan dan
Konstitusi. Tiap orang harus diberi hak-penuh untuk
hidup,merdeka dan mengejar kebahagiaan secara amat lugu, tanpa
warna ambisi heroisme apa pun mereka sampaikanlah peringatan
terbuka: "Terdorong oleh keprihatinan cinta akan
prinsip-prinsip yang tak dilaksanakan, kami dengan ini
menyatakan menantang pemerintah dan sruktur kekuasaan untuk
menanggapi anjuran kami dengan segera, aktip dan konstruktip.
Kami tergerak bukan oleh rasa benci tetapi oleh kekecewaan atas
dan oleh cinta akan potensi bangsa ini yang tak diwujudkan...".
Suara itu bukan teriak pemberontak. Tidak terdengar hiruk-pikuk
tuduhan bahwa ketetapan yang diturunkan olehh founding fathers
tentang sistem pemerintahan mereka sebetulnya menyesatkan atau
harus dikutuk. Mereka tak pernah risau tentang demokrasi yang
diwariskan. Persoalannya bukan mengganti sistem ini dengan
sistem lain setiap kali terbukti tak becus, tetapi mengusahakan
"bagaimana sistem politik kita bisa berperanan". Dan konon --
seperti diucapkan oleh John Rockefeller 3rd pada suatu
kesempatan, demokrasi adalah sistem politik yang paling rapuh
dan sulit. Kerapuhannya disebabkan karena "sebagai sistem dia
mempunyai hakekat yang amat sesuai dengan kodrat manusia
sendiri'. Segala ulah-tingkah, segala emosi, segala keinginan
dan kebutuhan, sewajarnya mendapat tempat untuk dinyatakan.
"Maka demokrasi menjadi sulit, karena lelaki dan wanita memang
sulit" begitu retorik John Rockefeller 3rd seterusnya.
HANYA BAGI NEGERINYA
Bagaimana pun kita tahu bahwa ada ironi yang dicatat buat
Amerika Serikat. Yakni bahwa kadangkala kemerdekaan dan
persamaan yang mereka keramatkan itu, diperuntukkan hanya bagi
negerinya dan dikecualikan dari umat manusia lainnya. Begitulah
keadaannya pada masa-masa dia tampil sebagai kekuatan yang tak
teralahkan selepas perang dunia kedua. Sampai saat ketika dia
harus mengangkat kaki meninggalkan Vietnam, lonceng Philadelphia
seakan berdentang amat murung: "semua manusia diciptakan sama".
Mereka juga diberi hak-hak yang tak terganggu gugat dalam
kemerdekaan, persamaan dan hak atas kebahagiaannya. Adakah
Amerika Serikat merasa pernah menggugatnya?
Dua abad bergulat dengan demokrasi bisa meletihkan, seperti dua
abad lamanya mendengar dentang denting lonceng yang itu-itu
juga. Tetapi Amerika Serikat tidak menurunkannya dari menara.
Pada saat lain lonceng itu terlanjur menjadi lonceng gereja,
yang menyuruh umat manusia lain datang bersujud. Tetapi sembah
kepada paduka siapa? Berhala adalah kafir, dan Amerika Serikat
akhirnya merasa tak patut menjadi Mahakuasa.
Anak-anak muda di Estes Park, Colorado, lima tahun lalu telah
mengatakan bahwa yang dibutuhkan Amerika Serikat sekarang
bukanlah suatu sistim politik baru, tetapi suatu bentuk
keterlibatan baru dalam sistem itu. Keterlibatan baru itu
bermakna mempertahankan lagi kesamaan dan kemerdekaan tiap
manusia. Ketahanan dalam hal itu telah terbukti. Yang perlu
ditunaikan sekarang adalah memperluas pengertian manusia itu:
bukan hanya rakyat negeri sendiri, tetapi seluruh umat Tuhan.
Menyebut-nyebut Tuhan di sini tidaklah dimaksud untuk tujuan
bergagah-gagah. Thomas Jefferson adalah contoh orang yang
sering menghimbau nama Nya dalam perjuangan demokrasi. Beberapa
kalimat terdengar mirip nadar: "Saya telah bersumpah di depan
altar Tuhan akan mengadakan permusuhan abadi menentang tiap
bentuk tirani atas pikiran manusia".
Calau saja Jefferson masih hidup, sumpah itu sangat boleh jadi
berobah jadi doa-syukur: demokrasi tidak selalu menang, tetapi
ternyata bertahan di negerinya. Maka apa pun bentuknya,
kemeriahan dua abad kemerdekaan ini adalah pesta-pora ketahanan
demokrasi itulah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini