Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
A man who dreams about money is a beggar, a begger, a dreams about love is a king." Orang yang selalu memimpikan uang itu pcngemis, orang yang membayangkan cinta, dialah raia. Begitulah falsafah Achmad Bakrie, sang pengusaha sukses yang menutup mata selama-lamanya karena penyakit jantung -- Senin dua pekan lalu di Tokyo. Dia tidak mendewakan uang, ini mungkin satu sikap paling baik untuk seorang calon pedagang. Dan yang tampak sejak kecil pada Atuk, yang nama lengkapnya Achmad Bakrie ini, adalah bakat dagang. Pada usia 10, ketika libur sekolah, ia biasa berdagang roti di saat pakansi. Setamat HIS (Hollandsch Inlandsche School), Achmad mengikuti kursus dagang (Handelsinstituut Schoevers) selama dua tahun sambil berusaha sebagai pedagang perantara lada, karet, dan kopi. Ketika masih kursus, ia juga bekerja pada NV Van Gorkom, perusahaan dagang Belanda, sebagai penjaja keliling. Lulus kursus pada tahun 19-0, Achmad Bakrie yang baru berusia 20 mendirikan CV Bakrie & Brothers di Telukbctung, Lampung. Usaha ini bergerak di bidang perdagangan hasil bumi. Ketika hijrah ke Jakarta pada 1943 perusahaannya diberi nama lasuma Shokai. Setelah merdeka, Achmad mulai menjajaki ekspor-impor. "Karena pada waktu itu, hanya usaha daganglah yang paling menguntungkan," kata Hamizar Hamid, Wakil Presiden Direktur BB, yang mendampingi Achmad selama 40 tahun. Bukan hal yano mudah, memang. Di tahun 50-an, terutama bidang impor, dikuasai oleh "the big five", lima perusahaan Belanda yaitu Internatio, Geo Wehry, Borsumij, I.indeteves, dan Jacobson van den Berg. Tapi-Bakrie bersama Abu Yamin. ini kakak kandung Atuk yang bersama-sama mendirikan BB, cukup gigih. Dan BB pun berhasil mengimpor tekstil, benang tenun, kosmetik, kelontong, pecah belah, hingga sepeda dari kawasan Asia. Kemajuan demi kemajuan terus diraih. Setelah pada 1951 mengubah status perusahaannya menjadi NV, BB memperoleh kepercayaan untuk menjadi agen tunggal sepeda motor Express dari Jerman Barat, merek Exelsior-Inggris, dan mesih jahit Pfaff juga dari Jerman Barat. Sayang, tidak bertahan lama. Produk-produk Jepang, yang disusul Korea, dan Tai-wan, mulai mendesak produk Eropa, juga Amerika. Sektor impor pun, untuk sementara, dilepas. Tapi lada dan kopinya terus menerobos pasar-pasar Eropa, dan Amerika. Tepat pada 1957, BB membeli PT Kawat, sebuah perusahaan Belanda yang mcmproduksi barang-barang dari kawat. Tapi 20 tahun kemudian pabrik ini dijual, karena kalah bersaing dengan produk impor. Menyusul dua tahun kemudian, pabrik pipa Talang Tirta, yang berkapasitas 27 ribu ton, didirikan. industri pipa ini terus berkembang. Sampai akhirnya, nama BB identik dengan pipa, dengan produksi 80 ribu ton per tahun. "Pipa sekarang merupakan bisnis terbesar dari Bakrie Group, lebih dari 50%," ujar Hamid. Baru belakangan, 1986, BB menambah bendera barunya dengan membeli 22 ribu hektar perkebunan karet milik Uni Royal Inc. AS di Kisaran, Sumatera Utara, plus pabrik pengolahannya. Masih Dada tahun itu. BB membeli PT James Hardie Industries, PMA Australia yang memproduksi pipa dan bahan bangunan, seperti dinding penyekat dan fibre cement. Dari koceknya ditarik Rp 11 milyar, untuk membeli perusahaan yang selama tiga tahun rugi terus-menerus. Dengan bertambahnya dua perusahaan tersebut, kini di BB ada 16 anak perusahaan. Memang, kalau dilihat sejak awalnya, keluarga Bakrie termasuk yang pandai mencium peluang. "Ketika perdagangan naik daun, mereka bergerak di sana. Begitu juga ketika sektor industn punya masa depan yang bagus. Pokoknya, hidung mereka termasuk tajam," ujar seorang pengamat ekonomi. Tajam-boleh, tapi belum tentu tepat. Perakitan komputer, dan alat-alat telekomunikasi, di bawah PT Rasikomp Nusantara, bisa dianggap sebagai proyek rugi. "Persaingannva terlalu ketat, terutama personal computer," ujar Hamid. Gejolak apa pun yang dialami, baik naik maupun turun, BB memang patut diberi acungan jempol. Semua ini merupakan hasil "kepala dingin" yang dimiliki Atuk, alias Bakrie Tua. Sayang, usianya hanya sampai 72 tahun. Kini masa depan Bakrie Brothers bergantung pada anak-anaknya yang dimotori Ical. Budi Kusumah
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo