Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
AKSI demonstrasi Serikat Pekerja Bank Mandiri tiga pekan lalu sesungguhnya tidak terlalu mencolok. Selain dilakukan pada hari libur, Sabtu, aksi di Lapangan Banteng, Jakarta Pusat, itu cuma diikuti segelintir orang. Dari total 21 ribu karyawan Bank Mandiri, peserta unjuk rasa hanya sekitar 200 orang.
Namun aksi itu berhasil membetot perhatian manajemen. Sehari sebelum unjuk rasa, direksi melakukan rapat maraton membahas rencana sebagian karyawan itu. Bahkan semua anggota direksi terpaksa menginap di kantor pusat Mandiri di Jalan Gatot Subroto, Jakarta, guna meredam niat tersebut. Tapi upaya membujuk gagal dan serikat pekerja tetap berunjuk rasa.
Bagi bank publik tersebut, aksi semacam ini jelas tak bisa dianggap enteng. Sebab, itu tidak hanya akan mempengaruhi kinerjanya di bursa saham, tapi juga mengusik para nasabah serta mengganggu suasana kerja bagi ribuan pekerja lainnya. ”Itulah yang kami sesalkan,” kata juru bicara Bank Mandiri, Mansyur Nasution, pekan lalu.
Yang lebih memusingkan, ternyata protes yang diusung serikat pekerja itu melenceng dari tuntutan semula: soal kesejahteraan. Mereka malah mendesak pergantian manajemen. Melihat preseden buruk kasus PT Telkom dan PT Jamsostek, direksi Mandiri tak mau kecolongan. Di kedua BUMN itu, semula juga dilakukan aksi demo, tapi kemudian tuntutan agar direktur utama mundur kian kuat. ”Ini jelas masalah serius,” kata Mansyur.
Terlebih lagi, gerakan unjuk rasa muncul di tengah santernya info pendongkelan direktur utama dan komisaris utama Bank Mandiri. Dalam dua bulan terakhir, tersiar kabar duet Agus Martowardojo-Edwin Gerungan akan digantikan oleh wajah baru. Dari nama yang muncul, Agus akan digeser oleh Gita Wiryawan, Presiden Direktur JP Morgan Indonesia, atau I Wayan Agus Martayasa, Wakil Direktur Utama Bank Mandiri. Sedangkan Edwin, sang komisaris utama, akan digusur oleh Aulia Pohan, mantan deputi gubernur bank sentral.
Aulia Pohan saat dimintai konfirmasi Tempo tidak membantah kabar itu. Ia mengaku dua-tiga bulan lalu diajak makan oleh seorang deputi Menteri Negara BUMN. Dalam pertemuan itu, sang deputi meminta dia ”membantu” Bank Mandiri. ”Ya, agar bisa lebih cantik,” ujar Aulia menirukan ucapan deputi tersebut. Ia menyebutkan kinerja Mandiri saat ini memang biasa-biasa saja sehingga perlu perbaikan.
Menurut besan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ini, permintaan seperti itu sesungguhnya bukan kali ini saja terjadi. Ketika duet Neloe-Binhadi akan diganti dua tahun lalu, ia juga pernah diminta menjadi komisaris. Tapi saat itu Aulia menolaknya. ”Kalau sekarang diminta lagi, ya, alhamdulillah,” katanya.
Tapi Gita mengaku tak tahu kabar tersebut. ”Itu cuma rumor,” katanya. Adapun Wayan Martayasa tak bersedia mengangkat telepon dan tak menjawab pesan pendek. Namun Menteri Negara BUMN Sofyan Djalil saat dimintai konfirmasi soal penggantian itu, pekan lalu, hanya menjawab singkat, ”Tidak ada tuh. Ada-ada saja.” Menurut seorang pejabat di Kementerian BUMN, Sofyan tidak mau gegabah mengganti manajemen Mandiri karena bank ini menjadi acuan investor asing.
Mandiri memang bukan bank kelas teri. Mandiri adalah bank terbesar yang menguasai Rp 265 triliun atau hampir 20 persen dari total aset perbankan. Mandiri juga menjadi sumber dana para pengutang kakap dan proyek-proyek raksasa, seperti infrastruktur jalan tol dan pembangkit listrik. Beberapa tahun belakangan ini, bank itu juga pontang-panting berurusan dengan 30 pengutang besar yang bermasalah.
Melihat peran yang sangat strategis, analis perbankan Mirza Adityaswara tidak heran jika banyak kalangan berebut menggoyang posisi direktur utama bank raksasa itu. Persoalannya: apakah mereka siap menanggung risikonya? ”Misalnya risiko lonjakan kredit bermasalah dan anjloknya harga saham akibat pengganti yang tidak kompeten,” kata Mirza.
Kinerja Mandiri saat dipimpin E.C.W. Neloe sesungguhnya bisa menjadi contoh. Setelah disuntik dana publik Rp 178 triliun akibat krisis ekonomi 1997, Mandiri lagi-lagi terpuruk karena non-performing loan kotor melonjak jadi Rp 27 triliun atau 26,6 persen pada Desember 2005. Bila memperhitungkan pencadangan NPL bersihnya juga kelewat tinggi, 16,1 persen.
Akibat dibebani kredit seret raksasa milik debitor kakap, Mandiri tak berkutik. Bank ini dikategorikan tak sehat oleh Bank Indonesia sehingga harus dirawat secara intensif. Niat ekspansi kredit dan akuisisi ditunda. Mimpi menjadi bank terpandang di kawasan regional juga disimpan dulu. Pokoknya, Mandiri ”disetrap”, diminta fokus bersih-bersih internal dulu.
Persoalannya, gerakan bersih-bersih mengusik mereka yang selama ini duduk tenang atau ”tidur nyenyak”. Menurut sumber Tempo di Bank Mandiri, perubahan budaya kerja ke berbasis kinerja dinilai merugikan karyawan senior yang terbiasa leha-leha dengan budaya lama. Apalagi kini mereka tiba-tiba harus dikenai dua pilihan: kerja keras atau turun pangkat. ”Terlebih lagi, Agus juga menindak keras karyawan yang hanky-panky,” kata sumber itu.
Dari luar kantor, gebrakan dan sikap keras direksi Mandiri terhadap debitor kakap juga dinilai membuat banyak pihak gerah. Mereka adalah debitor bandel, politikus, hingga pejabat. ”Mereka ingin Mandiri seperti dulu, lembek dan mudah disetir,” kata Pradjoto, Komisaris Bank Mandiri.
Pakar hukum perbankan itu bercerita betapa sulitnya perjuangan melawan para debitor bertabur fulus tersebut. Pada tahun pertama ia menjabat, setiap minggu selalu membahas perkembangan penanganan debitor kakap, sampai bosan. Mereka ditelepon dan dipanggil satu per satu. Direksi juga mengumumkan 30 debitor setiap tiga bulan sekali di media massa.
Kredit bermasalah Mandiri yang mencapai 27 persen—saat ditinggalkan Neloe pada 2005—sebagian besar atau 70 persen disumbangkan oleh 30 debitor kakap. Nama besar itu antara lain Grup Raja Garuda Mas (Sukanto Tanoto), Kiani Kertas (Prabowo Subianto), Djajanti (Burhan Uray), Domba Mas (Susanto Liem), Argo Pantes (The Nin King), Suba Indah (Benny Tjokroseputro), Great River (Sunjoto Tanudjaja), Bosowa (Aksa Mahmud), dan A Latief Corp. (Abdul Latief).
Terhadap mereka yang tidak kooperatif, Mandiri tak segan-segan menjual aset para debitor atau menempuh jalur hukum. Dalam pandangan Agus, kondisi sekarang sudah berubah, bukan zamannya lagi beking-bekingan. ”Tekanan publik akan sangat tinggi terhadap mereka yang tidak kooperatif,” ujar Agus ketika mengumumkan daftar 30 debitor bandel. ”Pemerintah sebagai pemegang saham Mandiri juga marah sekali.”
Ketegasan itu menuai hasil. Para pengusaha besar malu dipublikasikan sebagai debitor tak kooperatif. Saking malunya, kabarnya bos Grup Bosowa sempat berseteru dengan Agus di Istana Merdeka gara-gara pengenaan status tak kooperatif itu. Namun, saat dimintai konfirmasi soal ini, Agus tak banyak komentar. ”Hubungan kami baik-baik saja,” katanya.
Setelah dua tahun berkutat dengan urusan debitor kakap ini, hasilnya ampuh juga. Mereka akhirnya kooperatif. Raja Garuda Mas bersedia menaikkan cicilan utang dari US$ 61,2 juta menjadi US$ 120 juta per tahun. Kiani Kertas membayar utang pokok dan bunga tertunggak US$ 37 juta. Argo Pantes dan Domba Mas menjual aset-asetnya. ”Kami kapok berurusan dengan kejaksaan,” kata seorang debitor bandel Mandiri.
Gara-gara itu, laporan kinerja Bank Mandiri bulan lalu lumayan kinclong. Rasio NPL neto menurun dari 16,1 persen pada Desember 2005 menjadi 3,9 persen pada Juni lalu. Provisi yang dicadangkan untuk meng-cover NPL melonjak menjadi 87 persen. Meski tersedot untuk menambah provisi, laba semester pertama tetap mengalami kenaikan cukup tajam, yakni 123 persen, menjadi Rp 2,1 triliun, yang sebagian besar disumbangkan oleh pendapatan dari kredit. Harga saham naik lebih dari dua kali lipat menjadi Rp 3.100-an per saham.
Dengan NPL di bawah aturan BI sebesar 5 persen, Mandiri semakin siap berekspansi dan mengakuisisi perusahaan jasa keuangan lainnya. Pada akhir tahun ini, bank ini akan mengambil alih perusahaan multi-finance untuk memperkuat segmen pasar kredit kendaraan bermotor. Bank ini bertekad menjadi bank yang dominan di setiap segmen pasar. ”Ini langkah awal menjadi bank terkemuka secara regional,” kata Agus.
Kondisi ini jelas berbeda dengan Bank Negara Indonesia. Bank yang juga menderita beban NPL tinggi itu tidak mau mempublikasikan debitor bandel seperti yang ditempuh Mandiri. ”Setiap bank punya cara berbeda dalam menangani pengutang tak kooperatif,” kata Direktur Utama BNI Sigit Pramono. Namun cara berbeda juga memberikan hasil tak sama. Buktinya, NPL bank itu masih di atas 5 persen.
Kini Mandiri terus berbenah. Karyawan tak bisa lagi santai dan orang kuat tak bisa semaunya memakai brankas Mandiri. Seorang pegawai bank ini bercerita bahwa sekarang ia tidak bisa lagi memergoki anggota DPR yang seenaknya meminta kredit ke Mandiri. Dulu dia sering melihat anggota Dewan datang dengan mobil Jaguar, turun dengan gaya jumawa, kemudian ongkang-ongkang kaki di ruangan direksi. ”Ya, pokoknya dulu bank ini seperti milik dia, deh.”
Meski Mandiri sudah berubah, bukan tidak mungkin upaya mengobok-obok akan berlanjut. ”Sebab, sebagai bank terbesar, Mandiri memang menarik untuk terus digoyang,” kata Mirza Adi tyaswara. Adapun Agus tetap bertekad untuk bersikap profesional. Tapi, kalaupun langkahnya ini dinilai salah, ia siap dengan segala risikonya. ”Kalau mau diganti, silakan saja. Itu hak pemegang saham,” katanya.
Heri Susanto, Muchamad Nafi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo