Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kebijakan ekstrem setelah gagal mengendalikan harga dan pasokan minyak goreng.
Larangan ekspor CPO akan memukul neraca perdagangan.
Motif populis Presiden justru mengancam ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.
PEMERINTAH Indonesia kembali mengguncang pasar global. Setelah gagal mengatasi tingginya harga dan kelangkaan minyak goreng di dalam negeri, pemerintah memilih kebijakan yang bisa dibilang ekstrem: melarang ekspor minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) per 28 April 2022. Tentu akan muncul serentetan konsekuensi dari kebijakan itu. Bukan cuma harga CPO yang bergolak, harga saham, obligasi pemerintah, hingga kurs rupiah pun bisa terkena imbas buruknya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Larangan ekspor akan menggerus surplus neraca perdagangan Indonesia. Padahal surplus inilah yang selama setahun terakhir menjadi penyelamat ekonomi kita dari turbulensi ekonomi global. Sepanjang kuartal pertama 2022 saja, surplus perdagangan Indonesia mencapai US$ 9,33 miliar, hampir dua kali lipat US$ 5,52 miliar surplus kuartal pertama tahun lalu. Surplus ini akan berkurang signifikan jika larangan ekspor CPO berkepanjangan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Surplus perdagangan kian terasa penting jika kita menimbang situasi pasar finansial dunia yang sedang genting saat ini. The Federal Reserve sudah makin keras memberikan sinyal. Akan ada serangkaian kenaikan bunga untuk menjegal inflasi yang makin meroket tak terkendali. The Fed juga akan mengurangi likuiditas yang membuat pasokan dolar Amerika Serikat di pasar global berkurang drastis.
Merosotnya surplus perdagangan dalam situasi seperti itu jelas berpotensi menimbulkan masalah serius bagi Indonesia. Tekanan pada rupiah akan makin kuat karena menurunnya perolehan dolar hasil ekspor. Sebagai gambaran, selama 2021 ekspor CPO menghasilkan US$ 35 miliar bagi Indonesia.
Menurunnya penerimaan ekspor sawit juga akan berdampak negatif pada pertumbuhan ekonomi, terutama di Sumatera dan Kalimantan, yang merupakan pusat produksi sawit. Selain mempengaruhi korporasi besar, larangan ekspor memukul jutaan pekebun kelas kecil dan menengah, tanpa pandang bulu.
Kebijakan itu sebetulnya juga terasa berlebihan jika melihat perbandingan antara kebutuhan minyak goreng dalam negeri dan produksi CPO nasional. Tahun lalu, total produksi minyak sawit 46,8 juta ton. Sedangkan kebutuhan CPO untuk pangan hanya 8,95 juta ton. Angka-angka yang amat jomplang ini memunculkan sederet pertanyaan.
Kalau hanya untuk memenuhi kebutuhan minyak pangan yang jauh lebih kecil ketimbang total produksi, buat apa sih pemerintah harus melakukan “bumi hangus”, melarang ekspor CPO secara total? Kebijakan itu sungguh terasa tidak masuk akal. Apakah pemerintah tengah kalap atau putus asa karena tak juga berdaya mengendalikan krisis minyak goreng meskipun sudah berulang kali mengganti kebijakan? Belum lagi jika kita menghitung berbagai risiko ekonomi yang muncul dari kebijakan itu.
Tak ada pula jaminan bahwa kebijakan ini akan mengatasi kelangkaan pasokan minyak goreng di dalam negeri. Apakah pemerintah bisa memaksa produsen sawit membanjiri pasar dalam negeri, setelah tak boleh lagi mengekspor, untuk mencukupi kebutuhan minyak pangan? Setidaknya hingga kini belum ada aturan main yang jelas seandainya pemerintah ingin menerapkan pemaksaan semacam itu.
Apalagi jika pemerintah tetap ingin ada pasokan yang melimpah dengan harga tetap murah. Jika hitungan ekonominya tidak sesuai, produsen sawit bisa saja memilih menghentikan produksi. Intervensi pemerintah benar-benar menjadi distorsi serius yang sepenuhnya mengabaikan mekanisme pasar. Ini sungguh sinyal yang amat buruk. Bisa muncul anggapan bahwa pemerintah Indonesia kini hanya bisa unjuk kuasa seraya mencampakkan prinsip-prinsip pasar yang terbuka dalam mengelola ekonomi.
Satu-satunya penjelasan yang bisa menerangkan larangan ekspor CPO secara total hanyalah pertimbangan politis. Ini memang kebijakan populis yang dapat menempatkan Presiden Joko Widodo sebagai pahlawan karena ia berani berpihak kepada rakyat, melawan konspirasi korporasi besar penghasil sawit.
Sayangnya, kebijakan “bumi hangus” ini, selain tak akan efektif, justru bakal menimbulkan ongkos yang amat besar pada ekonomi Indonesia. Ada surplus yang hilang. Ada sebagian kesejahteraan masyarakat yang juga ikut musnah.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo