LIHATLAH! Ada semacam kampanye: Sepanjang bulan Pebruari ini
semua media cetak, radio dan televisi dimintanya supaya
menyiarkan kode etik jurnalistik. Adakah yang salah di dunia
pers?
S. Tasrif, wartawan dan advokat, yang baru-baru ini diangkat
oleh Kongres PWI menjadi Ketua Dewan Kehormatan Pers,
mengatakan: "Kedudukan wartawan sekarang ini memang sulit-sering
dipojokkan untuk melanggar kode etiknya sendiri. " Maksudnya
ialah ada wartawan yang bobrok, tapi tak kurang pula orang yang
senang memanfaatkan wartawan dengan pemberian ala kadarnya guna
mengharapkan berita yang enak dibaca sendiri. "Itu sebabnya,"
kata Tasrif lagi, "selain harus diajarkan kepada wartawan
sendiri, kode etik juga perlu dipahami oleh pemerintah dan
masyarakat." (lihat Dari Telepon ke Amplop).
Banyak hal yang dapat dikerjakan, kalau mau, selain menuding
beberapa wartawan yang memang bobrok. Bila wartawan memeras,
misalnya, tidak perlu ada orang atau pejabat yang begitu mudah
menjadi sasaran pemerasan. Walikota Surabaya, Suparno, memberi
contoh yang baik.
Menurut Syarifuddin, Ketua PWI Surabaya, pernah Walikota
Surabaya didatangi oleh seorang wartawan. Sambil menyodorkan
sebuah konsep berita tentang aspal, dengan enaknya koresponden
satu koran Jakarta itu mengancam: "Ini akan saya muat!" Suparno
mengetahui maksud si wartawan supaya -- kalau tak ingin soal
aspal itu jadi berita-berikan saja uang sekadarnya untuk penutup
mulut, seperti uang transpor atau uang klise kek. Tapi tanpa
banyak ribut, Suparno mempersilakan wartawan tadi untuk memuat
saja beritanya. Toh kedudukan walikota tak akan goyah oleh
sepotong berita. Dan Suparno juga mafhum: di samping si wartawan
punya kewajiban membuat berita yang benar, hak jawab dimilikinya
juga jika nama baiknya dirugikan semena-mena. Lagi pula, jika
perlu, apa sulitnya menuntut wartawan?
Seorang lurah di Lamongan juga pernah dikerjai wartawan. Tapi
lurah ini bukan sasaran yang empuk. Urusan diteruskannya kepada
yang berwajib. Usut punya usut, ternyata wartawan itu memang
beken dalam soal ancam-mengancam dengan konsep berita.
Sayangnya, sebelum urusan beres, si wartawan sudah keburu buron.
Bupati Blitar, kata Syarifuddin, pernah juga berurusan dengan
wartawan model begituan. Kali ini soal 'bisnis'. Seorang
wartawan menawarkan 'jasa' baiknya. Dia berjanji akan menulis
sesuatu yang baik-baik asal Pak Bupati memberikan imbalan Rp 75
ribu. Soal janji itu menjadi urusan rupanya setelah si wartawan
tak juga kunjung menulis sesuatu di korannya. PWI Surabaya tentu
tak merasa berhak mendesak bupati mengapa harus melayani
permintaan wartawan yang jelas melanggar kode etik tersebut?
Namun akhirnya anggota PWI itu minta maaf, dan Direktorat Sospol
Pemda Blitar meminta kembali uangnya.
Pemerasan, selain melanggar kode etik, pun masih merupakan
perkara kriminil. Di Temanggung, umpamanya, seorang wartawan
dihukum tiga bulan penjara bulan lalu. Dia dipersalahkan memeras
seorang guru. Para guru tersebut, memang punya aib: dia dituduh
berbuat zina di sebuah kebun kopi. Berita ini tercium hidung
wartawan, Bam, koresponden koran Jakarta.
Mula-mula Bam berhasil menekan Par untuk melolos jam tangan dan
sejumlah uang. Par 'rela' memberikannya. Tapi Bam masih datang
lagi kepadanya. Terakhir ini dia mengatasnamakan rekan-rekan
wartawan lain, dan mengancam: Kalau Par tak mau memenuhi
permintaannya awas, koran-koran sudah siap memberitakan aibnya.
Par sudah tak punya sesuatu untuk diperas lagi. Mengapa tak
melaporkannya ke polisi saja? Memang itulah yang dilakukannya.
Hingga kasusnya sampai ke kejaksaan dan pengadilan, demikian
Suara Karya.
PWI Banjarmasin juga pernah memergoki anggotanya yang brengsek.
Seorang wartawan seenaknya saja mendatangi seorang pejabat
pemerintah, kemudian menyodorkan fotokopi berita yang
dikatakannya siap cetak. Apalagi maksudnya kalau bukan minta
uang? Pejabat tadi melaporkan pada PWI. Ternyata wartawan
pemeras itu hanya orang suruhan saja. Di belakangnya, amit-amit,
pemimpin redaksinya sendiri.
Inisiatif pemberian sesuatu kepada wartawan tak selamanya datang
dari pihak wartawan. Amplop yang beredar sering pula diterima
wartawan karena dipaksakan. Ada yang pemberian lepas begitu saja
-- tanpa permintaan yang mengikat. Namun cukup banyak yang
berharap macam-macam dari pena sang wartawan.
Dalam suatu peresmian proyek irigasi di Deli Serdang, Sumatera
Utara, misalnya. Mata wartawan tertutup terhadap keadaan yang
mestinya diketahuinya: proyek itu sudah rusak sebelum gubernur
meresmikannya. Apa berita yang muncul keesokan harinya Cuma
pidato gubernur saja! "Itulah kalau wartawan piaraan," kata
seorang wartawan senior di sana.
Tiga orang manipulator tanah PLN di Indramayu tengah diperiksa
oleh yang berwajib. Dari kelicikan membebaskan tanah rakyat
untuk gardu-gardu PLN, mereka berhasil menggaet uang jutaan
rupiah. Untuk mengamankarl pekerjaan katanya, keuntungan harus
dibagi ke beberapa pejabat. Dari tangan pejabat uang seterusnya
mengalir sedikit ke kantong wartawan. Begitu KNI memberitakan.
Sampai-sampai bandar judi KIM Gembira Ria di Semarang pun tak
melupakan wartawan. Melalui tangan seorang pengurus PWI sendiri
uang dibagikan ke banyak kantong wartawan Bahkan, melalui
perantaraan wartawan-wartawannya, uang bandar T. Hasan Basri --
keturunan Cina Medan -- menyusul juga ke meja beberapa redaksi
surat kabar lokal. Ada redaksi yang pernah menerima dan ada pula
yang langsung mengembalikannya.
Persoalan akhirnya menjadi ruwet bagi Hasan Basri. Sebab Majalah
Detektip & Romantika tak dapat dibungkam Berseri-seri D&R
menurunkan berita tentang bandar dan permainan KlM-nya Timbul
silang-selisih. D&R punya fakta kegiatan Hasan Basri menyebar
duitnya ke kantong wartawan. Sedangkan bandar KIM menuduh
koresponden D&R Heru, telah memerasnya Rp 1 juta.
Belakangan Hasan Basri mengadu ke pada Dewan Kehormatan Pers.
Dia merasa hak jawabnya yang sampai dua kal dikirimkan tanpa
dimuat. Akhirnya, D&R memang memuat lengkap bantahan bandar judi
ini. Soal hak jawab, demikian Tasrif, memang salah satu dari
sekian ketentuan kode etik yang sering digelapkan.
Pemerintah Daerah Nusa Tenggara Timur pernah juga mengadu
kepada Dewan Kehormatan Pers. Menurut penilaiannya, 75% berita
tentang NTT negatif, "mencampuradukkan antara fakta opini dan
kepentingan pribadi si pembuat berita."
Menjiplak berita, plagiat, muncul di mana-mana. Syamsuddin Manan
dari harian Mimbar Umum Medan melihat pelanggaran kode etik
jenis ini berkembangbiak di Medan. Dia dapat menunjuk kegiatan
salah seorang rekannya, yang aktif membuat tinjauan luar negeri,
tanpa pernah menyebut dari mana bahan tulisannya itu dikutip.
Di Medan memang pernah hadir Panitia Kode Etik. Tapi tak pernah
aktif lagi. Sidangnya yang pertama dan terakhir, kata A. Manan
Karim dari harian Analisa, ketika berembug soal kasus SIB (Sinar
Indonesia Baru) Medan. SIB, 1976, pernah memuat pojok Bulan
Anggur. Tulisan tersebut dinilai berbagai kalangan menghina dan
merendahkan agama. Laksusda kontan menutup SIB selama sebulan.
Panitia Kode Etik, setelah bersidang, memutuskan: SIB memang
melanggar kode etik !
Setelah itu panitia tak berkutik lagi. Bukan tak ada pekerjaan.
Seperti diakui Syamsuddin, koran-koran Medan banyak melanggar
kode etik -- bahkan dari berbagai pasal -- "tapi umumnya
sekarang didiamkan saja".
Pelanggaran kode etik yang menggebu tak hanya berlaku di Medan
saja. Terjadi juga di Riau, seperti dikemukakan Ketua PWI,
Zuhdi, "di sini bahkan banyak yang mengaku sebagai wartawan."
Pejabat jadi sering pusing mengurusnya. "Gertak sana-sini," kata
Suhardi, Kepala Penerangan setempat, "paling-paling mereka
memaksa pejabat untuk berlangganan koran mingguan. Atau minta
sangu, katanya untuk meninjau suatu proyek."
Coba tanya juga Imam Sudrajat yang jadi Ketua INSA (organisasi
perusahaan pelayaran) Riau. Setelah wawancara sekenanya,
demikian Sudrajat, ujungujungnya sang wartawan minta bantuan ini
dan itu. 'Setidaknya minta karcis kapal gratis."
Kantor Bea Cukai Riau juga kapok menghadapi wartawan. Kepada
para pegawainya diedarkan surat perintah dilarang melayani
wartawan ! Bukan apaapa. Sebab, menurut seorang pejabat,
kedatangan juru berita "sering membawa angin payah, seperti
minta iklanlah, jual kalender, atau memaksa berlangganan. "
Bagaimana nih wartawan? Perubahan zaman, menurut Dr Tengku
Jafizham SH, bekas wartawan kawakan Medan yang sekarang jadi
dosen Fak. Hukum USU dan IAIN, memang "menghajatkan juga
beberapa perubahan dalam sikap, cara kerja dan tatatertib
wartawan. " Perubahan keadaan itulah, katanya, yang sering
membuat wartawan berbuat atau terpojok untuk melanggar kode
etiknya. Sekarang ini, katanya lagi, wartawan perlu diambil
sumpahnya untuk tetap "menjunjung tinggi profesinya, tidak
melanggar kode etik jurnalistik setia kepada Pancasila dan UUD
1945 dan sebagainya!"
Perihal sumpah wartawan belum dibicarakan dalam Kongres PWI di
Padang baru-baru ini. Acaranya baru mulai dengan kampanye kode
etik. Bagi Ketua PWI Pusat, Harmoko, acara itu sudah lumayan
untuk "melihat ke dalam" tubuh sendiri. "Jangan sampai ada kesan
kita terus-terusan melanggar kode etik," katanya. "Tapi yang
penting pula agar timbul saling pengertian antara pers dengan
masyarakat dan pemerintah sehingga timbul pula rasa saling
menghormati."
Begitu juga yang diharapkan Tasrif: "Wartawan harus lebih
terikat pada kode etiknya, sedangkan masyarakat dan pemerintah
perlu memahami pekerjaan wartawan." Semua ketidakberesan pada
wartawan, misalnya yang sampai melanggar hukum, dapat dituntut
semestinya. Untuk pelanggaran kode etik silakan lapor ke Dewan
Kehormatan Pers di Jalan ir Haji Juanda ke Jakarta Pusat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini