Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HARI ini hampir pasti kita tidak bisa hidup tanpa jasa pengantaran (kurir) barang, makanan, dan keperluan sehari-hari lain. Mobilitas kita juga makin bergantung pada layanan kendaraan online. Para kurir dan pengemudi jasa pengantaran ini pun berperan vital menopang hidup banyak orang selama masa pandemi ketika pemerintah membatasi pergerakan masyarakat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Masalahnya, kemudahan yang kita nikmati berbanding terbalik dengan kesejahteraan para kurir dan pengemudi itu. Beberapa kali mereka memprotes menuntut penghasilan layak. Pendapatan perusahaan jasa pengiriman naik signifikan saat pandemi terjadi, tapi upah para kurirnya dipangkas. Mereka juga menerima pemotongan komisi atau bagi hasil yang amat timpang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Realitas ini hanya bagian kecil dari fenomena gig economy atau ekonomi gig yang kini berkembang pesat. “Ekonomi gig” adalah istilah yang menggambarkan konsep pekerjaan jangka pendek yang menawarkan fleksibilitas jam kerja (Oppong, 2019). Di Indonesia, kita mengenal pekerjaan dengan karakteristik ini sebagai freelance (pekerjaan lepas) yang mayoritas berpusat di sektor informal. Istilah “gig” awalnya melekat pada musikus yang menerima pekerjaan dari panggung ke panggung. Gig economy pun merujuk pada ekonomi yang digerakkan oleh mereka yang bekerja dari “panggung ke panggung”.
Gig economy mulai populer pada puncak krisis keuangan awal 2009, ketika para penganggur mencari nafkah dengan menjalani beberapa pekerjaan paruh waktu sekaligus. Model bisnis ini kian populer pada 2015 bersamaan dengan munculnya perusahaan unicorn seperti Uber dan Airbnb yang menjalankan banyak pekerjaan gig (Hook, 2022). Pemanfaatan Internet yang makin luas serta menjamurnya perusahaan rintisan digital membuat praktik kerja gig makin lazim. Pekerjaan jenis ini tidak terikat kontrak, bersifat bebas atau lepas karena bisa berakhir kapan saja—dari panggung ke panggung.
Awalnya, gig economy dipandang sebagai terobosan baru. Ia memungkinkan pekerja punya waktu lebih luang untuk mengeksplorasi banyak hal dan dipercaya memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi. Belakangan, ia menjadi jebakan. Banyak pekerja lepas (gigger, freelancer) berpindah dari satu pekerjaan ke pekerjaan lain, menerima upah lebih rendah dan kontrak yang tidak stabil tanpa prospek keamanan finansial, stabilitas pekerjaan, atau kemajuan karier (Rosario & Rigg, 2019).
Pandemi Covid-19 menjadi momentum lain tumbuhnya ekonomi gig selepas krisis ekonomi 2009. Data jumlah rata-rata pekerjaan harian lepas yang diunggah di beberapa platform ekonomi meningkat sejak pandemi melanda dunia (Umar & Mirza, 2020). Di Indonesia, dua tahun terakhir, jumlah pekerja sektor informal naik signifikan. Sebelumnya, sejak 2016, kenaikan per tahun hanya berkisar 2 persen. Pada 2020, jumlah itu melonjak menjadi 7,96 persen. Sampai 2021, total pekerja informal Indonesia sebanyak 77,9 juta dengan pekerja lepas 33,34 juta (BPS, 2021). Pandemi juga berdampak pada berkembangnya ekonomi gig di Indonesia: kelesuan ekonomi membuat pelaku usaha melakukan pemutusan hubungan kerja dan pekerjaan lepas dipandang sebagai solusi bertahan hidup.
Masalah dalam ekonomi gig bukan hanya soal upah, tapi juga status pekerja. Para kurir di perusahaan jasa pengiriman atau sopir di perusahaan transportasi online bekerja dengan status kemitraan. Artinya, perjanjian kerja mengacu pada skema kerja sama kedua belah pihak. Akibatnya, UU Ketenagakerjaan tidak berlaku dan tidak bisa melindungi mereka karena tak ada hubungan kerja yang terjalin. Yang ada hanya kemitraan.
Menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, sistem kemitraan seharusnya dijalankan atas dasar prinsip saling memerlukan, mempercayai, memperkuat, dan menguntungkan. Dalam ekonomi gig, hubungan kemitraan kerap hanya menguntungkan korporasi yang membuat kesepakatan secara sepihak. Akibatnya, mitra perusahaan tidak punya—apalagi diberi—kesempatan merumuskan kesepakatan itu.
Relasi kuasa yang timpang ini menciptakan peluang praktik kerja eksploitatif. Studi Firdasanti dkk (2021) menunjukkan sebagian besar pekerja lepas dibayar di bawah upah minimum provinsi dan tidak mendapat bayaran lebih apabila bekerja lembur. Ketika terjadi kecelakaan kerja, mereka pun harus menanggungnya sendiri. Model bisnis ini makin dianggap normal meski ada ketidakjelasan kontrak kerja yang membuat para pekerja lepas berada dalam posisi tawar yang lemah.
Para pekerja lepas ini pun menjadi golongan baru dalam kelas pekerja: prekariat (The Precariat, Standing, 2014)—gabungan dari precarious (rentan) dan proletariat (kelas pekerja). Mereka kehilangan hak-hak pekerja, bahkan ada yang kehilangan haknya sebagai warga negara.
Ada tiga karakteristik utama kelas prekariat: hubungan produksi, hubungan distribusi, dan hubungan dengan negara. Pertama, hubungan produksi terkait dengan bagaimana kelas prekariat mendapatkan upah. Karakteristik ini ditandai dengan apa yang disebut “kontrak kerja fleksibel”, pekerjaan sementara, bekerja sebagai pekerja lepas, pekerja paruh waktu, atau intermiten. Mereka yang masuk kelas prekariat tidak memiliki identitas pekerjaan yang aman; tidak ada narasi pekerjaan yang bisa menggambarkan hidup mereka.
Kedua, hubungan distribusi terkait dengan upah. Kelas prekariat sangat bergantung pada upah uang, tanpa tunjangan nonupah seperti pensiun, liburan berbayar, tunjangan pemecatan, dan jaminan kesehatan. Prekariat kehilangan bentuk-bentuk remunerasi dan tidak memiliki kesempatan mendapatkannya kembali. Upah memang menjadi satu isu utama. Di masa pandemi, pendapatan pekerja lepas turun. Pada Februari 2021, rata-rata pendapatan bersih pekerja bebas hanya Rp 1.378.000, turun 4,5 persen dari Februari 2020 (BPS, 2021). Tentu saja penghasilan ini tidak disertai tunjangan.
Ketiga, prekariat kehilangan hak yang seharusnya diterima sebagai warga negara. Mereka harus menjadi pemohon untuk mendapatkan manfaat dan akses ke layanan publik. Contohnya, saat pemerintah meluncurkan bantuan subsidi upah pada masa pandemi, peserta aktif Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan dan berpenghasilan di bawah Rp 3,5 juta per bulan seharusnya berhak atas bantuan ini. Masalahnya, pekerja informal tidak serta-merta menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaan mandiri. Para pekerja lepas juga acap tidak memenuhi persyaratan menerima bantuan pangan nontunai melalui Kartu Sembako karena tidak dianggap sebagai “golongan miskin”.
Praktik kerja ekonomi gig pun makin mendorong informalitas. Pemerintah kesulitan menjangkau mereka lewat regulasi dan, akibatnya, para prekariat mengalami “erosi hak kewarganegaraan”. Mereka menjadi penghuni suatu wilayah tanpa hak sipil, budaya, politik, sosial, dan ekonomi, baik de facto maupun de jure.
Kelas prekariat sebenarnya sadar atas kerugian-kerugian itu. Situasi ini akan menjadi riskan karena—atau ketika—mereka disatukan oleh ketidakpuasan, anomi, kecemasan, dan keterasingan sehingga rentan dimobilisasi secara politik. Implikasi ini yang bisa mengubah kelas prekariat menjadi kelas yang berbahaya, the dangerous class (Standing, 2014).
Walhasil, jika mau menikmati berkah ekonomi gig, kita juga harus mau memikirkan nasib para pekerjanya. Sudah saatnya pemerintah melakukan reformasi mendasar terhadap peraturan ketenagakerjaan yang selama ini bias sektor formal. Salah satu caranya adalah merevisi dan menambahkan pasal yang mengatur pekerja lepas informal (gigger) ini. Sembari menunggu reformasi substansial tersebut, yang paling mendesak dilakukan adalah bagaimana membantu mereka menghadapi kerentanan.
Dalam “Semesta Prekariat” (Tempo, 29 Agustus 2020), Robertus Robet menyoroti bantuan sosial pemerintah yang tidak menjangkau para pekerja lepas akibat bias formal itu. Di tengah ketidakpastian pasar kerja setelah pandemi terjadi, mereka amat membutuhkan dukungan pemerintah melalui bansos. Maka mekanisme penyaluran bansos tidak boleh lagi terpaku pada syarat-syarat formal yang bertolak belakang dengan kondisi pekerja lepas. Para pemangku kebijakan perlu mulai memasukkan pekerja lepas ke daftar penerima bansos.
Pemerintah tidak boleh lupa bahwa para pekerja informal—dan mungkin pekerja lain yang tidak masuk statistik pekerja—adalah warga negara. Mereka juga harus dilindungi melalui regulasi yang berpihak pada kerentanan yang mereka alami, bukan hanya lewat aturan yang menguntungkan pebisnis besar dan pemilik platform tempat mereka “manggung”. Hanya dengan itu negara dapat sungguh hadir bagi warganya tanpa kecuali.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo