"MEREKA itu tak membantu produksi pangan nasional. Mereka
menyebabkan petani menderita dan menyusahkan petugas." Ini
kata-kata Presiden Suharto, ketika Menmud Urusan Pangan ir
Achmad Affandi melaporkan rusaknya 86 ribu Ha sawah di Jawa
gara-gara dimakan wereng. Alamat kecaman Kepala Negara, adalah
orang orang kaya di kota yang menguasa sawah-sawah di desa, dan
menolak penanaman padi unggul yang tahan wereng (VUTW).
Affandi ada mengajukan contok di daerah Delanggu, Kabupaten
Klaten, Jawa Tengah, kini terancam wereng biotype II. Menurut
Menmud itu ada orang kaya yang datang dari kota dan memborong
hasil sawah petan yang ditanami padi Rojolele seharga Rp 140
ribu per patok. Sedang yang di tanami padi VUTW seri-PB hana
mau dibayarnya seharga Rp 70 sampai 80 ribu/patok. "Ini kan
merangsang petani untuk menanam jenis padi yang justru digemari
wereng, seperti Rojolele dan Cianjur," katanya.
Orang kaya yang menolak penanaman VUTW itu dinilai Pesiden "tak
membantu usaha pengendalian harga." Kepala Negara memahami
keengganan menanam VUTW itu ada hubungannya dengan selera
orang-orang kaya tersebut. "Saya tahu, jenis VUTW itu tak
sejenak Rojolele atau Cianjur. Tapi kalau mau enak-enak, mbok ya
nanti dulu," demikian Affandi mengutip Presiden.
Namun dari sudut petaninya sendiri, ada alasan tertentu mengapa
ada yang tak senang VUTW. "Sawah kami selalu tergenang air,"
ucap Kasbullah, 51 tahun, petani di desa Klurak, Kabupaten
Sidoarjo, Jawa Timur. Keterangannya kepada pembantu TEMPO Slamet
Urip Pribadi dibenarkan Ketua LSD-nya. Soalnya, padi tahan
wereng yang berbatang pendek itu, akan terendam air dan mati.
Itu sebabnya 106 petani desa Klurak yang punya sawah 82 Ha tetap
saja menanam padi Jawa alias Campa. Begitu pula petani desa Beji
dan desa Putat, masih dekat Surabaya.
Selain itu, "harga padi Jawa di sini Rp 11 ribu/kwintal, sedang
IR cuma Rp 8000," ujar Sudja'i, tetangga Kasbullah. Padi jenis
IR atau PB itu pun sangat peka terhadap hama sundep, sehingga
harus diberi obat Kuradan 20 kg/Ha. Padahal, menurut Kasbullah,
"kuradan sulit didapat. Harus beli ke Surabaya dengan harga Rp
1000/kg. Meskipun menurut pengumuman pemerintah cuma Rp 300/kg."
Sedang pasaran yang begitu tinggi buat beras Jawa, terpulang ke
selera konsumen juga yang tak seluruhnya kaya. Bak kata seorang
konsumen kepada TEMPO: "Nasi Jawa dengan lauk sambel saja sudah
enak. Jadi biar beli berasnya agak mahal, bisa ngirit di lauk."
Sinyalemen Presiden -- khususnya tuan tanah absen yang ogah
menanam VUTW -- memang bisa dijumpai di daerah pertanian di Jawa
Barat Utara. Di Kecamatan Jatisari, Kabupaten Karawang misalnya,
pernah ada keluhan BUUD: seorang kuasa tuan tanah mewakili
pemilik 60 Ha sawah kelas I ngotot menanam padi Cianjur yang tak
tahan wereng. "Jangankan membeli bibit unggul, membeli sarana
produksi lainnya seperti pupuk dan obat-obatan dari kios BUUD
pun dia tak mau. Padahal sawah yang 60 Ha itu kan termasuk Wilud
(Wilayah Unit Desa) kami," ucap seorang pengurus BUUD di sana.
Lebih mengesalkan lagi para tuan tanah absen itu hanya nongol
sebentar di desa di kala panen, kemudian kembali lagi ke kota
menggondol hasil panen yang puluhan ton itu. Tanpa sedikit pun
ikut dalam program pengadaan pangan Dolog, seperti petani-petani
setempat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini