ERA globalisasi membawa konsekuensi sendiri dalam bidang ekonomi. Para pengambil keputusan sangat menyadari hal ini, tapi Nono Anwar Makarim menilai bahwa Indonesia belum siap. Alasannya, ketika era globalisasi menuntut keterbukaan, di sini belum tersedia perangkat pendukung keterbukaan. Yang dimaksud Nono adalah perangkat hukum. "Repotnya, sikap dan kebijakan kita sering tidak jelas. Kita melakukan berbagai pembatasan demi berbagai alasan kepentingan nasional. Padahal, bidang ekonomi tumbuh dengan cara yang alamiah, termasuk mencari celahcelah dari kelemahan hukum," kata Nono lebih jauh. Pendapat ini dikemukakannya dalam sebuah diskusi tentang pembaruan hukum yang diadakan oleh The Jakarta Lawyers Club di Hotel Meridien, Selasa pekan silam. Pernyataan Nono didukung oleh T. Mulya Lubis, yang bahkan tanpa ragu menegaskan bahwa sudah tiba waktunya bagi Indonesia untuk mengubah peraturan penanaman modal asing (PMA). "Modal domestik saja sekarang bisa disulap menjadi modal asing," kata Mulya Lubis. "Tak perlu ada pembedaan antara modal asing dan domestik." Tanpa secara eksplisit menyebutkan contoh, siapa pun tahu yang dimaksud Mulya adalah pengubahan status PMDN (penanaman modal dalam negeri) menjadi PMA yang dilakukan atas proyek olefin Chandra Asri milik Prajogo Pangestu, belum lama berselang. Alternatif ini dipilih agar proyek besar yang berlokasi di Anyer dan telanjur menelan modal US$ 130 juta itu bisa lepas dari penjadwalan kembali sebagaimana ditetapkan oleh Tim PKLN (pinjaman komersial luar negeri). Adapun dasar tindakan Tim PKLN adalah Keppres 39/1991. Kendati ada PP No. 17 April 1992 dan Paket Juli 1992, yang melonggarkan regulasi bagi para PMA untuk bergerak di Indonesia, antara lain dalam soal penggunaan tanah, tapi masih ada saja keluhan dari pihak investor asing. Daftar negatif investasi, misalnya, sebagai satu bentuk proteksi, masih dinilai panjang. Padahal, banyak sektor yang hanya bisa berkembang kalau ada keterlibatan investasi asing. Belum lagi soal koordinasi yang lemah antara aparat BKPM Pusat dan BPKM di daerah. Kelemahan peraturan PMA juga kelihatan pada keharusan memberikan mayoritas saham (51%) kepada mitra lokal setelah 20 tahun suatu perusahaan beroperasi di sini. Untuk kerja sama dengan status PMA, mitra lokal pada awalnya maksimal menguasai 49%. Pertambahan 2% menurut Nono Makarim, tidak terlalu banyak menguntungkan mitra lokal, baik dari dividennya ataupun dalam hal transfer teknologi. "Transfer teknologi itu tidak bisa hanya ditentukan setelah 20 tahun atau saham naik dua persen," kata Nono Makarim. Soalnya, karena sudah menguasai mayoritas saham, tetap saja mitra lokal membayar hak paten dan royalti, yang bisa sangat mahal. Menurut Nono, kalau mau melakukan transfer teknologi, yang paling ideal adalah meniru Taiwan, dengan cara membongkar dan mempelajari teknologi dari luar, lalu diubah sedikit di sanasini sehingga lepas dari urusan hak paten. Karena berbagai kelemahan itu, UndangUndang PMA dianggap sudah waktunya disesuaikan dengan tuntutan perkembangan. "Saya menilai, UndangUndang PMA yang komplet dan canggih itu akhirnya seperti mobil Rolls Royce dikendarai di gang sempit," kata Nono menyindir. Ia berharap para pengambil keputusan melahirkan keputusan yang seimbang antara kepentingan nasionalis dan cara berpikir analitis (bisa jeli melihat untung dan ruginya) dan terfokus pada permasalahan. Beberapa peraturan PMA barangkali suatu saat bisa disesuaikan dengan tuntutan globalisasi. Tapi, bagi Pemerintah tampaknya mustahil untuk tidak membedakan PMA dan PMDN. Ketua BKPM Sanyoto Sastrowardoyo mengingatkan, "PMA itu sebagai pelengkap saja." Data terakhir (Juli 1992) di BKPM menunjukkan, nilai PMA yang masuk Indonesia US$ 58 milyar, sementara itu PMDN Rp 207,20 trilyun. Kalau PMA dan PMDN disamakan, kata Sanyoto, nanti kesempatan yang bagusbagus akan dimanfaatkan oleh PMA, sehingga mengurangi peluang PMDN. Sanyoto mempertanyakan, "Apa maunya begitu?" MC, Ivan Haris, dan Nunik Iswardhani
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini