Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PENETAPAN Papua dan Papua Barat sebagai wilayah konservasi kini telah menjadi keharusan. Penyelundupan satwa liar dan perusakan hutan Papua yang kian marak belakangan ini menunjukkan bahwa wilayah itu terus dijarah tanpa henti. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar tak boleh mengabaikan ancaman serius terhadap satwa Papua dan habitatnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pengukuhan status tersebut makin penting karena aparatur negara justru terlibat dalam berbagai penyelundupan hewan langka. Sepanjang bulan lalu, dua kapal perang Republik Indonesia (KRI) kedapatan menyelundupkan satwa Papua berstatus dilindungi seperti cenderawasih dan kakatua jambul kuning. Pada awal Agustus, diduga terjadi penyelundupan 240 satwa langka melalui KRI Teluk Parigi-539. Sedangkan pada akhir Agustus lalu ada 140 satwa Papua ditengarai disembunyikan di KRI Teluk Lada-521.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penyelundupan satwa langka itu tentu harus diusut tuntas. Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut tak boleh melindungi personelnya yang terlibat dalam kejahatan lingkungan. Apalagi sebagian besar satwa yang diselundupkan itu tak ketahuan rimbanya. Dari 140 satwa yang diangkut oleh KRI Teluk Lada, hanya 39 ekor yang diserahkan ke Balai Konservasi Sumber Daya Alam. Tanpa ada penegakan hukum yang tegas, penyelundupan akan terus berulang.
Papua dan Papua Barat kini menghadapi kenyataan pahit. Perburuan binatang langka di wilayah itu terus terjadi. Eksistensi satwa endemis pun kian terancam seiring dengan laju deforestasi yang masih tinggi. Yayasan Auriga Nusantara mencatat tutupan hutan alam di Papua—yang bersama Papua Nugini menjadi pulau paling kaya flora di dunia—menyusut 663 ribu hektare sepanjang 2001-2019. Lembaga itu juga mencatat laju deforestasi terbesar di Papua terjadi pada masa Siti Nurbaya, yang menjabat Menteri Kehutanan sejak periode pertama Presiden Joko Widodo.
Artikel liputan:
Adapun pelepasan kawasan hutan terbanyak ditujukan untuk sektor pertanian, terutama perkebunan kelapa sawit. Kondisi hutan Papua bisa lebih buruk karena Undang-Undang Cipta Kerja atau omnibus law menghapus ketentuan luas minimal kawasan hutan 30 persen per pulau atau daerah aliran sungai. Dengan pemerintahan Jokowi yang berorientasi pada industrialisasi tapi tak memperhatikan kelestarian alam, Papua, yang menjadi tempat hidup 339 dari 914 spesies tanaman dan satwa yang dilindungi, tinggal menghitung waktu untuk menjadi tandus.
Upaya menyelamatkan tanah Papua dari kerusakan alam dimulai tujuh tahun lalu. Tanpa peran pemerintah pusat, pemerintah Papua Barat berdeklarasi sebagai provinsi konservasi pada Oktober 2017. Bersama Komisi Pemberantasan Korupsi, pemerintah provinsi dan kabupaten mengevaluasi izin usaha sawit di Papua Barat. Hingga 2021, ada 12 perusahaan perkebunan sawit dengan luas lahan 267 ribu hektare yang izinnya dicabut karena bermasalah. Namun, hingga kini, tak terlihat dukungan dari Menteri Siti Nurbaya untuk gerakan progresif tersebut.
Menteri Siti Nurbaya, yang berdasarkan investigasi majalah ini terungkap memelihara hewan-hewan yang dilindungi pada 2017, masih punya waktu untuk mencegah hilangnya satwa liar dan rusaknya hutan Papua sebelum kepemimpinan Jokowi berakhir. Siti bisa mendorong Papua meniru tetangganya menjadi provinsi konservasi dan mendukung upaya dua daerah termiskin di Indonesia itu untuk menjaga alam. Meski tugas itu tak mudah, ia harus menunjukkan komitmen untuk menekan perdagangan satwa Papua dan memastikan hutannya tetap lestari.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo