Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dari sisi nama dan peran, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan adalah anak kembar. Tapi, dalam urusan nasib, keduanya sungguh bertolak belakang.
Tak seperti BPJS Kesehatan, yang sukses menggabungkan tiga jaminan kesehatan yang dulu dikelola PT Askes, Kementerian Kesehatan, dan PT Jamsostek dalam satu atap, rencana pemerintah menyatukan program hari tua dan pensiun PT Taspen dan PT Asabri—dengan dana kelolaan hampir Rp 270 triliun—ke dalam BPJS Ketenagakerjaan masih jauh panggang dari api.
Badan yang dulu bernama Jamsostek itu malah terancam kehilangan peserta dari kelompok pegawai honorer pemerintah daerah. “Kami melihat ada semacam pendekatan ke pemerintah daerah bahwa jaminan sosial bagi honorer nantinya harus ke Taspen,” kata Direktur Kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan Ilyas Lubis, Kamis, 11 Juli lalu.
Kekhawatiran itu muncul sejak pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2018 tentang Manajemen Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja pada 22 November 2018. Salah satu pasal peraturan itu menyatakan pegawai non-aparat sipil negara (ASN) akan diberi jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, dan jaminan kematian sebagaimana yang didapat pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja.
Ketentuan lebih lanjut mengenai jaminan itu akan diatur dengan peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. “Peraturan menteri itu belum keluar,” ujar Ilyas. “Tapi Taspen menerjemahkan pengelolaan jaminan honorer bakal ke mereka.”
Sejak itu, BPJS bergerilya. Mereka menyurati Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara pada akhir 2018, meminta koordinasi agar Kementerian tidak mengalihkan pengelolaan jaminan sosial honorer ke Taspen. “Non-ASN sudah diselenggarakan oleh BPJS Ketenagakerjaan,” ucap Ilyas.
Saat ini ada 1 juta lebih pegawai honorer pemerintah daerah yang menjadi peserta jaminan kecelakaan kerja dan jaminan kematian di BPJS Ketenagakerjaan. Sejumlah pemerintah daerah rutin menyetor 0,24 persen dan 0,3 persen dari gaji pegawai honorer itu per bulan.
BPJS juga menyurati Komisi Pemberantasan Korupsi. Kebetulan, pada 6 Februari lalu, dua lembaga itu menandatangani nota kesepahaman kerja sama dan koordinasi pemberantasan rasuah. “BPJS buru-buru datang ke sini, melapor soal rencana peraturan menteri itu,” tutur Deputi Pencegahan Komisi Pemberantasan Korupsi Pahala Nainggolan di kantornya di Jakarta, Rabu, 26 Juni lalu.
Tidak hanya menyurati Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan KPK, BPJS Ketenagakerjaan juga bersurat kepada sejumlah pemerintah daerah. Dalam surat, BPJS mengatakan ada potensi kerugian negara bila pemerintah daerah memindahkan jaminan sosialnya ke Taspen. Sebab, iuran jaminan kematian di Taspen sebesar 0,72 persen dari gaji pokok per bulan, lebih besar daripada iuran jaminan kematian BPJS yang hanya 0,3 persen.
Menurut Ilyas, BPJS mengingatkan pemerintah daerah agar tidak menunda pembayaran premi non-aparat sipil negara. BPJS juga mengingatkan pemerintah daerah agar tetap mengikutsertakan pegawai honorer ke BPJS sesuai dengan Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional dan Undang-Undang BPJS. “Bila tidak diikutkan dan terjadi risiko, akan menjadi kewajiban pemda sendiri,” katanya.
SURAT dan keluhan BPJS mendapat tanggapan pada Kamis, 23 Mei lalu. Pada hari kedelapan belas Ramadan itu, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Syafruddin mengundang petinggi BPJS, Taspen, Asabri, Kementerian Keuangan, dan Komisi Pemberantasan Korupsi.
Syafruddin memimpin langsung pertemuan, ditemani Sekretaris Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara Dwi Wahyu Atmaji dan Deputi Bidang Sumber Daya Manusia Aparatur Setiawan Wangsaatmaja. Direktur Jenderal Anggaran Askolani mewakili Kementerian Keuangan. Adapun KPK diwakili Pahala Nainggolan.
Menurut Pahala, pemimpin rapat sempat marah kepada BPJS karena menyurati pemerintah daerah dan menyebutkan ada potensi kerugian negara bila mengalihkan premi jaminan ke Taspen. Pahala mengungkapkan, Taspen juga mengancam akan menuntut BPJS dengan pasal pencemaran nama.
Ditanyai soal ribut-ribut dalam rapat tersebut, Direktur Kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan Ilyas Lubis hanya menjawab singkat. “Itu hanya untuk mengingatkan agar pelaksanaan di lapangan mulus,” kata Ilyas. “Mengenai respons Taspen, tanyakan ke mereka.”
Lewat pesan WhatsApp, Kamis, 11 Juli lalu, Dwi Wahyu membenarkan ada rapat tersebut. “Masih akan dibahas sekali lagi lintas instansi terkait dalam waktu dekat,” tuturnya. Namun, saat dimintai konfirmasi soal kemarahan bosnya gara-gara surat BPJS kepada pemerintah daerah, komisaris PT Taspen tersebut tidak menjawab.
Akan halnya Kepala Biro Hukum, Komunikasi, dan Informasi Publik Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara Mudzakir mengaku belum mendapat informasi yang cukup mengenai pembahasan rapat. “Nanti saya cek lagi, deh,” kata Mudzakir saat ditemui di lobi kantor Kementerian, Kamis, 11 Juli lalu.
Aktivitas pelayanan di kantor Taspen, Jakarta./Tempo/Tony Hartawan
Ketika ditemui di kantornya, Jumat, 12 Juli lalu, Manajer Humas Taspen Anne Roosfianti menjawab dan menceritakan isi rapat tersebut. Namun ia menolak keterangannya dikutip.
RIBUT-RIBUT jaminan kecelakaan kerja dan jaminan kematian honorer itu membuka sengkarut yang lebih kusut tentang jaminan sosial ketenagakerjaan sejak 15 tahun lalu. Setelah mendapat laporan dari BPJS Ketenagakerjaan pada awal 2019, Komisi Pemberantasan Korupsi melalui Deputi Bidang Pencegahan mendalami masalah tersebut. Temuan mereka sama. “Sistem jaminan sosial nasional ini simpangannya jauh sekali,” kata Pahala Nainggolan.
Cerita dimulai pada 19 Oktober 2004, ketika terbit Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional yang antara lain harus berprinsip nirlaba. Tujuh tahun kemudian, lahir Undang-Undang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Salah satu isinya: membubarkan PT Askes, yang selama ini menangani asuransi kesehatan aparat sipil, militer, dan kepolisian, serta meleburkan semua program jaminan kesehatan ke dalam BPJS Kesehatan.
Undang-Undang BPJS juga memerintahkan Asabri dan Taspen mengalihkan program asuransi sosial serta pensiun ke BPJS Ketenagakerjaan paling lambat pada 2029. Tata cara pengalihan akan diatur dengan peraturan pemerintah. “Undang-Undang BPJS sudah setegas itu. Maksudnya Taspen dan Asabri bikin peta jalan penggabungan,” ujar Pahala.
Rupanya, bukannya menyusun peta jalan pengalihan, Taspen malah merancang pengajuan revisi Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional dan Undang-Undang BPJS agar pengalihan itu batal, juga mengusulkan pembentukan BPJS pegawai negeri sipil. Rencana tersebut tertuang dalam peta jalan Taspen 2014-2019 yang diperoleh KPK. Peta jalan Asabri sama. “Intinya, Taspen dan Asabri tidak mau digabung dengan BPJS Ketenagakerjaan,” ucap Pahala.
Sekretaris Perusahaan Asabri Desy Ananta Sembiring mengakui peta jalan perusahaannya itu. Asabri masih berharap dapat mengusulkan perubahan Undang-Undang BPJS sekaligus penerbitan Undang-Undang BPJS Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian RI. Menurut Desy, tentara dan polisi adalah profesi dengan risiko tinggi. “Diperlukan pembinaan yang bersifat khas baik secara mental, spiritual, maupun kesejahteraan yang tidak bisa disamakan dengan aparat sipil atau pekerja pada umumnya,” kata Desy, Kamis, 11 Juli lalu. Pembinaan kesejahteraan yang sesuai untuk tentara dan polisi itu, Desy menambahkan, mesti lewat Asabri.
Manajer Humas Taspen Anne Roosfianti menjelaskan peta jalan perusahaannya yang berbeda dengan Undang-Undang BPJS. Namun lagi-lagi ia menolak dikutip.
BELUM kelar urusan pengalihan program hari tua dan pensiun, muncul masalah lain. Pada 2015, kata Pahala Nainggo-lan, terbit dua peraturan pemerintah sekaligus: Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 2015 tentang Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian bagi Pegawai Aparatur Sipil Negara dan Peraturan Pemerintah Nomor 102 Tahun 2015 tentang Asuransi Sosial Prajurit Tentara Nasional Indonesia, Anggota Kepolisian RI, dan Pegawai Aparatur Sipil Negara di Lingkungan Kementerian Pertahanan dan Kepolisian RI. Dua peraturan itu menugasi Taspen dan Asabri mengelola program jaminan kecelakaan kerja dan kematian buat aparat sipil, tentara, serta polisi.
Padahal, dua tahun sebelumnya, sudah ada Peraturan Presiden Nomor 109 Tahun 2013 tentang Penahapan Kepesertaan Program Jaminan Sosial, yang merupakan amanat Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan Undang-Undang BPJS. Pasal 5 peraturan presiden itu menyebutkan pemberi kerja penyelenggara negara wajib mendaftarkan semua pekerjanya dalam program jaminan kecelakaan kerja dan jaminan kematian paling lambat 1 Juli 2015 kepada BPJS Ketenagakerjaan. “Ada putusan Mahkamah Agung dua tahun lalu yang menyatakan jaminan kematian dan jaminan kecelakaan kerja yang dikelola Taspen tidak melanggar UU SJSN dan BPJS,” ujar Pahala.
Komisi Pemberantasan Korupsi selanjutnya menghitung dampak sengkarut jaminan sosial yang melibatkan tiga badan itu. Hasilnya, ada potensi pemborosan anggaran negara. Saat ini pemerintah membayar premi ganda jaminan kecelakaan kerja dan kematian kepada Taspen dan BPJS Ketenagakerjaan. Pemerintah sebagai pemberi kerja membayar 0,24 persen dan 0,72 persen dari gaji peserta kepada Taspen. Adapun kepada BPJS, pemerintah membayar 0,24 persen dan 0,3 persen dari gaji peserta. Lembaga yang membayar premi dobel itu antara lain Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, Ombudsman, dan KPK sendiri.
KPK juga menghitung negara berpotensi membayar premi lebih mahal sebesar Rp 722 miliar per tahun. Kemahalan itu berasal dari premi jaminan kematian yang lebih tinggi ketimbang premi BPJS Ketenagakerjaan. Atas temuan tersebut, KPK berencana mengirim rekomendasi kepada presiden untuk menyelesaikan kisruh jaminan sosial tenaga kerja.
Ketua Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat, yang antara lain mengurus ketenagakerjaan, Dede Yusuf, mengatakan kisruh ini tidak akan terjadi bila pemerintah menerbitkan peraturan pemerintah tentang tata cara pengalihan program hari tua dan pensiun Taspen serta Asabri ke BPJS Ketenagakerjaan. Pemerintah, menurut Dede, harus turun tangan menggabungkan lintas kementerian dan menunjuk penyusun peraturan pemerintah tentang pengalihan tersebut. “Tampaknya belum ada penunjukan,” tutur Dede, Kamis, 11 Juli lalu.
Sekretaris Kabinet Pramono Anung tidak menjawab ketika ditanyai soal kementerian atau lembaga mana yang akan menjadi pemrakarsa peraturan pemerintah itu. Ia hanya menjawab “siap” ketika ditanyai kabarnya.
Peta Jalan Pengalihan
KHAIRUL ANAM
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo