Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Awet Muda dengan Oksigen Hiperbarik

Peneliti di Tel Aviv menemukan terapi oksigen hiperbarik tidak hanya bisa menghentikan penuaan, tapi juga dapat meremajakan sel. Di Indonesia, terapi itu lebih banyak dipakai untuk pengobatan.

5 Desember 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Terapi hyperbaric oksigen. Shutterstock

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Peneliti di Tel Aviv menemukan terapi oksigen hiperbarik bisa meremajakan sel darah.

  • Terapi oksigen hiperbarik ini awalnya dipakai untuk mengobati penyakit dekompresi.

  • Di Indonesia, terapi ini banyak dipakai untuk mengobati penyakit seperti luka gangren penderita diabetes.

MENCEGAH penuaan adalah impian banyak orang yang dicari dengan susah payah. Di tingkat sel, proses penuaan dapat dicirikan dari memendeknya telomer dan terhentinya pembelahan sel. Telomer adalah daerah pelindung yang terletak di kedua ujung kromosom. “Kini pemendekan telomer dianggap sebagai 'Cawan Suci' biologi penuaan,” kata Shai Efrati dari Sackler School of Medicine pada Tel Aviv University, Israel, seperti dirilis dalam situs universitas, 22 November lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Shai Efrati memakai istilah Cawan Suci (Holy Grail)—cawan yang diyakini digunakan Yesus dalam Perjamuan Terakhir yang dicari oleh para kesatria selama Abad Pertengahan—karena begitu diinginkan tapi sangat sulit ditemukan. Penelitian Efrati dan timnya selama bertahun-tahun terhadap terapi oksigen hiperbarik akhirnya mengungkap terapi itu tidak hanya bisa menghentikan penuaan sel darah, tapi juga dapat membalikkan proses alias meremajakannya. “Temuan ini membuka pintu untuk penelitian lanjutan tentang dampak terapi oksigen hiperbarik untuk membalikkan proses penuaan,” ujar Efrati.

Para peneliti dan dokter di Indonesia yang meneliti dan menerapkan terapi oksigen hiperbarik menilai studi awal tim Efrati itu sebagai upaya bagus meski tak sepenuhnya baru. “Itu gebrakan dan bagus,” tutur Mayor Laut Titut Harnanik, dokter di Lembaga Kesehatan Kelautan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut, di Surabaya, Kamis, 3 Desember lalu. Dia menambahkan, penelitian serupa sebenarnya pernah dilakukan di Indonesia untuk melihat dampak terapi terhadap regenerasi sel. “Namun yang diukur dampaknya pada kolagen. Kalau telomer belum.”

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tim Efrati menerbitkan hasil penelitian itu dalam jurnal Aging pada 18 November lalu. Dalam studi yang dikerjakan bersama Shamir Medical Center di Israel itu, sebanyak 35 orang sehat berusia 64 tahun atau lebih diminta mengikuti 60 sesi terapi oksigen hiperbarik selama 90 hari. Setiap peserta memberikan sampel darah sebelum, selama, dan pada akhir perawatan. Hasilnya, terapi itu membalikkan proses penuaan dalam dua aspek utama: telomer tumbuh lebih panjang dengan kecepatan 20-38 persen dan persentase sel-sel tua dalam populasi sel secara keseluruhan berkurang 11-37 persen.

Terapi oksigen hiperbarik, menurut Titut, pada prinsipnya adalah menggunakan efek pemberian oksigen dalam kadar dan tekanan udara tertentu. Di alam bebas, jumlah oksigen sekitar 22 persen. Selebihnya adalah nitrogen, argon, helium, dan lain-lain. Dalam terapi oksigen hiperbarik, pasien diberi oksigen 100 persen dengan tekanan 2,4 ATA (total tekanan di sekitar) di dalam chamber atau ruang kedap udara. Efeknya sama dengan diselamkan. “Harapannya, dengan diselamkan, molekul oksigennya mengecil sehingga gampang terdifusi, menerobos sampai seluruh sel,” katanya.

Kolonel Laut Tjahja Nurrobi, ahli terapi oksigen hiperbarik, menyebutkan menghirup oksigen di lingkungan atmosfer berbeda dengan dalam kondisi tekanan udara tertentu. Pada tekanan yang tinggi, gas itu bisa larut dengan mudah dalam cairan. “Sama dengan kalau menghirup oksigen di bawah permukaan laut, oksigen akan cepat larut dalam darah,” ujar dokter di Rumah Sakit TNI Angkatan Laut Dokter Mintohardjo, Jakarta, tersebut, Selasa, 1 Desember lalu. “Kalau oksigen cepat larut dalam darah, artinya cepat juga ditransfer ke dalam sel untuk metabolisme sel,” tutur Tjahja, yang kini menjabat Kepala Sekretariat Rumah Sakit Darurat Covid-19 Wisma Atlet, Jakarta.

Di Indonesia, Tjahja menambahkan, yang banyak memiliki chamber untuk terapi oksigen hiperbarik adalah rumah sakit Angkatan Laut dan fasilitas kesehatan di pertambangan lepas pantai. Sebab, awalnya ruang tersebut dipakai untuk mengobati penyakit dekompresi akibat penyelaman. Manusia sebaiknya tidak langsung naik ke permukaan secara cepat atau mendadak karena bisa menyebabkan oksigen dalam darah menjadi gelembung-gelembung gas atau terjadi emboli. Bahayanya, emboli dapat membuat pembuluh darah kecil tersumbat. “Kalau menyumbat di otak, gejalanya sama dengan stroke. Kalau di jantung sama dengan serangan jantung. Kalau menyumbat di paru-paru, tiba-tiba sesak napas.”

Setelah itu, Tjahja melanjutkan, pemanfaatan chamber tersebut berkembang ke arah pengobatan, di antaranya untuk kasus keracunan karbon monoksida, luka infeksi gangren karena diabetes, infeksi di tulang, dan luka bakar. “Kalau gangren itu kan karena infeksi kuman-kuman anaerob yang tidak suka oksigen. Begitu diberi oksigen, kumannya mati. Jadi oksigen itu berfungsi sebagai antibiotik,” ujar Tjahja. Belakangan, terapi oksigen hiperbarik juga dipakai untuk perawatan kecantikan dan kebugaran.

Arif Rahman Nurdianto, peneliti terapi oksigen hiperbarik, mengatakan pemakaian terapi tersebut kini sangat banyak. Dokter yang tergabung dalam Ikatan Dokter Hiperbarik Indonesia ini telah melakukan penelitian mengenai dampak terapi tersebut antara lain dalam penyembuhan infeksi HIV dan malaria. “Tapi penggunaannya saat ini banyak pada pasien dengan stroke karena perlu pemulihan yang bagus,” ucap pengajar di Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Rumah Sakit Anwar Medika, Sidoarjo, Jawa Timur, tersebut, Selasa, 1 Desember lalu.

Untuk disertasi doktoral, Arif Rahman meneliti terapi oksigen hiperbarik dan dampaknya terhadap toksoplasmosis pada kehamilan. Penelitian itu dimulai pada 2018 dan rampung tahun ini. Ia meneliti tikus yang diinfeksi parasit Toxoplasma dan diterapi oksigen hiperbarik sepuluh kali. Hasilnya, tikus itu bisa terhindar dari keguguran. Namun, ia menambahkan, karena terapi tersebut masih tergolong baru, masih ada riset lanjutan yang perlu dilakukan. Seusai pengujian terhadap hewan ini, tahap berikutnya adalah uji praklinis, lalu uji klinis. “Kayak vaksin prosesnya,” katanya.

Berdasarkan pengalaman selama ini, Arif menjelaskan, efek penyegaran atau anti-penuaan ini sebenarnya bisa dilihat dari efek sekunder terapi oksigen hiperbarik. Dari pengamatannya terhadap orang-orang yang mengikuti terapi di Lembaga Kesehatan Kelautan TNI AL, terdapat efek lain, yaitu kulit mereka yang sebelumnya keriput menjadi lebih bagus. “Terapi itu memicu kenaikan kolagen. Dia tampak lebih segar, lebih bugar,” ucap Arif, yang juga menjabat Kepala Pusat Kesehatan Masyarakat Trosobo, Taman, Sidoarjo.

Tjahja Nurrobi mengungkapkan, dia mempercayai temuan tim Shai Efrati bahwa terapi oksigen hiperbarik berdampak meremajakan sel. “Penyelam yang setiap hari menyelam menggunakan oksigen cenderung lebih awet muda dibanding mereka yang bukan penyelam. Sebab, dia menghirup oksigen dalam tekanan tinggi di bawah permukaan air laut.” Titut Harnanik menjelaskan, hal itu bisa terjadi karena oksigen hiperbarik mendorong kelahiran sel darah baru dan meningkatkan kadar antioksidan sehingga dapat menghambat pemendekan atau kerusakan telomer.

Titut mengetahui hal itu berdasarkan hasil penelitian para koleganya pada 2000-an. Mereka melakukan penelitian awal terhadap orang usia lanjut yang diminta mengikuti terapi oksigen hiperbarik lima kali berturut-turut. “Pada hari kelima terapi itu, antioksidannya tinggi, radikal bebasnya turun,” katanya. Sayangnya, waktu itu hasil penelitian tersebut tidak disimpan di Internet dan hanya masuk lemari perpustakaan sehingga tidak banyak diketahui publik.

Menurut Tjahja, terapi oksigen hiperbarik memang sudah mulai dipakai untuk kebugaran dan kecantikan. Namun pemakainya belum banyak. Tarif terapi itu juga lumayan mahal, Rp 300-500 ribu per terapi. Titut menambahkan, penelitian terhadap orang sehat, misalnya untuk kecantikan, belum umum. “Penelitian seperti itu bagi orang Indonesia mungkin dianggap belum penting. Sebab, penyakit lain (yang harus diteliti) masih banyak,” ucapnya.

ABDUL MANAN (AGING, TEL AVIV UNIVERSITY, SCIENCE DAILY, EUREKALERT)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Abdul Manan

Abdul Manan

Meliput isu-isu internasional. Meraih Penghargaan Karya Jurnalistik 2009 Dewan Pers-UNESCO kategori Kebebasan Pers, lalu Anugerah Swara Sarasvati Award 2010, mengikuti Kassel Summer School 2010 di Jerman dan International Visitor Leadership Program (IVLP) Amerika Serikat 2015. Lulusan jurnalisme dari kampus Stikosa-AWS Surabaya ini menjabat Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen Indonesia 2017-2021.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus