Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Bagaimana Kalau Wartawan Kurang

Wartawan perlu diambil sumpahnya untuk tetap menjunjung tinggi profesinya, kode etik jurnalistik, batasan & sanksinya. Pro dan kontra wartawan menerima amplop. Perubahan persyaratan keanggotaan oana.(md)

3 Februari 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LIHATLAH! Ada semacam kampanye: Sepanjang bulan Pebruari ini semua media cetak, radio dan televisi dimintanya supaya menyiarkan kode etik jurnalistik. Adakah yang salah di dunia pers? S. Tasrif, wartawan dan advokat, yang baru-baru ini diangkat oleh Kongres PWI menjadi Ketua Dewan Kehormatan Pers, mengatakan: "Kedudukan wartawan sekarang ini memang sulit-sering dipojokkan untuk melanggar kode etiknya sendiri. " Maksudnya ialah ada wartawan yang bobrok, tapi tak kurang pula orang yang senang memanfaatkan wartawan dengan pemberian ala kadarnya guna mengharapkan berita yang enak dibaca sendiri. "Itu sebabnya," kata Tasrif lagi, "selain harus diajarkan kepada wartawan sendiri, kode etik juga perlu dipahami oleh pemerintah dan masyarakat." (lihat Dari Telepon ke Amplop). Banyak hal yang dapat dikerjakan, kalau mau, selain menuding beberapa wartawan yang memang bobrok. Bila wartawan memeras, misalnya, tidak perlu ada orang atau pejabat yang begitu mudah menjadi sasaran pemerasan. Walikota Surabaya, Suparno, memberi contoh yang baik. Menurut Syarifuddin, Ketua PWI Surabaya, pernah Walikota Surabaya didatangi oleh seorang wartawan. Sambil menyodorkan sebuah konsep berita tentang aspal, dengan enaknya koresponden satu koran Jakarta itu mengancam: "Ini akan saya muat!" Suparno mengetahui maksud si wartawan supaya -- kalau tak ingin soal aspal itu jadi berita-berikan saja uang sekadarnya untuk penutup mulut, seperti uang transpor atau uang klise kek. Tapi tanpa banyak ribut, Suparno mempersilakan wartawan tadi untuk memuat saja beritanya. Toh kedudukan walikota tak akan goyah oleh sepotong berita. Dan Suparno juga mafhum: di samping si wartawan punya kewajiban membuat berita yang benar, hak jawab dimilikinya juga jika nama baiknya dirugikan semena-mena. Lagi pula, jika perlu, apa sulitnya menuntut wartawan? Seorang lurah di Lamongan juga pernah dikerjai wartawan. Tapi lurah ini bukan sasaran yang empuk. Urusan diteruskannya kepada yang berwajib. Usut punya usut, ternyata wartawan itu memang beken dalam soal ancam-mengancam dengan konsep berita. Sayangnya, sebelum urusan beres, si wartawan sudah keburu buron. Bupati Blitar, kata Syarifuddin, pernah juga berurusan dengan wartawan model begituan. Kali ini soal 'bisnis'. Seorang wartawan menawarkan 'jasa' baiknya. Dia berjanji akan menulis sesuatu yang baik-baik asal Pak Bupati memberikan imbalan Rp 75 ribu. Soal janji itu menjadi urusan rupanya setelah si wartawan tak juga kunjung menulis sesuatu di korannya. PWI Surabaya tentu tak merasa berhak mendesak bupati mengapa harus melayani permintaan wartawan yang jelas melanggar kode etik tersebut? Namun akhirnya anggota PWI itu minta maaf, dan Direktorat Sospol Pemda Blitar meminta kembali uangnya. Pemerasan, selain melanggar kode etik, pun masih merupakan perkara kriminil. Di Temanggung, umpamanya, seorang wartawan dihukum tiga bulan penjara bulan lalu. Dia dipersalahkan memeras seorang guru. Para guru tersebut, memang punya aib: dia dituduh berbuat zina di sebuah kebun kopi. Berita ini tercium hidung wartawan, Bam, koresponden koran Jakarta. Mula-mula Bam berhasil menekan Par untuk melolos jam tangan dan sejumlah uang. Par 'rela' memberikannya. Tapi Bam masih datang lagi kepadanya. Terakhir ini dia mengatasnamakan rekan-rekan wartawan lain, dan mengancam: Kalau Par tak mau memenuhi permintaannya awas, koran-koran sudah siap memberitakan aibnya. Par sudah tak punya sesuatu untuk diperas lagi. Mengapa tak melaporkannya ke polisi saja? Memang itulah yang dilakukannya. Hingga kasusnya sampai ke kejaksaan dan pengadilan, demikian Suara Karya. PWI Banjarmasin juga pernah memergoki anggotanya yang brengsek. Seorang wartawan seenaknya saja mendatangi seorang pejabat pemerintah, kemudian menyodorkan fotokopi berita yang dikatakannya siap cetak. Apalagi maksudnya kalau bukan minta uang? Pejabat tadi melaporkan pada PWI. Ternyata wartawan pemeras itu hanya orang suruhan saja. Di belakangnya, amit-amit, pemimpin redaksinya sendiri. Inisiatif pemberian sesuatu kepada wartawan tak selamanya datang dari pihak wartawan. Amplop yang beredar sering pula diterima wartawan karena dipaksakan. Ada yang pemberian lepas begitu saja -- tanpa permintaan yang mengikat. Namun cukup banyak yang berharap macam-macam dari pena sang wartawan. Dalam suatu peresmian proyek irigasi di Deli Serdang, Sumatera Utara, misalnya. Mata wartawan tertutup terhadap keadaan yang mestinya diketahuinya: proyek itu sudah rusak sebelum gubernur meresmikannya. Apa berita yang muncul keesokan harinya Cuma pidato gubernur saja! "Itulah kalau wartawan piaraan," kata seorang wartawan senior di sana. Tiga orang manipulator tanah PLN di Indramayu tengah diperiksa oleh yang berwajib. Dari kelicikan membebaskan tanah rakyat untuk gardu-gardu PLN, mereka berhasil menggaet uang jutaan rupiah. Untuk mengamankarl pekerjaan katanya, keuntungan harus dibagi ke beberapa pejabat. Dari tangan pejabat uang seterusnya mengalir sedikit ke kantong wartawan. Begitu KNI memberitakan. Sampai-sampai bandar judi KIM Gembira Ria di Semarang pun tak melupakan wartawan. Melalui tangan seorang pengurus PWI sendiri uang dibagikan ke banyak kantong wartawan Bahkan, melalui perantaraan wartawan-wartawannya, uang bandar T. Hasan Basri -- keturunan Cina Medan -- menyusul juga ke meja beberapa redaksi surat kabar lokal. Ada redaksi yang pernah menerima dan ada pula yang langsung mengembalikannya. Persoalan akhirnya menjadi ruwet bagi Hasan Basri. Sebab Majalah Detektip & Romantika tak dapat dibungkam Berseri-seri D&R menurunkan berita tentang bandar dan permainan KlM-nya Timbul silang-selisih. D&R punya fakta kegiatan Hasan Basri menyebar duitnya ke kantong wartawan. Sedangkan bandar KIM menuduh koresponden D&R Heru, telah memerasnya Rp 1 juta. Belakangan Hasan Basri mengadu ke pada Dewan Kehormatan Pers. Dia merasa hak jawabnya yang sampai dua kal dikirimkan tanpa dimuat. Akhirnya, D&R memang memuat lengkap bantahan bandar judi ini. Soal hak jawab, demikian Tasrif, memang salah satu dari sekian ketentuan kode etik yang sering digelapkan. Pemerintah Daerah Nusa Tenggara Timur pernah juga mengadu kepada Dewan Kehormatan Pers. Menurut penilaiannya, 75% berita tentang NTT negatif, "mencampuradukkan antara fakta opini dan kepentingan pribadi si pembuat berita." Menjiplak berita, plagiat, muncul di mana-mana. Syamsuddin Manan dari harian Mimbar Umum Medan melihat pelanggaran kode etik jenis ini berkembangbiak di Medan. Dia dapat menunjuk kegiatan salah seorang rekannya, yang aktif membuat tinjauan luar negeri, tanpa pernah menyebut dari mana bahan tulisannya itu dikutip. Di Medan memang pernah hadir Panitia Kode Etik. Tapi tak pernah aktif lagi. Sidangnya yang pertama dan terakhir, kata A. Manan Karim dari harian Analisa, ketika berembug soal kasus SIB (Sinar Indonesia Baru) Medan. SIB, 1976, pernah memuat pojok Bulan Anggur. Tulisan tersebut dinilai berbagai kalangan menghina dan merendahkan agama. Laksusda kontan menutup SIB selama sebulan. Panitia Kode Etik, setelah bersidang, memutuskan: SIB memang melanggar kode etik ! Setelah itu panitia tak berkutik lagi. Bukan tak ada pekerjaan. Seperti diakui Syamsuddin, koran-koran Medan banyak melanggar kode etik -- bahkan dari berbagai pasal -- "tapi umumnya sekarang didiamkan saja". Pelanggaran kode etik yang menggebu tak hanya berlaku di Medan saja. Terjadi juga di Riau, seperti dikemukakan Ketua PWI, Zuhdi, "di sini bahkan banyak yang mengaku sebagai wartawan." Pejabat jadi sering pusing mengurusnya. "Gertak sana-sini," kata Suhardi, Kepala Penerangan setempat, "paling-paling mereka memaksa pejabat untuk berlangganan koran mingguan. Atau minta sangu, katanya untuk meninjau suatu proyek." Coba tanya juga Imam Sudrajat yang jadi Ketua INSA (organisasi perusahaan pelayaran) Riau. Setelah wawancara sekenanya, demikian Sudrajat, ujungujungnya sang wartawan minta bantuan ini dan itu. 'Setidaknya minta karcis kapal gratis." Kantor Bea Cukai Riau juga kapok menghadapi wartawan. Kepada para pegawainya diedarkan surat perintah dilarang melayani wartawan ! Bukan apaapa. Sebab, menurut seorang pejabat, kedatangan juru berita "sering membawa angin payah, seperti minta iklanlah, jual kalender, atau memaksa berlangganan. " Bagaimana nih wartawan? Perubahan zaman, menurut Dr Tengku Jafizham SH, bekas wartawan kawakan Medan yang sekarang jadi dosen Fak. Hukum USU dan IAIN, memang "menghajatkan juga beberapa perubahan dalam sikap, cara kerja dan tatatertib wartawan. " Perubahan keadaan itulah, katanya, yang sering membuat wartawan berbuat atau terpojok untuk melanggar kode etiknya. Sekarang ini, katanya lagi, wartawan perlu diambil sumpahnya untuk tetap "menjunjung tinggi profesinya, tidak melanggar kode etik jurnalistik setia kepada Pancasila dan UUD 1945 dan sebagainya!" Perihal sumpah wartawan belum dibicarakan dalam Kongres PWI di Padang baru-baru ini. Acaranya baru mulai dengan kampanye kode etik. Bagi Ketua PWI Pusat, Harmoko, acara itu sudah lumayan untuk "melihat ke dalam" tubuh sendiri. "Jangan sampai ada kesan kita terus-terusan melanggar kode etik," katanya. "Tapi yang penting pula agar timbul saling pengertian antara pers dengan masyarakat dan pemerintah sehingga timbul pula rasa saling menghormati." Begitu juga yang diharapkan Tasrif: "Wartawan harus lebih terikat pada kode etiknya, sedangkan masyarakat dan pemerintah perlu memahami pekerjaan wartawan." Semua ketidakberesan pada wartawan, misalnya yang sampai melanggar hukum, dapat dituntut semestinya. Untuk pelanggaran kode etik silakan lapor ke Dewan Kehormatan Pers di Jalan ir Haji Juanda ke Jakarta Pusat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus