Kabar ini mestinya tak punya daya kejut lagi: pemerintah memperketat pengawasan lalu lintas devisa. Semua transfer uang, dari dan ke luar negeri, akan dicatat dan dimonitor. Gampangnya, orang tak bisa sembarangan mengirim duit ke luar negeri, baik lewat transfer bank maupun ditenteng dalam koper, tanpa ketahuan lagi seperti dulu. Setiap pengiriman di atas US$ 10 ribu, kini harus dilaporkan: dari siapa, untuk siapa, bahkan untuk apa.
Pengetatan yang mulai digelar 1 Maret itu sebenarnya bukan hal baru. Dua tahun lalu, ketika Indonesia berada di puncak krisis ekonomi, rencana yang sama telah digagas pemerintah bersama Dana Moneter Internasional (IMF). Lalu apa istimewanya jika pengawasan lalu lintas devisa diberlakukan saat ini?
Justru di situlah pertanyaannya: mengapa baru dilakukan sekarang? Mengapa tidak dari dulu, ketika belum banyak duit, baik hasil korupsi maupun bukan, yang kabur ke luar negeri?
Lebih baik terlambat ketimbang tidak sama sekali, kata orang bijak. Tapi, dalam hal monitoring devisa, keterlambatan mahal harganya. Saat ini sudah telanjur begitu banyak dana orang Indonesia yang diparkir di luar negeri. Ada yang bilang, ada sekitar US$ 23 miliar dana WNI yang menginap di Singapura, Hong Kong, bahkan Swiss, sejak kerusuhan rasial Mei dua tahun lalu.
Memang betul, monitoring devisa tak melarang pelarian modal. Tapi, jika pencatatan dilakukan sejak dulu, banyak ekonom yakin, para pengekspor uang akan berpikir dua-tiga kali untuk melarikan duitnya—apalagi kalau itu uang hasil korupsi. Ibaratnya, monitoring devisa saat ini cuma mengawasi kandang yang sudah ditinggalkan kudanya.
Meskipun begitu, pengawasan lalu lintas devisa bukan tak ada gunanya. Seperti teropong dalam pertempuran, monitoring devisa berfungsi untuk mengetahui medan peperangan pasar uang: berapa rupiah yang berkeliaran di luar negeri, berapa dolar yang gentayangan di pasar lokal, dan seberapa lama mereka akan tetap nongkrong dalam posisi parkir.
Data-data ini dibutuhkan bank sentral sebagai alarm dini: mengabarkan apa yang akan terjadi. Berdasarkan info dari teropong monitoring ini, bank sentral diharapkan bisa membuat keputusan yang tepat sasaran. Dalam bahasa Deputi Gubernur Bank Indonesia, Miranda Goeltom, "Agar bank sentral bisa memberi obat tepat di sumber rasa sakit, bukan lagi meraba-raba seperti dulu."
Dengan data monitoring ini, bank sentral bisa mendeteksi ada-tidaknya tren kenaikan permintaan dolar, misalnya. Atau, dengan informasi yang akurat tentang posisi rupiah di luar negeri, BI bisa membuat keputusan: apakah perlu menyedotnya dengan mengerek suku bunga, atau bahkan memaksanya pulang dengan kebijakan kontrol kapital.
Harus diakui, batas antara pengawasan dan pengendalian memang begitu tipis. Karena itu, wajar jika banyak yang mengartikan beleid ini sebagai langkah awal kontrol kapital. Seorang pejabat keuangan bahkan pernah mengakui, monitoring itu cuma alat pencari data, untuk membuat keputusan berikutnya. "Buat apa sekadar mencatat, emangnya pemerintah mau jadi kantor akuntan?" katanya.
Pertanyaannya sekarang: benarkah adanya petunjuk monitoring ini merupakan embrio kontrol kapital? Berkali-kali para pejabat BI membantah spekulasi murahan semacam itu. "Itu kontraproduktif," kata Miranda. Dilihat dari sudut mana pun, tampaknya memang kecil kemungkinan beleid ini akan ditingkatkan status kesiagaannya menjadi sebuah kontrol kapital seperti dilakukan Malaysia.
Mengapa? Ada beberapa alasan. Kontrol devisa biasanya dipakai untuk dua tujuan sekaligus, mencegah pelarian modal dan mengisolasi perekonomian dalam negeri dari gejolak di luar negeri. Isolasi diperlukan agar pemerintah bisa menurunkan suku bunga (untuk menggerakkan perekonomian) tanpa harus mengancam nilai tukar. Kedua tujuan itu biasanya harus dibayar dengan risiko yang tak kalah mahal, kaburnya investasi asing dari perekonomian domestik. Itu artinya, Indonesia harus survive dengan duit sendiri—tanpa campur tangan asing. Mampukah kita?
Untuk saat ini sih, jujur saja, belum. Perekonomian memang sudah mulai bergulir, tingkat konsumsi masyarakat juga mulai beranjak. Momentum ini memang bisa dipakai untuk pelan-pelan menaikkan kapasitas produksi yang selama ini mubazir. Tapi, menurut ekonom Raden Pardede dari Danareksa Research Institute, tingkat permintaan domestik ini saja tak akan bertahan lama dalam menggerakkan perekonomian. "Mesti ada investasi baru," katanya.
Nah, di sinilah perekonomian Indonesia akan sangat bergantung pada investasi asing. Sampai saat ini, bahkan hingga setahun ke depan, bank-bank lokal belum mungkin menyalurkan kredit. Program rekapitalisasi bank yang tersendat-sendat, terbatasnya dana pemerintah menginjeksi permodalan bank, akan menjadi kata kunci ada-tidaknya kredit bank.
Selain itu, sektor riil kita masih terbelit kredit macet. Dan celakanya, sampai setahun ke depan, agaknya belum ada perkembangan restrukturisasi utang yang berarti. Kalau membayar kewajiban saja tidak mampu, bagaimana mungkin mereka bisa mendanai diri sendiri?
Jadi, diotak-atik bagaimanapun, risiko kehilangan dana (akibat kabur atau tidak datangnya investasi asing) akan lebih besar ketimbang manfaat yang diperoleh dari pemagaran capital flight. Singkat kata, setidaknya untuk situasi saat ini, kontrol kapital akan lebih banyak mendatangkan mudarat ketimbang manfaat.
Itu jika dilihat dari sisi pengendalian capital flight. Bagaimana monitoring devisa ditinjau dalam kapasitasnya sebagai pemutus hubungan antara nilai tukar mata uang dan suku bunga? Ceritanya tak jauh berbeda.
Jika suku bunga diturunkan, nilai tukar biasanya akan segera melemah. Situasi seperti ini memang bagaikan buah simalakama bagi perekonomian yang lagi kena sembelit resesi. Untuk menggerakkan perekonomian, suku bunga harus ditekan serendah-rendahnya, tanpa harus membuat nilai tukar jatuh tersungkur. Nah, korsleting semacam ini bisa diputuskan melalui kontrol kapital. Malaysia, misalnya, berhasil menurunkan suku bunga dari 11 jadi 6 persen tanpa harus ketakutan terhadap nilai tukar ringgit—begitu "isolator" kontrol kapital dipasang.
Apakah Indonesia membutuhkan instrumen isolator semacam itu? Harus diakui, suku bunga pinjaman di Indonesia, yang masih bertengger di atas 20 persen, terlalu tinggi untuk menggejot perekonomian. Tapi, harus pula diingat, penurunan suku bunga pinjaman saat ini bisa saja dilakukan tanpa harus menurunkan suku bunga tabungan (yang akan mempengaruhi nilai tukar rupiah). Selisih antara suku bunga pinjaman dan tabungan masih terlampau lebar, 10 sampai 11 persen. Mestinya, untuk sebuah bisnis perbankan yang efisien, spread bunga pinjaman dan tabungan tak lebih dari 4 persen. Karena itu, suku bunga pinjaman mestinya masih bisa bergerak turun hingga 16 persen tanpa harus menekan nilai tukar.
Singkat kata, setidaknya untuk saat ini, Indonesia tak membutuhkan kontrol devisa, baik sebagai penghadang terhadap pelarian modal maupun penurun suku bunga, kecuali jika ancaman inflasi begitu besarnya. Patut diingat, dengan beban utang obligasi hampir Rp 300 triliun, pemerintah akan berjuang sekuat tenaga agar suku bunga simpanan tidak naik. Konsekuensinya, inflasi harus dijaga serendah mungkin untuk memberikan insentif kepada para penabung.
Ah, jangan-jangan, pemerintah memang sedang pasang kuda-kuda. Boleh jadi, tingkat inflasi akan sulit dikendalikan, sehingga pemerintah butuh instrumen yang bisa mengerem nafsu pemain pasar uang mengganti rupiahnya dengan dolar. Untuk itulah, kontrol kapital diperlukan. Barangkali saja.
Dwi Setyo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini