Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Ada Yang Menggoda

Wawancara tempo dengan wartawan Moh. Koerdi, Soendoro, M. Wonohito dan agus husni mengenai pro dan kontra "wartawan menerima amplop". (md)

3 Februari 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DARI mana amplop? Salahkah wartawan yang menerimanya Ada pro dan kontra. Disini sedikit dialog TEMPO dengan wartawan tua dan muda:  Wartawan yang ngepos di Balaikota DKI Jakarta ada 40 orang. Setiap tahun -- lebaran -- mereka mendapat pembagian kain masing-masing 6 yard. Setiap bulan ada pula droping uang dari beberapa instansi yang mereka bagi rata. Apa itu tidak melanggar kode etik? "Bagi saya tidak terlalu repot," kata Agus Husni, 30 tahun, dari Harian Angkatan Bersenjata yang mengetuai kelompok wartawan DKI. "Saya terima amplop selama tidak mengikat." Supaya merasa tidak terikat, katanya, "saya tetap menjaga jarak dengan sumber berita -- biar dia tidak sakit hati, sayapun tetap senang." Anggota PWI ini mengaku tak pernah membaca kode etik jurnalistik secara khusus. Dia membacanya sarnbil lalu saja. Dia tak membantah kegiatan peramplopan itu melanggar kode etik. Tapi setelah 10 tahun jadi wartawan, "saya belum melihat kebudayaan amplop akan ditinggalkan wartawan sini." Mengapa? "Keadaan yang salah! Yang memberi amplop saja tak merasa keberatan. Katakanlah kita ini harus idealis. Bagaimana dengan keluarga kita yang berantakan?"  Satu-satunya perintis pers Indonesia yang masih hidup, ya, Mohammad Koerdi. Umurnya sudah 72 tahun. Kenyang sudah ia menikmati hidup pahit jaman pers perjuangan. Gajinya dari Harian Sipatahoenan, 100 gulden, atau kurang dari sepersepuluh yang diterima wartawan Belanda atau Cina. Tapi tak pernah ia menerima amplop -- memang pada zaman dulu tak ada amplop yang menggoda. M. Koerdi, yang sekarang tinggal di Bandung, pernah ikut melahirkan kode etik bagi wartawan. Kode etik lahir bukan karena soal amplop. Waktu itu, katanya, wartawan perlu batas-batas dan aturan berpolemik yang baik. Bagaimana pers sekarang? "Jawaban saya bisa salah," katanya merendah. "Bentuk koran dan majalah sudah bagus. Tapi jangan sampai bajunya bagus, badannya gagah, tapi jiwanya kosong."  "Wartawan disogok sudah sejak dulu . . . jaman Hitler." Begitu kata Soendoro, wartawan sepuh dari Yogya, yang kini menjadi dosen di Gama dan IKIP. Namun wartawan amplop, katanya, muncul belakangan ini. "Semakin menggalak di masa pembangunan ini." Besar kecilnya berita, katanya, sering diukur dengan tebal tipisnya amplop yang diterima wartawan. "Itu pelanggaran kode etik. Sebab wartawan itu cari berita untuk kepentingan masyarakat dan bukan untuk diri sendiri." Amplop sering terselubung sebagai uang tranpor, kata Soendoro, "tapi kalau menurut ukuran Yogya, amplop berisi Rp 5000 itu bukan uang transpor, melainkan sogokan. Lebih berbahaya Iagi bila amplop itu diperoleh dengan cara pemerasan." Namun di matanya bukan wartawan saja yang salah. Pejabat suka main off-the- record. "Masak soal busung lapar off-the-record? Wartawan memang harus cari akal, agar tak melanggar kode etik, tapi busung lapar harus tetap jadi berita."  M. Wonohito, Pemimpin Redaksi, Penanggungjawab harian Kedaulatan Rakyat, Yogya, tidak anti amplop "Wartawan menerima amplop itu 'nggak apa-apa." Asalkan cara memperolehnya "bukan dengan pemerasan." Tapi, demikian pesannya, kalau bisa jangan menerima amplop. "Tapi mau bagaimana lagi? Memang diperlukan kompromi antara yang kita maui dengan kenyataan yang ada. Kenyataannya wartawan masih miskin. Yang memberi juga salah tafsir jika ditampik. Pejabat juga banyak yang belum tahu tentang pers, menggoda wartawan dengan amplop, apa lagi kalau tidak melanggar kode etik?" Dari dulu Wonohito, 66 tahun, telah mengusulkan kepada Mashuri yang waktu itu menjabat Menteri Penerangan: "Baiknya jurnalistik diajarkan kepada siswa SLA tingkat terakhir." Bukan ia mengharap supaya mereka semua menjadi wartawan. "Tapi kalau mereka kelak jadi lurah, camat atau gubernur, biar tahu tentang pers. Biar tahu bagaimana menghadapi wartawan. Tahu menggunakan hak jawab. Juga biar tidak menggoda wartawan untuk melanggar kode etik seperti sekarang."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus