DIAM-diam, tapi pasti. Biarpun tidak sesumbar, Bank Duta ternyata cukup gesit dalam memanfaatkan peluang yang ditawarkan Paket Kebijaksanaan 27 Oktober (Pakto). Bank Duta jugalah yang paling cepat menjalin hubungan dengan mitra asingnya: Industrial Bank Japan (IBJ). Paling lambat bulan Mei depan, usaha patungan yang bermodalkan Rp 50 milyar ini (85% IBJ, dan 15% Duta) akan mulai beroperasi di Gedung Pusat Bank BNI, JalanJenderal Sudirman, Jakarta Selatan. Tapi di sana, Anda tidak akan melihat adanya banking hall (bagian pelayanan), seperti yang lazim ada pada setiap bank. Soalnya, bagian itu memang tidak diperlukan betul. "Bank patungan ini hanya akan melayani nasabah-nasabah besar," kata Dicki Iskandar Dinata, direktur eksekutif Bank Duta. Sesuai dengan kuku yang telah ditanam IBJ di Indonesia? bank patungan ini akan lebih banyak melayani perusahaan-perusahaan patungan Jepang-Indonesia, dan proyek-proyek pemerintah (IBJ adalah salah satu bank yang membiayai proyek Asahan). Kemungkinan besar, itulah salah satu pertimbangan Bank Duta untuk bekerja sama dengan IBJ, di samping, seperti yang disyaratkan Pakto, perusahaan-perusahaan yang berorientasi ekspor pun tentu akan kebagian kredit dari bank patungan ini. "Semuanya dalam skala besar. Sehingga, selain tidak akan bertabrakan dengan pasar Bank Duta, juga tidak akan menyaingi bank-bank yang kecil?" kata Dicki. Tapi bukan berarti Bank Duta meremehkan papan bawah. Masih dalam rangka memanfaatkan Pakto, tahun ini akan dibuka 10 outlet di Jakarta -- berupa cabang maupun cabang pembantu. Plus lima cabang lainnya, yang akan dibuka di luar Jakarta, yakni di Lampung, Padang, Singkawang, Surabaya, dan Bandung. "Semua ini kami canangkan untuk menghadapi situasi kompetisi yang semakin ketat," Dicki menambahkan. Di luar itu semua, ada hal lain yang mungkin cukup mengejutkan kalangan bankir dan pengusaha, yakni tentang perubahan pemilikan saham Bank Duta Semula saham Bank Duta, yang per Desember beraset Rp 1,06 trilyun, dimiliki oleh Yayasan Supersemar (30%), Yayasan Dharmais (30%), BUMN PT PP Berdikari (30%), dan Koperasi Karyawan Bank Duta 10%. Namun, sejak dua pekan lalu, komposisi kepemilikan itu berubah karena Berdikari melepas seluruh bagian sahamnya kepada Dakab (Dana Abadi Karya Bakti) -- yayasan yang mengelola dana milik Golkar. Kalau itu benar, berarti 90% saham Bank Duta dikuasai oleh tiga yayasan, yang ketiga-tiganya diketuai langsung oleh Presiden Soeharto. Benarkah? Tak seorang pun -- termasuk Dirut Bank Duta Abdulgani -- yang mau memberikan keterangan tentang itu. Dengan demikian, tidak bisa diketahui dengan pasti, berapa nilai penjualan 30% saham milik Berdikari tersebut. Tapi, terlepas dari saham Berdikari itu, tak kalah menarik adalah rencana BUMN ini, untuk mendirikan sebuah bank baru. yang akan diberi nama Bank Berdikari. Menurut sebuah sumber dari kalangan pemerintah keinginan itu muncul karena usaha Berdikari yang semakin melebar. Berdikari, yang tahun lalu meraih laba Rp 20 milyar itu, selain berusaha di bidang perdagangan -- seperti ekspor barang jadi rotan, jagung, dan kopi -- juga bergerak di sektor lain. Misalnya perkebunan dan pengalengan nanas di Sumatera Utara, perkebunan kapas di Sulawesi Tenggara, serta peternakan sapi pedaging di Jawa Barat. "Karena banyaknya bidang usaha yang ditangani -- bahkan, rencananya. tak lama lagi akan mengekspor tepung tapioka -- Berdikari berniat membuka bank sendiri?" kata sumber ini. Lantas kenapa tidak membeli Bank Duta saja? Menurut sumher TEMPO, membeli Bank Duta dengan kondisi sekarang sangatlah tidak mungkin. Atau dengan kata lain Berdikari tak akan mampu membelinya. Bank Duta sekarang kan lain dengan yang didirikan Berdikari 23 tahun lalu (1966), tutur yang empunya cerita. Memang, Bank Duta, yang sebelumnya bernama Bank Duta Ekonomi -- kelanjutan dari Bank Dharma Ekonomi -- 100% sahamnya semula dimiliki oleh Berdikari. Tapi tahun 1974, masuklah Yayasan Dharmais dan Supersemar sebagai pemegang saham lainnya. "Ketika itu Bank Duta membutuhkan investasi tambahan, sebagai modal untuk menjadi bank devisa," kata sumber itu. Hanya saja, entah kenapa, baru pada tahun 1978 cita-cita menjadi bank devisa terlaksana. Kini setelah ada kebijaksanaan Pakto, niat untuk memiliki bank sendiri muncul kembali. Tapi anehnya, Menkop Bustanil Arifin, wakil Berdikari yany menjabat sebagai Komisaris Utama Bank Duta, mengelak untuk memberikan keterangan. Bahkan menurut dia, penjualan saham Berdikari kepada Dakab masih dalam tahap penjajakan. "Sampai saat ini komposisi Saham BD masih belum berubah," ujarnya kepada Sidartha Pratidina dari TEMPO. Bustanil juga membantah kalau disebutkan Berdikari akan membuka bank sendiri. Memang betul ada niat melakukan diversifikasi usaha, "Tapi saya lihat, usaha bank kok tampaknya kurang menguntungkan". Seandainya penjualan saham itu terjadi, "Berdikari akan menjajaki usaha ekspor nonmigas, misalnya bisnis hortikultura," ujar Menteri. Rencana bisnis hortikulktura itu dibenarkan pula oleh sumber TEMPO. Berdikari, selain akan memperluas perkebunan nanas, plus mendirikan pabrik pengalengannya yang baru di Sum-Ut, juga telah menjajaki perkebunan bunga untuk ekspor. Dan semua rencana itu bisa dibilang tidak ambisius karena bukankah Berdikari adalah satu-satunya BUMN nondepartemen yang kondisinya diperkirakan sangat sehat dewasa ini?. Hanya saja, sumber TEMPO tetap yakin bahwa Berdikari pasti akan mendirikan bank baru, bahkan surat permohonannya sudah diajukan ke Departemen Keuangan. Kabarnya, sebagai bank milik BUMN akan tidak terlalu sulit mencari masalah. Tapi kalaupun sulit misalnya, "akan mampu memberikan bunga kredit yang rendah, nasabah akan datang dengan sendirinya," ujarnya yakin sekali. Mana yang benar? Barangkali hanya Bustanil Arifin yang bisa menjawabnya.Budi Kusumah, Sidartha Pratidina
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini