Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Langkah mandiri Coca-Cola berharap dari matahari.
Penggunaan bahan bakar industri manufaktur jadi penyumbang terbesar emisi sektor energi.
Setelah bahan bakar, inovasi produk ramah lingkungan digeber Unilever.
PANEL surya itu berjumlah ribuan, berjajar rapi, nyaris memenuhi atap enam bangunan besar di kompleks pabrik PT Coca-Cola Amatil Indonesia, Cikarang Barat, Bekasi, Jawa Barat. Rabu siang itu, 2 Desember lalu, sejumlah pekerja tengah sibuk-sibuknya memasang setumpuk modul yang baru diangkat menggunakan mobile crane. Pemasangan panel yang kini menyisakan 20 persen dari total pekerjaan itu akan menggenapi proyek Coca-Cola yang digadang-gadang sebagai panel surya terbesar di Asia Tenggara. “Ini langkah pertama kami dalam proyek energi baru terbarukan,” kata Presiden Director Coca-Cola Amatil Indonesia & Papua New Guinea Kadir Gunduz kepada Tempo.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pembangunan pembangkit surya berkapasitas 7,13 megawatt di area seluas 72 ribu meter persegi—lebih luas dari Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan—itu dimulai medio tahun lalu. Coca-Cola menggelontorkan dana senilai Rp 87 miliar untuk menggantikan sekitar 60 persen kebutuhan listrik di pabriknya dengan energi matahari. Coca-Cola mengalkulasi, proyek ini akan memangkas emisi karbon hingga 8,9 juta kilogram per tahun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kendati pandemi Covid-19 telah merontokkan berbagai sektor usaha, termasuk industri minuman, Kadir menegaskan rencana perseroan mengembangkan proyek serupa di fasilitas pabrik di beberapa daerah tahun depan. Pabrik di Pasuruan, Jawa Timur, dan Semarang, Jawa Tengah, menjadi dua target berikutnya pada 2021. Saat ini audit konstruksi atap bangunan yang akan menjadi landasan modul tengah digelar. “Ini bagian komitmen Amatil untuk mendukung target pemerintah dalam mengurangi emisi,” ujarnya.
Pandemi memang memukul kencang industri pengolahan, termasuk produsen minuman ringan. Asosiasi Industri Minuman Ringan mencatat, penjualan produk minuman ringan yang tak mengandung alkohol (non-alcoholic ready to drink) jeblok di kisaran 40-70 persen pada masa-masa awal penyebaran Covid-19. Kala itu, sektor ini bisa dibilang nyaris ambruk.
Data Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (Gapmmi) menunjukkan bisnis makanan dan minuman pada triwulan II lalu hanya tumbuh 0,22 persen, merosot jauh dibanding triwulan sebelumnya yang masih bisa mencapai 3,9 persen. Pertumbuhan triwulan III juga masih jauh dari harapan, hanya 0,66 persen. Tren pelemahan tajam, yang diikuti penguatan tipis, di industri makanan ini senapas dengan pertumbuhan ekonomi secara nasional pada periode yang sama, masing-masing terkontraksi minus 5,32 persen dan minus 3,49 persen.
Ketua Umum Gapmmi Adhi S. Lukman menjelaskan, sektor makanan-minuman terpukul oleh penurunan daya beli masyarakat akibat pandemi. Penurunan terutama terjadi di masyarakat kelas menengah-bawah. Sementara itu, masyarakat kelas atas cenderung menahan belanja. Kebijakan pembatasan sosial berskala besar turut memicu pelemahan kinerja industri.
Dia memperkirakan industri makanan-minuman bisa tumbuh 2-3 persen pada triwulan IV, seiring dengan bergulirnya insentif pemerintah, seperti bantuan modal kerja, bantuan tunai, dan subsidi gaji. “Normalnya di kisaran 7-9 persen. Tahun lalu pertumbuhan kami 7,9 persen,” ucap Adhi. “Memang ini tidak normal.”
Daya beli memang menjadi momok bagi industri manufaktur di masa pandemi. Pembatasan sosial dan penurunan kinerja penjualan akan memaksa pabrik mengurangi utilisasi fasilitas produksinya, yang ujung-ujungnya juga mendorong penurunan daya beli masyarakat.
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional mencatat jam kerja di sektor manufaktur berkurang 11,1 miliar jam akibat utilisasi pabrik yang tinggal separuh. “Akibatnya, total pendapatan yang hilang mencapai Rp 1.158 triliun selama 30 pekan,” tutur Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Suharso Monoarfa.
Namun, jauh sebelum pandemi Covid-19, industri manufaktur sudah lama dianggap sebagai momok bagi lingkungan. Laporan Inventarisasi Gas Rumah Kaca dan Monitoring, Pelaporan, dan Verifikasi 2017-2018 yang disusun Direktorat Jenderal Pengendalian Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mencatat sektor manufaktur sebagai penyumbang emisi gas rumah kaca terbesar kedua dari sisi penggunaan energi. Kontributor emisi selain industri manufaktur adalah industri energi—pembangkit listrik, kilang minyak, dan pengolahan batu bara—serta transportasi.
Ketika meresmikan pengoperasian panel surya Coca-Cola, 1 Oktober lalu, Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto berharap industri melanjutkan langkah penggunaan energi baru dan terbarukan. Pemerintah, kata dia, juga tengah meningkatkan porsi energi baru dan terbarukan dalam bauran energi nasional sebesar 23 persen pada 2025 dan 31 persen pada 2050.
Airlangga menghitung, panel solar dapat mengurangi emisi gas rumah kaca hingga 300 juta ton pada 2050. “Sama dengan penghematan 7.000 kendaraan selama setahun,” ujarnya ketika itu.
Pekerja tengah memindahkan susunan minuman bersoda menggunakan alat berat berbahan bakar gas di pabrik Coca-Cola Amatil Indonesia, Cibitung, Bekasi, Jawa Barat, Rabu (2/12/2020) Panel surya sebesar 72.000 meter per segi tersebut mambpu menghasilkan 9,6 juta kwh dan mampu menggerakkan fasilitas manufaktur./Tempo/Tony Hartawan
•••
PABRIK lain, seperti Unilever Indonesia, juga tengah gencar mengkampanyekan penggunaan energi bersih. Lini pabrik Powder Non-Soap Detergent yang memproduksi Rinso dan Molto, misalnya, telah menggunakan biomassa untuk menggantikan bahan bakar gas alam dalam proses pengeringan detergen bubuk. Biomassa diolah dari cangkang inti sawit yang dianggap tersedia melimpah, relatif tahan cuaca saat penyimpanan, dan memiliki kadar abu rendah.
September lalu, di tengah pandemi, Unilever secara global menggulirkan program Clean Future. Proyek ini berfokus pada lima hal, yakni penggunaan bahan baku yang dapat diperbarui dan bersifat sirkular, produk berjejak karbon rendah, efisiensi air dan kemampuan produk untuk terurai secara alami, kemasan hasil daur ulang yang dapat diisi kembali, serta desain produk yang membangun kepercayaan konsumen.
Head of Corporate Affairs & Sustainability Unilever Indonesia Nurdiana Darus menjelaskan, terobosan ini dirancang divisi Home Care perusahaan untuk mengubah cara pembuatan dan pengemasan produk pembersih dan detergen secara fundamental. Program ini juga bertujuan memenuhi komitmen perusahaan untuk menghasilkan net zero emission atau produk bebas emisi pada 2039.
Unilever menyiapkan investasi sebesar 1 miliar euro atau sekitar Rp 17 triliun untuk mendanai penelitian, pengembangan, dan inovasi global di bidang bahan kimia pembersih sirkular. Perusahaan, Nurdiana menambahkan, akan menggunakan pendekatan “karbon warna” sebagai transisi ke sumber karbon terbarukan.
Sumber karbon fosil yang tidak dapat diperbarui, misalnya, diidentifikasi sebagai karbon hitam. Karbon ini akan digantikan karbon lain, seperti tangkapan karbon dioksida (karbon ungu); tumbuhan dan sumber biologis (karbon hijau); sumber laut, seperti alga (karbon biru); serta karbon yang dipulihkan dari bahan limbah (karbon abu-abu). Semua sumber karbon itu akan diatur dan diinformasikan melalui analisis mengenai dampak lingkungan.
Saat ini, Nurdiana melanjutkan, bahan kimia di sebagian besar produk pembersih yang ada di pasar memiliki proporsi jejak karbon yang besar, yaitu sekitar 46 persen di sepanjang siklus produk tersebut. “Dengan meninggalkan bahan kimia dari bahan bakar fosil dalam formulasi produk, perusahaan menargetkan dapat mengurangi jejak karbon hingga 20 persen,” ucapnya.
Di samping inovasi produk, pandemi mendorong Unilever berekspansi memperkuat lini penjualan digital. Langkah ini dilakukan lantaran adanya pola pergeseran cara berbelanja konsumen yang kini lebih banyak melalui online. Pada tahun ini saja diperkirakan 60 persen pembeli di Indonesia telah mencoba metode belanja digital.
Sebagai bagian dari proyek ini, Unilever membantu mitra usaha mikro, kecil, dan menengah alias pemilik warung. Perseroan meluncurkan Sahabat Warung, aplikasi berbasis Android, sehingga pedagang bisa mendapat produk Unilever secara online tanpa harus keluar rumah. “Kami memperkuat ketersediaan produk pada berbagai jalur e-commerce dan berbagai inovasi digital bagi konsumen dan pelanggan,” kata Nurdiana.
RETNO SULISTYOWATI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo