PEJABAT yang menganut pola hidup sederhana ternyata bukan cuma Mar'ie Muhammad. Dirjen Pajak yang kini merangkap sebagai Menteri Keuangan itu, hingga saat pelantikan para menteri Kabinet Pembangunan VI yang baru lalu, dikabarkan hanya memiliki sebuah sedan tua keluaran tahun 80-an. Sekalipun begitu, di luar dugaan Mar'ie masih kalah sederhana bila dibandingkan dengan Menteri Perdagangan Satrio Boedihardjo Joedono. Sebelum memangku jabatan yang sekarang, Billy (demikian rekan- rekannya memanggil) pernah menggeluti beberapa profesi, mulai dari guru besar di FE Universitas Indonesia, tenaga honorer di BPPT, koordinator Kerja Sama Bidang Ristek Indonesia-Amerika, anggota Dewan Riset Nasional, staf ahli Menko Ekuin, komisaris PT Persero Pengembangan Daerah Industri Batam, komisaris BUMN PT Rajawali Nusantara, dan ketua Dewan Pengawas Perumnas. Nah, de- ngan sederet pekerjaan itu, belakangan baru diketahui bahwa se- lama ini Billy tinggal di rumah flat yang sempit dan sangat sederhana. Untuk transportasi, pria kelahiran Pangkalpinang-Bangka ini cukup mengandalkan sebuah sedan Datsun yang sudah tua. Tapi belakangan ia berpeluang untuk mengenal kemewahan sedan Corona yang menurut istrinya, Ani Joedono, merupakan pemberian dari salah seorang bosnya. Selain Corona, tak ada lagi yang istimewa. Bahkan pesawat televisi di rumah Billy cuma berukuran 14 inci. Kesederhaan mungkin akan tetap mewarnai kehidupan Billy, walaupun sesudah menjadi menteri pola hidupnya tentu berubah. Yang pasti, peraih gelar doctor of public administration dari State University of New York ini sekarang memikul beban yang tidak ringan. Sebagai Menteri Perdagangan, diakuinya bahwa ia harus belajar banyak. Maklum, sepanjang kariernya, ia hanya sempat ''menginjak'' departemen ini selama dua tahun (1972-1973) ketika menjabat ketua harian Tim Penelitian Organisasi dan Administrasi dan sebagai anggota Tim Kerja Standarisasi dan Pengawasan Mutu. Jadi, Departemen Perdagangan sudah 20 tahun ia tinggalkan. Tak heran jika Billy tampak bersikap ekstrahati-hati, khususnya dalam wawancara dengan Nunik Iswardhani dari TEMPO. Petikannya: Isu penting apa yang akan segera Anda tangani? Soal blok-blok perdagangan seperti AFTA, NAFTA, dan MEE yang jelas-jelas memiliki implikasi proteksi? Atau peningkatan daya saing komoditi Indonesia dalam menembus pasar dunia? Wah, semua itu penting, jadi akan kami tangani secara bersamaan. Dalam meningkatkan daya saing, misalnya, banyak cara bisa ditempuh. Secara sendiri-sendiri oleh pengusaha, upaya antardepartemen, atau berupa kerja sama antara pemerintah dan pengusaha. Memang, pada dasarnya, daya saing itu harus diciptakan oleh pengusaha sendiri, dan pemerintah hanya bersifat membantu. Termasuk dalam menembus pasar yang dilindungi oleh blok-blok perdagangan, di sini pun peran departemen hanya bersifat mendorong. Seberapa besar peluang ekspor Indonesia, dan komoditi apa yang paling bisa diandalkan? Tekstil tetap merupakan salah satu komoditi kita yang terkuat. Dan berbicara soal peluang, bagi Indonesia masih terbuka lebar. Ini terutama karena beberapa produk memiliki daya saing yang cukup tangguh. Buktinya, beberapa negara, seperti Australia, pernah menuduh Indonesia melakukan dumping. Padahal, kita tidak melakukan itu. Dan ini menunjukkan bahwa produk kita memiliki daya saing yang bagus. Bagaimana komentar Anda tentang banyaknya peluang dalam daftar GSP Amerika yang belum kita manfaatkan? Soal itu perlu dilihat lagi. Yang pasti, komitmen kami adalah memacu perdagangan luar negeri seoptimal mungkin. Untuk memenuhi komitmen tersebut, apa tidak perlu didirikan semacam trading house seperti di Jepang untuk mendampingi BPEN (Badan Pengembangan Ekspor Nasional)? Sementara itu, kami kira cukup dengan meningkatkan peran BPEN saja. Kita tak perlu buru-buru membuat lembaga perdagangan baru. Soalnya, tidak sedikit negara yang tak memiliki trading house tapi perdagangan luar negerinya cukup kuat, contohnya Perancis. Jadi, tak perlu trading house? Bukan begitu. Kita harus melihat dulu kepentingannya. Dan trading house itu tak perlu harus dibentuk oleh Pemerintah, swasta juga kan bisa melakukannya. Apalagi tak semua komoditi bisa diproses melalui lembaga seperti ini. Pokoknya, pakai trading house atau tidak, yang penting adalah hasilnya. Tentang AFTA (Asean Free Trade Area), yang berlaku efektif per 1 Januari lalu, apa Indonesia sudah siap membuka pintu. Misalnya, untuk mobil Proton Saga buatan Malaysia yang harganya lebih murah ketimbang mobil buatan Indonesia. Kalau untuk kalangan ASEAN sendiri, kami rasa ada semacam tenggang rasa. Nanti kan ada aturannya, komoditi apa saja yang dapat dipersaingkan. Yang pasti, di lingkungan ASEAN, Indonesia memiliki cukup banyak komoditi berdaya saing tinggi. Sebagai Menteri Perdagangan, langkah-langkah apa yang akan segera Anda ambil? Terlebih dulu saya akan mempelajari segala sesuatu secara mendalam. Selain itu, saya juga akan menyambut segala bentuk koordinasi antardepartemen. Sebab, seperti diketahui, bidang perdagangan Indonesia menghadapi tantangan yang cukup berat. Ini karena adanya penggantian prioritas pengembangan, dari bidang pertanian ke industri manufaktur.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini