DARI mana amplop? Salahkah wartawan yang menerimanya Ada pro
dan kontra. Disini sedikit dialog TEMPO dengan wartawan tua dan
muda:
Wartawan yang ngepos di Balaikota DKI Jakarta ada 40 orang.
Setiap tahun -- lebaran -- mereka mendapat pembagian kain
masing-masing 6 yard. Setiap bulan ada pula droping uang dari
beberapa instansi yang mereka bagi rata. Apa itu tidak melanggar
kode etik?
"Bagi saya tidak terlalu repot," kata Agus Husni, 30 tahun, dari
Harian Angkatan Bersenjata yang mengetuai kelompok wartawan DKI.
"Saya terima amplop selama tidak mengikat." Supaya merasa tidak
terikat, katanya, "saya tetap menjaga jarak dengan sumber berita
-- biar dia tidak sakit hati, sayapun tetap senang."
Anggota PWI ini mengaku tak pernah membaca kode etik jurnalistik
secara khusus. Dia membacanya sarnbil lalu saja. Dia tak
membantah kegiatan peramplopan itu melanggar kode etik. Tapi
setelah 10 tahun jadi wartawan, "saya belum melihat kebudayaan
amplop akan ditinggalkan wartawan sini."
Mengapa? "Keadaan yang salah! Yang memberi amplop saja tak
merasa keberatan. Katakanlah kita ini harus idealis. Bagaimana
dengan keluarga kita yang berantakan?"
Satu-satunya perintis pers Indonesia yang masih hidup, ya,
Mohammad Koerdi. Umurnya sudah 72 tahun. Kenyang sudah ia
menikmati hidup pahit jaman pers perjuangan. Gajinya dari Harian
Sipatahoenan, 100 gulden, atau kurang dari sepersepuluh yang
diterima wartawan Belanda atau Cina. Tapi tak pernah ia menerima
amplop -- memang pada zaman dulu tak ada amplop yang menggoda.
M. Koerdi, yang sekarang tinggal di Bandung, pernah ikut
melahirkan kode etik bagi wartawan. Kode etik lahir bukan karena
soal amplop. Waktu itu, katanya, wartawan perlu batas-batas dan
aturan berpolemik yang baik.
Bagaimana pers sekarang? "Jawaban saya bisa salah," katanya
merendah. "Bentuk koran dan majalah sudah bagus. Tapi jangan
sampai bajunya bagus, badannya gagah, tapi jiwanya kosong."
"Wartawan disogok sudah sejak dulu . . . jaman Hitler." Begitu
kata Soendoro, wartawan sepuh dari Yogya, yang kini menjadi
dosen di Gama dan IKIP. Namun wartawan amplop, katanya, muncul
belakangan ini. "Semakin menggalak di masa pembangunan ini."
Besar kecilnya berita, katanya, sering diukur dengan tebal
tipisnya amplop yang diterima wartawan. "Itu pelanggaran kode
etik. Sebab wartawan itu cari berita untuk kepentingan
masyarakat dan bukan untuk diri sendiri."
Amplop sering terselubung sebagai uang tranpor, kata Soendoro,
"tapi kalau menurut ukuran Yogya, amplop berisi Rp 5000 itu
bukan uang transpor, melainkan sogokan. Lebih berbahaya Iagi
bila amplop itu diperoleh dengan cara pemerasan." Namun di
matanya bukan wartawan saja yang salah. Pejabat suka main
off-the- record. "Masak soal busung lapar off-the-record?
Wartawan memang harus cari akal, agar tak melanggar kode etik,
tapi busung lapar harus tetap jadi berita."
M. Wonohito, Pemimpin Redaksi, Penanggungjawab harian
Kedaulatan Rakyat, Yogya, tidak anti amplop "Wartawan menerima
amplop itu 'nggak apa-apa." Asalkan cara memperolehnya "bukan
dengan pemerasan." Tapi, demikian pesannya, kalau bisa jangan
menerima amplop. "Tapi mau bagaimana lagi? Memang diperlukan
kompromi antara yang kita maui dengan kenyataan yang ada.
Kenyataannya wartawan masih miskin. Yang memberi juga salah
tafsir jika ditampik. Pejabat juga banyak yang belum tahu
tentang pers, menggoda wartawan dengan amplop, apa lagi kalau
tidak melanggar kode etik?"
Dari dulu Wonohito, 66 tahun, telah mengusulkan kepada Mashuri
yang waktu itu menjabat Menteri Penerangan: "Baiknya jurnalistik
diajarkan kepada siswa SLA tingkat terakhir." Bukan ia mengharap
supaya mereka semua menjadi wartawan. "Tapi kalau mereka kelak
jadi lurah, camat atau gubernur, biar tahu tentang pers. Biar
tahu bagaimana menghadapi wartawan. Tahu menggunakan hak jawab.
Juga biar tidak menggoda wartawan untuk melanggar kode etik
seperti sekarang."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini