Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
NAMA Lapindo Brantas Incorporated tiba-tiba menjadi menu tetap media massa dalam tiga pekan terakhir. Sayangnya, bukan hal baik yang membuat nama perusahaan itu mencuat setiap hari. Lapindo dituding menjadi penyebab semburan lumpur panas di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur, yang terjadi mulai 29 Mei 2006.
Sampai Jumat lalu, semburan lumpur panas itu belum juga bisa disetop. Sudah puluhan ribu kubik lumpur panas muncrat dan merendam tiga desa di Porong, yakni Renokenongo, Jatirejo, dan Siring. Puluhan hektare sawah puso, belasan pabrik tutup, dan ribuan penduduk terpaksa mengungsi. ”Tanah kami tiba-tiba jadi kolam,” kata Faqih, warga Renokenongo.
Warga selama ini tak peduli dengan keberadaan Lapindo. Padahal perusahaan ini sudah beroperasi di daerah itu sejak 1996. Lapindo menjadi operator dan pemilik 50 persen kuasa pertambangan di blok seluas sekitar 300 hektare. Wilayah operasinya mencakup lapangan gas Wunut dan Carat, di Sidoarjo. Kapasitas produksi gas pada 2005 di blok ini mencapai 59 juta kaki kubik per hari.
Namun, sejak peristiwa itu terjadi, warga hampir setiap hari membicarakan Lapindo. Meskipun awalnya mereka tak tahu siapa pemilik perusahaan yang membuat mereka terpaksa meninggalkan rumah dan sawahnya, belakangan mereka mendengar kelompok usaha Bakrie ada di belakang perusahaan tersebut.
Lapindo pada mulanya dimiliki Kalila Energy Ltd (84,24 persen) dan Pan Asia Enterprise (15,76 persen). Tapi pada Maret 2004 kedua perusahaan itu diakuisisi oleh PT Energi Mega Persada. Di perusahaan yang sudah masuk bursa inilah kelompok usaha Bakrie dikaitkan.
Hubungan Energi Mega dengan Grup Bakrie diakui oleh Yuniwati Teryana, Vice President Human Resources and Relations Lapindo. Hanya, dia menolak memerinci berapa persen dan atas nama siapa kepemilikan saham Bakrie di Energi Mega Persada. Namun sumber Tempo menyebutkan bahwa Bakrie ada di Energi Mega melalui Kondur Indonesia.
Dalam laporan keuangan Energi Mega disebutkan, Kondur merupakan pemegang saham terbesar perusahaan itu dengan menguasai 30,41 persen saham. Selain Kondur ada PT Brantas Indonesia (19,95 persen), UBS AG Singapura (8,44 persen), Rennier Abdu Rachman Latief (4,71 persen), Julianto Benhayudi (3,31 persen), dan publik 33,18 persen.
Seolah tak terpengaruh kasus tersebut, pada Rabu pekan lalu Energi Mega dan Bumi Resources—juga anggota Grup Bakrie—mengumumkan rencana merger mereka. Jika disetujui rapat umum pemegang saham luar biasa pada 28 Juli mendatang, kelak Bumi akan menjadi perusahaan baru hasil merger, dengan modal dasar Rp 30 triliun.
YA, Sunudyantoro, Kukuh S. Wibowo
Partisipasi Modal Operasi di Blok Brantas
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo