CITIBANK rugi Rp 480 juta? Bank terbesar dari Amerika yang 1985 lalu meraih laba sebelum pajak hampir Rp 12 milyar itu? Masyarakat keuangan di Jakarta, tentu saja, tak yakin membaca neraca Citibank 1986 yang disebarluaskan di pelbagai media cetak ibu kota itu. Anggota Perbanas (Perhimpunan Bank-bank Nasional Swasta), yang membaca buletin Perbanas edisi Maret, juga seperti tak percaya lembaga keuangan tadi disebut rugi sebesar itu. Maklum, dalam perhitungan tahun berjalan sampai Juni lalu, Citibank cabang Jakarta disebut sudah meraih laba sebelum pajak hampir Rp 5,8 milyar. Yang tak kurang mengagetkan, Bangkok Bank cabang Jakarta, tahun buku 1986 lalu, juga disebut rugi lebih dari Rp 4,8 milyar. Lalu Bank of America, menurut buletin Perbanas itu, rugi sampai Rp 32 milyar. Apa yang terjadi dengan bank-bank asing? Apakah banyak nasabah yang tak mampu mengembalikan kredit, atau mereka kalah dalam bermain di pasar uang melawan Bank of Japan dalam memborong yen? Seorang pejabat Citibank, ketika ditelepon TEMPO, membantah lembaga keuangan yang di pimpinnya -- seperti diberitakan pelbagai media mengutip buletin Perbanas -- rugi sebesar itu. Untuk memperkuat sanggahannya, tiga hari kemudian pejabat itu menyerahkan salinan perincian laba/rugi tahun buku 1986. Di situ tampak jelas lembaga keuangan ini, ternyata, masih bisa meraih laba sebelum pajak hampir Rp 23 milyar. "Untung, 'kan," katanya kepada wartawan TEMPO Syatrya Utama. Tapi kerugian sebesar Rp 480 juta itu pun, sebenarnya, tidak keliru. Hanya saja Anda perlu hati-hati. Angka kerugian sebesar itu, ternyata, hanya untuk bulan Desember 1986. Tak jelas mengapa Citibank lebih suka mengumumkan neraca bulan itu. Baru setelah muncul pemberitaan bank terbesar dari Amerika itu rugi, Citibank lalu mengumumkan perhitungan laba/rugi seluruh 1986 tapi neraca yang diumumkan tetap untuk Desember saja. Tapi yang rugi benar-benar adalah Bank of America (BOA). Hanya angkanya, lagi-lagi, tidak sebesar yang disebut dalam perhitungan laba/rugi yang Rp 32 milyar. "Persisnya kami hanya mengalami kerugian sebesar Rp 30 milyar," kata Vikram Talwar, Vice President and County Manager BOA di Indonesia. Perbedaan terjadi karena, ketika iklan itu muncul, proses auditing sedang berjalan. "Masih diperlukan beberapa penyesuaian," katanya kepada wartawan TEMPO Ahmed K. Soeriawidjaja. Tapi dari perhitungan laba/rugi BOA sedikit banyak terungkap, bank yang berkantor pusat di San Francisco itu banyak mempunyai kredit macet yang mesti dihapuskan. Fakta itu diakui Vikram, yang menyebut ada sejumlah nasabahnya yang tak mampu mengembalikan pinjamannya. Dari kerugian sebesar Rp 30 milyar itu, "Sekitar Rp 23 milyar disebabkan karena kredit macet," katanya terus terang. Tahun 1985 sebelumnya, menurut laporan neracanya, BOA rugi hampir Rp 3,5 milyar. Kerugian makin mendaki karena nasabahnya -- sektor industri tekstil, perdagangan, dan produk-produk kayu -- belum seluruhnya pulih. Untuk tahun ini, Vikram berkeinginan lembaga keuangan yang dipimpinnya bisa meraih laba. "Setidaknya bisa mencapai titik impas," katanya. Tapi berbicara soal untung, direksi sebuah bank bisa saja mengatur kapan lembaga keuangan yang dipimpinnya boleh berlaba besar, dan kapan perlu rendah hati. Kalau kebetulan bank bersangkutan sedang berusaha memupuk dana pensiun, dan tak malu disebut punya piutang macet gede, bisa dipastikan labanya bakal kecil. "Soal laba itu bisa diatur, asal uang yang dicadangkan untuk penghapusan itu tidak melampaui plafon seperti ditentukan pihak pajak," kata seorang bankir nasional.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini