Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perusahaan tambak PT Dipasena Citra Darmaja, milik Sjamsul Nursalim dari Grup Gajah Tunggal, adalah contohnya. Berdasarkan penilaian Credit Suisse First Boston (CSFB), nilai Dipasena tak kurang dari Rp 20 triliun. Ternyata, belakangan Deputi Ketua BPPN Bidang Assets Management Credit, Eko S. Budianto, nilai tambak udang windu yang pekan lalu menelan dua korban tewas akibat bentrok petambak versus pemilik itu jauh di bawah angka yang pernah disebutkan CSFB. Menurut seorang analis perusahaan sekuritas asing, kondisi yang sama terjadi di perusahaan lain seperti Grup Salim dan Danamon.
BPPN pun pusing tujuh keliling. Soalnya, lembaga yang dipimpin Cacuk Sudarijanto itu akhir Maret 2000 ini harus menyetor hasil penjualan aset ke kas pemerintah Rp 17 triliun—untuk menutup anggaran belanja pemerintah yang mulai berlaku April mendatang. Padahal, sampai pekan lalu, BPPN baru berhasil menjala Rp 10,5 triliun. Berarti masih tekor Rp 6,5 triliun, dan waktu tinggal tiga pekan lagi. Dalam sepekan BPPN harus menjual aset Rp 2 triliun lebih. Mampukah? Rasanya repot. Kalaupun target itu masuk, BPPN masih punya tugas mengumpulkan Rp 18,9 triliun sampai akhir tahun ini. Dengan kondisi aset yang carut-marut tadi, plus kerja auditor asing yang meleset dari harapan, sulit bagi BPPN untuk memenuhi target tersebut. Paling tidak, BPPN akan kesulitan memilih aset mana saja yang bisa dijual dengan harga tinggi.
Sesungguhnya, kacau-balaunya penghitungan aset perusahaan yang berutang ini (valuasi) sudah tercium ketika mereka menyetor aset ke meja BPPN. Ketika sejumlah bank ditutup—sebagian diambil alih—pemerintah pada Agustus 1998, para pemiliknya harus membayar kembali kasbon BI (BLBI) yang mereka terima dari pemerintah. Salim, misalnya, harus membayar kembali kasbon yang diterima BCA senilai Rp 47,75 triliun. Sjamsul Nursalim harus mengembalikan Rp 28,4 triliun. Karena tak sanggup membayar tunai, mereka kemudian menyerahkan asetnya. Tapi tak semua aset yang diserahkan moncer. Sebagian besar malah berupa tanah yang nilainya tak bertambah sama sekali dan sulit dijual.
Yang katanya moncer pun ternyata sebagian busuk. Tambak Dipasena di Lampung Barat adalah contoh paling jelas. Ketika diserahkan ke BPPN, nilai aset Dipasena ditaksir Rp 20 triliun, paling besar di antara aset Grup Gajah Tunggal yang diserahkan ke BPPN, yang totalnya bernilai Rp 27,4 triliun. Tapi hanya dalam tempo enam bulan, nilai aset itu menyusut jauh.
Bagaimana bisa? Menurut Direktur Keuangan Dipasena, Mulyati Gozali, salah satu penyebabnya adalah hancurnya produksi udang Dipasena. Biasanya, setiap tahun dihasilkan 15 ribu ton udang, tapi tahun ini anjlok hanya tinggal 10-15 persen. Anjloknya produksi tambak Dipasena terjadi akibat unjuk rasa para petambak yang tiada henti sejak Oktober tahun lalu. Tapi Dipasena sebenarnya masih punya 22 genset yang harga sebuahnya US$ 60 juta (dengan kurs saat itu masih Rp 2.800) dan tak satu pun genset dirusak oleh petani udang di sana. Keterangan Mulyati soal produksi udang yang ambruk itu rasanya belum meyakinkan benar untuk menjawab mengapa aset Dipasena susut begitu drastis.
Eko Budianto dari BPPN bisa menebak jawabannya: Dipasena tidak jujur dalam memberikan penjelasan tentang utang yang mesti dibayarkan kepada pemerintah. Eko menceritakan bahwa kredit dari pemerintah kepada para petambak senilai Rp 4 triliun yang kini macet tak dimasukkan Sjamsul dalam bagian kredit Grup Gajah Tunggal ke BDNI—bank kelompok usaha ini yang diambil alih pemerintah. Padahal, Dipasena menjadi penjamin, seharusnya utang itu otomatis menjadi tanggungan Dipasena. Tapi Sjamsul tak mau menanggungnya. Dia memilih main petak umpet dengan para petambak yang jumlahnya mencapai 9.000 orang—sekali waktu ia diselamatkan dari amukan petambak dengan menyamar sebagai pemadam kebakaran. Tak mengherankan jika petani tambak terus mengamuk, dan produksi hancur. Bahkan, kata Cacuk sambil menggerutu, Dipasena kini tak lebih dari kumpulan kolam air, isinya entah ’’berenang” ke mana.
Itu kasus Dipasena. ’’Tipu-tipu” lain pemilik aset adalah jurus kuno: mark-up nilai aset. Selain itu, ada aset-aset yang sudah digadaikan ke pihak lain. Akibatnya, jumlah aset perusahaan yang diterima BPPN tidak sesuai dengan jumlah utang yang mesti ditanggung si pengutang. Grup Salim disebut-sebut sebagai salah satu perusahaan yang menggelembungkan asetnya. Seorang analis menghitung, dari aset senilai Rp 53 triliun yang diserahkan Salim ke BPPN, nilai riilnya tak akan sampai Rp 40 triliun. ’’Kerugian potensial yang akan diderita pemerintah bisa sampai Rp 18 triliun,” katanya prihatin.
Padahal, pemerintah sangat bergantung pada penjualan aset tersebut untuk mengembalikan kasbon yang dipinjam dari BI itu. Makin seret penjualan aset itu, makin sulit pula BPPN memenuhi target pemerintah. Celakanya, dalam perjanjian penetapan kewajiban (master of settlement and acquisition agreement=MSAA) yang diteken pemerintah bersama pemilik bank-bank besar pada 1998, risiko penjualan ada di tangan BPPN. Artinya, gagal-tidaknya BPPN memenuhi target sangat dipengaruhi sukses-tidaknya BPPN menjajakan aset milik bankir tersebut. Sementara itu, para bankirnya sendiri sekarang tinggal ongkang-ongkang kaki. ’’Tanggung jawab grup kami selesai begitu kami meneken MSAA,” kata Yuliani Gozali, Direktur Umum Dipasena.
Salah satu pejabat BPPN, Dasa Sutantio, menjelaskan bahwa nilai aset yang diserahkan ke BPPN bisa saja menurun karena kurs rupiah menguat. Ketika meneken perjanjian settlement pada September 1998, kurs yang dipakai Rp 11.000. Tapi sekarang kurs rupiah menguat sampai pada kisaran Rp 7.500 per dolar AS. ’’Dalam nilai rupiah memang merosot, tapi dalam dolar aset perusahaan itu tetap,” kata Dasa. Dia menambahkan bahwa pada saat itu BPPN memang minta agar para pemilik bank tersebut menyerahkan perusahaan yang berorientasi ekspor sehingga kondisinya lebih baik.
Ada keanehan yang ditangkap oleh sumber analis tadi soal penetapan kurs ini. BPPN, seperti kata Dasa, menggunakan patokan Rp 11.000, kurs rupiah pada Agustus-September 1998. Padahal, ketika akhirnya kesepakatan dicapai pada awal November 1998, kurs pasar pada saat itu sudah menguat di posisi Rp 7.000-8.000. ’’Sepertinya ada kesengajaan untuk menaikkan nilai perusahaan itu karena pada akhirnya semua asetnya dinilai dalam rupiah. Mengapa nilai aset tidak langsung diubah ketika kurs menguat?” tanya sang analis. Dasa menjawab bahwa BPPN ketika itu masih tak yakin rupiah akan stabil pada kisaran itu, melainkan tetap berada di atas Rp 10.000 per dolar AS.
Analis tadi khawatir bahwa para pemilik bank tak mau bertanggung jawab lagi atas penurunan aset itu karena mereka merasa sudah menyerahkan aset sesuai dengan nilai kewajiban mereka. Apalagi, penilaian aset itu bukan dilakukan oleh mereka sendiri melainkan oleh auditor independen yang ditunjuk BPPN. Sehingga, kalau terjadi kekeliruan, toh tanggung jawab ada di BPPN, yang menunjuk semua auditor itu. Bebaskah para taipan dan cukong ini dari kewajiban menomboki utang akibat susutnya aset yang mereka setor? Tidak juga. Dasa dari BPPN mengatakan bahwa dalam skema perjanjian settlement ada klausul yang mengatakan, kalau nilai aset turun karena kesalahan pemegang saham, mereka harus membayar kekurangannya. Jadi, orang seperti Sjamsul Nursalim belum boleh melenggang begitu saja.
Soalnya tinggal bagaimana BPPN mengejar semua utang para bos konglomerat itu. Dengan aset ’’busuk” begini banyak, Cacuk tak punya pilihan selain menyingsingkan lengan bajunya tinggi-tinggi, terutama mengawasi kerja anak buahnya sendiri. Kalau pengalaman Bank Bali terulang—sewaktu awak BPPN juga (diduga) ikut ’’main” melipat uang negara—ya, repotlah kas negeri yang berharap aliran dana dari BPPN.
M. Taufiqurohman, Ali Nur Yasin, Leanika Tanjung
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo