BAGI rakyat kecil, agaknya tidak ada yang lebih pahit daripada PHK menjelang Lebaran. Tapi justru bencana itulah yang menimpa lebih dari 2.400 karyawan PT Industri Sandang I (PT Insan), BUMN yang pada awal tahun 1970-an menjadi pionir di bidang pertekstilan. PHK di Pabrik Pemintalan (Patal) di Palembang milik PT Insan berlaku sejak 31 Maret 1993, namun informasi tentang masalah itu sudah disampaikan pada 17 Maret 1993. Adalah Dirut PT Insan I, Sumedi Wignyosumarto, sendiri yang mengemukakannya dalam sebuah pertemuan dengan 417 karyawan di Taman Budaya, Palembang. Sementara itu di Jakarta hampir 2.000 karyawan Patal Senayan mengalami nasib serupa. Dan hari-hari sibuk menjelang Lebaran malah diisi dengan acara mengadukan nasib mereka ke DPR. Yang dikeluhkan mereka adalah kecilnya pesangon serta cara-cara yang ditempuh PT Insan dalam melancarkan proses PHK (pemutusan hubungan kerja). ''Saya sudah bekerja di Patal Senayan selama 19 tahun. Gaji saya tiap bulan Rp 76 ribu. Baru enam bulan terakhir naik menjadi Rp 134 ribu,'' ujar Tugiono, karyawan bagian operator Patal Senayan. Andai kata pesangon yang diberikan adalah 5 bulan gaji, maka Tugiono hanya mengantongi Rp 670.000. Dana yang tidak sampai 1 juta rupiah itu tentu sangat tidak memadai untuk memulai satu usaha baru. Itulah agaknya yang membuat mereka resah. Sebaliknya di Palembang, acara tatap muka antara pucuk pimpinan PT Insan I dan seluruh karyawan Patal Palembang tak sampai menimbulkan gejolak. ''Hati sanubari saya ikut sedih atas penutupan pabrik yang telah beroperasi sejak 1968 ini,'' ujar Sumedi. Tapi kerugian makin meningkat, sehingga pabrik tak bisa bertahan hidup. Tahun 1991 PT Insan merugi Rp 5 miliar, setahun kemudian kebobolan sampai Rp 12 miliar. Rapat Umum Pemegang Saham akhir tahun 1990 memutuskan restrukturisasi. Ini berarti penciutan dari 5 unit menjadi 3 unit produksi. Dalam pelaksanaannya Patal Senayan dan Patal Palembang dihapuskan. Keputusan itu berimplikasi pada PHK dan PHK diatur berdasarkan Surat Keputusan Bersama Menteri Perindustrian dan Menteri Tenaga Kerja (20 Februari 1993) tentang PHK dan pesangon. Bagi karyawan organik yang bukan peserta program pensiun diberi pesangon 2 kali gaji dikalikan jumlah masa kerja minus biaya kesehatan. Selain itu ada ongkos pulang ke tempat asal sebesar satu bulan gaji. Bagi karyawan organik yang ikut program pensiun, selain menerima pesangon sebagaimana ketentuan umum, juga ditambah 3 bulan gaji dan biaya perawatan kesehatan selama satu tahun. Ternyata formulasi itu tidak memuaskan para karyawan. ''Kami tidak setuju pemberian pesangon berdasarkan SKB. Kalau itu yang akan dilaksanakan, kami semua akan keluar dari ruangan ini,'' ancam Norman Ahyana, salah seorang karyawan Patal Palembang. Ia menuntut pesangon minimal 5 kali gaji. Tuntutan itu mendapat dukungan kompak dari semua karyawan, sehingga masalahnya diambil-alih Kepala Kanwil Depnaker Sumatera Selatan, M. Salim. Kesepakatan akhirnya tercapai, yakni berupa usul kepada Menteri Perindustrian agar jumlah pesangon diubah dari 2 kali menjadi 5 kali gaji. Belum jelas apakah usul ini diterima atau ditolak. Yang pasti, pihak PT Insan I jauh-jauh hari sudah mempersiapkan dana pesangon. ''Kami telah mendapat komitmen kredit berbunga 9% dari pihak BI,'' ujar Sumedi. Dana pesangon untuk seluruh karyawan PT Insan I ini mencapai Rp 14,8 miliar. Khusus untuk Patal Palembang disediakan Rp 4,4 miliar. Utang BI ini, menurut Sumedi, akan dibayar dari hasil penjualan aset Patal Palembang, antara lain pabrik dan perumahan karyawan di atas tanah 20,9 hektare. Tapi bila pesangon 5 kali gaji, dana itu jelas tidak mencukupi. Mengapa PT Insan I sampai merugi, padahal pengusaha tekstil sangat berkibar-kibar lima tahun terakhir ini? ''Mesin-mesin sudah tua dan semakin banyak perusahaan yang memproduksi polyester dan rayon, hingga kami sulit bersaing,'' ujar Sumedi. Memang sejak Januari 1993 Patal Palembang sudah tidak berproduksi lagi. Mesin-mesin asal Jerman Timur yang dipakai selama 30 tahun dan tak pernah diganti itu sudah mirip besi tua. ''Kondisi tersebut diperburuk dengan kebijakan proteksi di negara-negara konsumen,'' Sumedi mengajukan alasan. Langkah restrukturisasi lalu menjadi pilihan. Enam ribu karyawan dipangkas dan unit produksi diciutkan. Tapi langkah maju pun diayunkan dengan mendirikan sebuah pabrik di Karawang, Ja-Bar, bernilai investasi Rp 135 miliar. Menurut Sumedi, pabrik baru ini merupakan pengganti pabrik Patal Senayan Jakarta. Kelak pabrik di Senayan akan dikosongkan dan tanahnya akan dijual. Konon tanah bekas pabrik Patal Senayan itu bisa laku sampai Rp 600 miliar. Tapi, menurut Tri Budi Luhur SH, yang bertindak sebagai kuasa hukum karyawan Patal Senayan, pihak yang akan membeli tanah itu kabarnya sebuah perusahaan milik taipan Liem Sioe Liong hanya mau membeli dengan cara ruilslag. ''Setahu kami pihak pembeli membangun pabrik baru di Karawang dan kemudian memperoleh tanahnya,'' ungkap Tri Budi. Berarti PT Insan menyerahkan tanah senilai Rp 600 miliar kepada swasta, lalu memperoleh pabrik senilai Rp 135 miliar sebagai imbalannya. Kebenaran informasi itu belum bisa ditelusuri ke pihak Liem Sioe Liong. Dirjen Aneka Industri Soesanto Sahardjo, yang membawahkan PT Insan, juga menolak memberi keterangan. Sementara itu urusan pesangon karyawan pun belum tuntas. Hasan Syukur, Nunik Iswardhani, dan Aina R. Aziz
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini