KENDATI cuma memegang 233.038 lembar saham PT HP (1,18%), Nurmanlah, 44 tahun, yang selama ini menjadi nakhoda Group Hotel Prapatan. PT HP juga mempunyai anak perusahaan: PT Aryaduta Buana (manajemen perhotelan), PT Aryaduta Artha Prima (punya saham di Bank Angkasa), PT Hartamedia Prima (percetakan dan perdagangan umum), PT Shimatama Graha (pemilik restoran Jepang di Jakarta, Surabaya, dan Bali), dan PT Inecda (perkebunan kelapa sawit dan cokelat). Kepada Nurman jugalah B.M. Diah mempercayakan pengelolaan PT Merdeka Sarana Usaha (MSU) yang mengoperasikan tambak & pembekuan udang. Semua kegiatan itu, sialnya, belum membuahkan hasil. Bahkan Nurman ingin menjual PT MSU dan restoran Shima. Mendengar hal itu, sang ayah sangat kecewa. 12 Juni 1991: B.M. Diah melayangkan surat yang bernada kebapakan kepada Nurman. Ia bertanya mengapa PT MSU berantakan. Padahal tambak udang di Bangka seluas 17 ha pernah menggegerkan karena berproduksi 7,5 ton per ha. Ia lalu menuding manajemen MSU tidak mau kerja keras dan menagih kembali suratsurat rumahnya di Jalan Diponegoro 61 Jakarta, yang dijaminkan Nurman untuk kredit tambak udang. B.M. Diah bersedia mengambil kembali manajemen MSU. Nurman tidak bisa menerima kritik ayahnya. Ia menulis surat balasan dalam bahasa Inggris. Ditegaskannya bahwa antara mereka kini harus ada garis batas dan kontak hanya dilakukan dalam jalur bisnis. Menurut Nurman, MSU dioperkan B.M. Diah kepadanya sudah dalam keadaan porakporanda. Ia menuding B.M. Diah sebagai biang keladi. Sejak itu hubungan B.M. Diah dan putra sulungnya, Nurman, berkembang menjadi permusuhan yang memanas dalam selimut PT HP. 4 Juli 1991: B.M. Diah menegaskan kepada Presdir PT HP Herawati Diah bahwa semua pengeluaran perusahaan harus disetujui semua anggota direksi dan anggota direksi tidak boleh berutang kepada PT HP. Pernyataan ini dibalas Nurman dengan mengklaim pinjaman PT HP sebesar US$ 350.000 (sekitar Rp 700 juta) dari Deutsche Bank Jakarta untuk proyek tambak MSU. Klaim ini dibayar B.M. Diah dengan menarik uang dari Deutsche Bank Cabang Singapura ditambah klaim dividen PT Merdeka Press sejumlah US$ 72.000. 9 Agustus 1991: B.M. Diah minta penjelasan pengeluaran PT HP sebesar Rp 17,5 milyar untuk ekspansi PT HP. Klaim ini ditanggapi Direksi PT HP dengan mengklaim biaya pembangunan gedung Yayasan Dana B.M. Diah (YDBMD) di Jalan Diponegoro 64 (16 Agustus 1991). Direksi PT HP mengatakan sudah keluarkan Rp 2,4 milyar dan dicatat sebagai utang YDBMD. Untuk itu PT HP minta bunga 24% per tahun sejak pinjaman diberikan. Tagihan mereka Rp 2,7 milyar. 23 Agustus 1991: B.M. Diah membalas bahwa PT HP tak berhak atas YDBMD. September 1991: B.M. Diah menegur Dewan Komisaris PT HP untuk meluruskan apaapa yang membahayakan PT HP. Oktober 1991: B.M. Diah menagih sisa dividen tahun 1989 dan 1990 sebesar Rp 433,5 juta yang belum dibayar PT HP. Entah bagaimana perhitungannya, klaim ini susut tinggal Rp 2,3 milyar. April 1992: Soal klaim tersebut memicu perselisihan keluarga, hingga meledak. Dewan komisaris memecat B.M. Diah dari kursi Direksi PT HP. Sekitar April itulah B.M. Diah mengancam akan menjual sahamnya kepada pihak luar. Dalam tempo 4 bulan B.M. Diah berhasil mendapatkan pembeli yakni Salim Group. Akibatnya Ibu Herawati Diah yang menjabat direktur utama dan Nurman Diah yang direktur praktis akan menjadi pemegang saham minoritas. Max Wangkar, Dwi S. Irawanto, dan Sri Indrayati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini