Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
POROS Lapangan Banteng-Kebon Sirih kembali ”memanas” oleh gaung pro-kontra rencana percepatan pembayaran sisa utang Indonesia ke Dana Moneter Internasional (IMF) senilai US$ 7,5 miliar. Sikap terbaru bank sentral disuarakan Burhanuddin Abdullah, Senin pekan lalu. Di depan anggota Komisi Keuang-an DPR, Gubernur Bank Indonesia itu menyebutkan hasil kajian timnya di Kebon Sirih, yang telah disampaikannya ke pemerintah.
Menurut kajian itu, utang ke IMF akan dilunasi dua tahap. ”Setengah dari utang itu dibayar paling lambat minggu depan,” katanya. Sisanya dibayarkan akhir November atau Desember mendatang. Bisa juga awal tahun depan. ”Itu semua tergantung keadaan.”
Pernyataan Burhanuddin terasa me-nyentak. Jadwal pelunasan yang diso-dor-kannya lebih cepat ketimbang ”j-alan te-ngah” yang pernah diungkapkan Pre-siden Susilo Bambang Yudhoyono. Da-lam pertemuan dengan para gube-r-nur di Lombok, Nusa Tenggara Barat, 23 Mei, SBY memang menyatakan pembayaran utang direncanakan dua tahap. Tapi, waktunya lebih lama: dua tahun. Normalnya, utang itu bisa dicicil hingga 2010.
Dalam rapat di parlemen itu, sebetul-nya hadir pula Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan Menteri Peren-canaan Pembangunan Nasional/Kepa-la Bappenas Paskah Suzetta. Tapi, pe-me-rintah rupanya belum satu suara de-ngan bank sentral. Menurut sumber Tempo, keterangan Burhanuddin belum dikonsultasikan dengan Lapangan Banteng, markas kantor Menteri Koordinator Perekonomian dan Departemen Keuangan. ”Pemerintah tak diajak bicara dulu,” ujarnya.
Itu sebabnya, sore hari usai rapat di parlemen, pemerintah dan bank se-ntral menggelar rapat lanjutan. Hadir Menteri Koordinator Perekonomian Boedio-no, Menteri Keuangan Sri Mulyani, dan Paskah Suzetta, plus Gubernur BI Burhanuddin Abdullah. Para pe-tinggi bank sentral langsung diberondong ber-bagai pertanyaan tentang hitung-hi-tungan yang dijadikan alasan mempercepat pelunasan utang.
Jika dirunut ke belakang, rencana percepatan pelunasan utang ke IMF bergulir kencang setelah Deputi Gubernur Senior BI, Miranda Goeltom, melontarkan niat ini, awal Mei lalu. Menurut Miranda, dibayar sekaligus pun bisa. Alasannya, ”Cadangan devisa kita tinggi sekali.” Kini mencapai US$ 43 miliar—naik US$ 8 miliar dari akhir tahun lalu. Inilah angka tertinggi yang pernah dicapai Republik, kata Burhanuddin.
Lalu, disusunlah rencana pelunasan. Apalagi, suku bunga pinjaman IMF menjadi lebih mahal: naik dari 4,3 persen menjadi 4,58 persen. Menurut kalkulasi BI, kalaupun pinjaman itu diinvestasikan di luar negeri—seperti di surat utang pemerintah Amerika—perolehannya tak lagi menguntungkan. BI malah harus menanggung tekor 50-75 basis poin, alias 0,5-0,75 persen, karena masih dibebani biaya utang lain-lain—di luar bu-nga. ”Yang kami dapat justru negative spread,” kata Deputi Gubernur BI, Aslim Tadjuddin (baca Tempo, 21 Mei 2006).
Untuk meyakinkan parlemen, Bur-hanuddin juga menegaskan, kalaupun setengah dari utang itu dibayarkan dua tahap—mulai bulan ini—cadangan devisa masih aman. Stok masih cukup untuk biaya impor 4,18 bulan. Lain halnya kalau dibayar lunas sekaligus: cadang-an devisa langsung melorot cuma 3,79 bulan biaya impor.
Masih ada satu lagi alasan Burhanuddin. Menurut dia, tak perlu cemas bank sentral akan kekurangan valuta asing jika sewaktu-waktu dibutuhkan. Toh, kata Burhan, Indonesia telah mengantongi perjanjian pinjaman siaga dari negara-negara ASEAN plus three (Cina, Jepang, dan Korea Selatan) senilai total US$ 11 miliar. Dengan serenceng alasan itu, tekad BI pun makin bulat: utang ke IMF perlu segera dilunasi.
Tapi, sehari kemudian, giliran Menteri Sri Mulyani angkat bicara. Di depan anggota parlemen, mantan Kepala Bappenas ini menyatakan pelunasan utang ke IMF ujung-ujungnya akan membebani anggaran pendapatan dan belanja negara. Soalnya, pemerintah juga ter-ikat perjanjian dengan Japan Bank for International Cooperation (JBIC).
Dalam perjanjian disebutkan, jika utang ke IMF dilunasi, pinjaman ke lembaga keuangan asal Negeri Samurai itu pun harus dibayar. Nilainya US$ 700 juta, yang dikucurkan pada 1999, setelah Indonesia meneken perjanjian pinjaman siaga dengan IMF pada 1997. ”Nah, timbul persoalan karena dalam APBN tidak disediakan dana pelunas-annya,” kata Sri Mulyani. Tapi, Anggito Abimanyu optimistis tak akan ada masalah dengan JBIC. ”Ada pasal perjanjian untuk mengecualikannya,” ujar Kepala Badan Pengkajian Ekonomi Departemen Keuangan itu.
Kubu Lapangan Banteng, kata sumber Tempo, masih tetap mempersoalkan hitung-hitungan dan alasan di balik percepatan pelunasan utang. Dalam pertemuan koordinasi, Senin sore lalu itu, BI diminta menjelaskan kalkulasi untung-rugi pelunasan utang IMF. ”Ternyata persoalannya terletak pada ketidakmampuan BI memutar dana agar tetap menguntungkan,” ujarnya.
Hitung-hitungannya begini. T-otal biaya utang IMF, yang disebut-sebut BI mencapai 5,3 persen, ternyata saat ini cuma 4,9 persen. Angka setinggi itu di-buat BI berdasarkan asumsi ke depan. BI pun cuma menginvestasikan dana-nya pada surat utang pemerintah Amerika berjangka 1 bulan, yang bu-nganya hanya 3,8 persen. Jelas BI tekor. Padahal, ”Jika dianggap cadangan devisa berlebih, kenapa tidak diinvestasikan di surat utang yang berjangka waktu lebih panjang?” kata sumber itu.
Ambil contoh, untuk jangka waktu 3 bulan bunganya 4,8 persen, sedangkan untuk investasi 6 bulan bunganya di atas 5 persen. Kalau dikalkulasi, dengan dua opsi investasi itu, BI hanya akan ketiban tekor US$ 14 juta, atau malah untung US$ 6 juta. ”Jadi, bukan rugi sekitar US$ 200 juta seperti disebut-sebut selama ini,” katanya.
Lagi pula, kondisi ekonomi Indonesia belum sehat benar. Rupiah kini kembali terpuruk ke posisi Rp 9.400 per US$ 1. BI sendiri dalam siaran persnya tentang prospek perekonomian Indonesia 2006 memperkirakan ekonomi masih akan melambat pada triwulan kedua dan ketiga. Baru pada triwulan keempat diperkirakan bakal membaik. ”Nah, kalau dibayar sekarang, justru akan muncul kesan BI tak konsisten,” ujarnya.
Pendapat ini didukung Purbaya Y. Sa-dewa, ekonom PT Danareksa. Menurut dia, pemerintah sebaiknya tak keburu nafsu melunasi utang IMF. Bagaimanapun, pasar uang dan modal Indonesia sangat rentan terhadap rumor. Jika tak hati-hati, stabilitas perekonomian bisa kembali goyah. ”Sehingga biaya ekono-minya jauh lebih besar,” ujarnya.
Ferry Latuhihin, ekonom Bank Internasional Indonesia, mengingatkan BI hendaknya jangan terlalu percaya diri dengan cadangan devisa yang membengkak. Sebab, penggelembungan itu tak disertai masuknya dana investasi a-sing jangka panjang di sektor riil. Sekitar US$ 11 miliar, atau seperempat cadang-an devisa, masih berupa hot mo-ney, yang siap kabur sewaktu-waktu.
Buktinya, begitu merebak isu bank sentral Amerika bakal kembali menaik-kan suku bunganya, rupiah langsung jeblok—dari semula Rp 8.700 menjadi se-kitar Rp 9.450 per US$ 1. Karena itu, kata Ferry, niat bayar utang dengan alas-an cadangan devisa membengkak kebablasan. ”Pesta belum selesai,” ujarnya kepada Agus Supriyanto dari Tempo.
Suara berbeda diungkapkan ekonom Bank Mandiri, Martin Panggabean. Me-nurut dia, tak ada persoalan pembayaran tahap pertama dilakukan. Toh, kalau di akhir tahun kondisi ekonomi tak cukup kondusif, pembayaran tahap selanjutnya bisa ditunda. Lagi pula, suara pasar selama ini menginginkan risiko Indonesia mengecil. Dan ini bisa dicapai dengan menurunkan besaran utang. ”Jadi, kita konsisten sajalah,” katanya.
Soal penempatan dana IMF di surat utang dolar yang berjangka waktu le-bih panjang, Martin tak sepakat. Ada bebe-rapa catatan. Pertama, pinjaman itu berbentuk special drawing right (SDR), yang nilainya ditentukan berdasarkan sekumpulan mata uang utama dunia: dolar Amerika, yen Jepang, euro Eropa, dan poundsterling Inggris (1 SDR setara dengan US$ 1,49). Jika diinvestasikan di yen, tak menguntungkan, karena berbunga hampir nol persen, dan euro ha-nya sekitar 2,5 persen. Namun, jika seluruhnya di dolar, berisiko mengalami rugi kurs dan harga. ”Bisa-bisa bukan untung, malah buntung,” kata Martin.
Persoalannya lagi, menurut juru bica-ra BI, Rizal Djaafara, kalau nanti rugi, ”Siap nggak?” Karena itu, BI memi-lih bersikap hati-hati dan lebih condong pada sarana investasi jangka pendek yang lebih likuid. Terlepas dari itu, kata Rizal, bola toh kini tak lagi di tangan BI. Keputusan akhir ada di tangan pemerintah, selaku peneken perjanjian utang.
Tak mau grasa-grusu, Menteri Boe-diono akhirnya telah mengambil sikap: rencana percepatan pembayaran sementara ditangguhkan. ”Skenarionya kami rapikan dulu,” ujarnya di Istana Negara, Jakarta, Jumat lalu. Apalagi, seperti diungkap Anggito, lampu hijau dari JBIC pun belum di tangan.
Metta Dharmasaputra, Suryani Ika Sari, Bagja Hidayat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo