Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Tuan Tanah Wereng

Presiden Soeharto melalui Menmud Achmad Affandi mengecam orang-orang kaya di kota yang menguasai sawah-sawah di desa dan menolak penanaman padi unggul tahan wereng (vutw), menyebabkan petani menderita.(eb)

3 Februari 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"MEREKA itu tak membantu produksi pangan nasional. Mereka menyebabkan petani menderita dan menyusahkan petugas." Ini kata-kata Presiden Suharto, ketika Menmud Urusan Pangan ir Achmad Affandi melaporkan rusaknya 86 ribu Ha sawah di Jawa gara-gara dimakan wereng. Alamat kecaman Kepala Negara, adalah orang orang kaya di kota yang menguasa sawah-sawah di desa, dan menolak penanaman padi unggul yang tahan wereng (VUTW). Affandi ada mengajukan contok di daerah Delanggu, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, kini terancam wereng biotype II. Menurut Menmud itu ada orang kaya yang datang dari kota dan memborong hasil sawah petan yang ditanami padi Rojolele seharga Rp 140 ribu per patok. Sedang yang di tanami padi VUTW seri-PB hana mau dibayarnya seharga Rp 70 sampai 80 ribu/patok. "Ini kan merangsang petani untuk menanam jenis padi yang justru digemari wereng, seperti Rojolele dan Cianjur," katanya. Orang kaya yang menolak penanaman VUTW itu dinilai Pesiden "tak membantu usaha pengendalian harga." Kepala Negara memahami keengganan menanam VUTW itu ada hubungannya dengan selera orang-orang kaya tersebut. "Saya tahu, jenis VUTW itu tak sejenak Rojolele atau Cianjur. Tapi kalau mau enak-enak, mbok ya nanti dulu," demikian Affandi mengutip Presiden. Namun dari sudut petaninya sendiri, ada alasan tertentu mengapa ada yang tak senang VUTW. "Sawah kami selalu tergenang air," ucap Kasbullah, 51 tahun, petani di desa Klurak, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. Keterangannya kepada pembantu TEMPO Slamet Urip Pribadi dibenarkan Ketua LSD-nya. Soalnya, padi tahan wereng yang berbatang pendek itu, akan terendam air dan mati. Itu sebabnya 106 petani desa Klurak yang punya sawah 82 Ha tetap saja menanam padi Jawa alias Campa. Begitu pula petani desa Beji dan desa Putat, masih dekat Surabaya. Selain itu, "harga padi Jawa di sini Rp 11 ribu/kwintal, sedang IR cuma Rp 8000," ujar Sudja'i, tetangga Kasbullah. Padi jenis IR atau PB itu pun sangat peka terhadap hama sundep, sehingga harus diberi obat Kuradan 20 kg/Ha. Padahal, menurut Kasbullah, "kuradan sulit didapat. Harus beli ke Surabaya dengan harga Rp 1000/kg. Meskipun menurut pengumuman pemerintah cuma Rp 300/kg." Sedang pasaran yang begitu tinggi buat beras Jawa, terpulang ke selera konsumen juga yang tak seluruhnya kaya. Bak kata seorang konsumen kepada TEMPO: "Nasi Jawa dengan lauk sambel saja sudah enak. Jadi biar beli berasnya agak mahal, bisa ngirit di lauk." Sinyalemen Presiden -- khususnya tuan tanah absen yang ogah menanam VUTW -- memang bisa dijumpai di daerah pertanian di Jawa Barat Utara. Di Kecamatan Jatisari, Kabupaten Karawang misalnya, pernah ada keluhan BUUD: seorang kuasa tuan tanah mewakili pemilik 60 Ha sawah kelas I ngotot menanam padi Cianjur yang tak tahan wereng. "Jangankan membeli bibit unggul, membeli sarana produksi lainnya seperti pupuk dan obat-obatan dari kios BUUD pun dia tak mau. Padahal sawah yang 60 Ha itu kan termasuk Wilud (Wilayah Unit Desa) kami," ucap seorang pengurus BUUD di sana. Lebih mengesalkan lagi para tuan tanah absen itu hanya nongol sebentar di desa di kala panen, kemudian kembali lagi ke kota menggondol hasil panen yang puluhan ton itu. Tanpa sedikit pun ikut dalam program pengadaan pangan Dolog, seperti petani-petani setempat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus