Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ini memang bukan kiamat Black Monday yang terkenal itu. Tapi jatuhnya harga-harga saham di bursa Jakarta sejak sebulan terakhir telah membuat sejumlah investor jantungan dan beberapa ekonom waswas. Bukan cuma karena lajunya yang mengkhawatirkan, tapi juga lantaran polanya yang tidak jelas dan sulit ditebak.
Ada apa? Benarkah ada konspirasi tingkat tinggi untuk menjatuhkan pamor bursa Jakarta dan perekonomian Indonesia?
Kamis pekan lalu, indeks harga saham gabungan (cermin jatuh-bangunnya harga saham di bursa Jakarta) melorot lagi ke 546,5, posisi terendah selama lima bulan terakhir. Jatuhnya indeks hingga di bawah 550 sebenarnya amat mengejutkan. Semula, para analis pasar modal sependapat, gerak melorot ini akan tertahan di "batas keramat" itu, untuk kemudian membal kembali. Tapi, begitu angka gawat itu tembus, investor panik dan buru-buru membuang sahamnya tanpa peduli.
Pada pekan-pekan pertama kejatuhan harga saham, pertengahan hingga akhir Februari lalu, gerak turun ini masih bisa dijelaskan. Ketika itu, terjadi perpindahan dana investasi besar-besaran dari Jakarta ke Kuala Lumpur dan Taipei. Migrasi lokal ini terjadi terutama karena adanya rencana perubahan pembobotan dalam Morgan Stanley Capital Index (MSCI).
Sebagaimana namanya, MSCI merupakan indeks hasil perhitungan Morgan Stanley, sebuah investment-bank Amerika Serikat yang sering dipakai sebagai acuan alias benchmark investasi lembaga keuangan dunia. Untuk wilayah Asia, indeks ini terutama dijadikan patokan investasi beberapa dana pensiun Jepang. Jika MSCI mengubah pembobotannya ke sebuah bursa, ke sanalah dana pensiun itu membenamkan uangnya.
Dalam perhitungan MSCI yang diubah akhir Mei nanti, bobot bursa Jakarta lagi-lagi akan melorot. Sebaliknya, bobot Kuala Lumpur melonjak tiga kali lipat dari sekitar 3 persen menjadi 10 persen. Perubahan ini selaras dengan situasi perekonomian Malaysia, yang begitu prima. Pertumbuhan ekonomi, misalnya, melesat 5,4 persen, jauh di atas ekspektasi pasar, bahkan jauh melampaui target pemerintahan Mahathir.
Catatan prestasi ini diiikuti hasil jajak pendapat Reuters terhadap sejumlah investment-bank dan perusahaan sekuritas di Asia. Kesimpulannya, bursa saham Kuala Lumpur dan Taipei merupakan dua top pick-up, sasaran utama investasi. Sebaliknya, Indonesia merupakan negara yang paling dihindari sebagai tempat bertanam uang.
Kejatuhan bursa saham Jakarta dipercepat dengan perkembangan dalam negeri yang tak menguntungkan. Investor mengkhawatirkan langkanya sumber dana pemerintah untuk menutup defisit anggaran, terutama setelah Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) menunda penjualan saham BCA. Maka, tanpa bisa dibendung lagi, rontoklah bursa Jakarta.
Cuma, soalnya, mengapa kejatuhan ini terus berlanjut?
Ada banyak versi. Menurut seorang ekonom, kejatuhan ini didesain satu gerakan terencana untuk menggoyang Jakarta, bukan cuma di pasar saham, tapi juga di pasar uang dengan menekan nilai rupiah. Ekonom ini menunjuk gerak-gerik satu bank asing dari daratan Asia yang belakangan ini terlihat aktif "bermain". Menurut para pemain pasar uang, aktifnya bank ini memberi petunjuk masuknya satu kekuatan keuangan tertentu yang akan menggoyang rupiah.
Kekacauan ini, kata ekonom tadi, tak terlepas dari sejumlah isu gawatnya intrik-intrik politik Indonesia yang kini bermunculan di pasar Singapura. Tiba-tiba saja, misalnya, Menteri Kwik Kian Gie dikabarkan mundur. Tiba-tiba juga muncul desas-desus, sejumlah spekulan siap mengguncang harga saham tujuh perusahaan besar sampai 22 Maret ini. "Ini semua sengaja didesain untuk menjatuhkan Jakarta," katanya.
Apa betul? Kepala Riset Nomura Indonesia, Goei Siauw Hong, tak percaya konspirasi semacam itu. Bagi dia, jawaban itu cuma petunjuk ketidakmampuan menjelaskan apa yang terjadi. Menurut Goei, selain karena faktor Kuala Lumpur, larinya investor dari Jakarta didorong iming-iming saham internet. Antrean panjang pada penjualan saham Tom.com di Hong Kong merupakan bukti bahwa demam saham internet sedang meraja di mana-mana. Dan celakanya, tak ada satu saham internet pun di Jakarta yang cukup besar untuk mendongkrak indeks.
Pertanyaannya sekarang, apakah Jakarta terus ditinggalkan? Direktur Danareksa Sekuritas, Yoseph Ginting, yakin bursa Jakarta akan terus tertekan sampai indeks mencapai 520. Tapi, katanya, ini semua cuma karena sentimen pasar bahwa semua orang lagi kepingin tanam duit di tempat lain, bukan di Indonesia.
Dwi Setyo, Agus Hidayat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo