Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
dovision kehilangan program tayangan yang biasa mereka saksikan di layar televisi. Beberapa di antaranya: program Star Movies, International, Phoenix, Star World, Asia, Film Indonesia, Star Sports, dan Fox News. Banyak pelanggan yang bingung dibuatnya.
Untung saja ada surat pemberitahuan dan permintaan maaf yang dikirim ke pelanggan, diumumkan di media massa, dan dipasang di homepage Indovision. Dalam surat itu disebutkan bahwa raibnya tayangan tersebut akibat Star TV (Satellite Television Asian Region) menarik diri dari perjanjian kerja sama dengan PT Matahari Lintas Cakrawala (MLC), pemilik Indovision.
Tentu saja ini mengecewakan pelanggan. Meski kemudian Indovision memberi kompensasi, bebas biaya berlangganan hingga 20 Januari 1999. `'Sekarang pas masa libur anak-anak sekolah. Ini kan waktu kita justru membutuhkan hiburan. Sekarang semuanya malah menghilang,'' gerutu seorang pelanggan yang setiap bulan membayar Rp 199 ribu. Ia memang bukan hanya kehilangan 19 saluran, tapi semua siaran Indovision, karena parabolanya belum diganti. Padahal isi program Indovision beragam, mulai dari tayangan film-film bioskop, film kartun anak-anak, pendidikan, musik, radio, hingga program berita CNN, CNBC, dan BBC.
Mantan bankir Bank Duta, Dicky Iskandar di Nata, yang baru dua bulan ini bergabung menjadi Presiden Direktur MLC, memaklumi bila pelanggan kesal karena salurannya tiba-tiba putus. ''Kami juga tidak diberi tahu kalau akan diputus," kata Dicky.
Sebenarnya, kata Dicky, pada Maret 1977 Indovision dan Star TV telah melakukan kerja sama operasi (KSO). Atas dasar KSO itu, Star TV menyalurkan 19 saluran siaran ke Indovision yang berisi program Star TV dan program lainnya. Saluran inilah yang tiba-tiba raib. Berdasarkan KSO itu pula, mereka sepakat menggunakan satelit Cakrawarta I, milik PT Datakom Asia (induk usaha MLC). Tapi, karena saat itu satelit masih dipesan, Star TV lalu mengusulkan agar selama periode transisi itu, mereka menggunakan satelit Palapa dulu.
Akhirnya, Cakrawarta I berhasil mengorbit ke angkasa 12 November tahun lalu. Ini adalah satelit orbit rendah yang kuat sinyalnya. Saking kuatnya, pelanggan cukup menggunakan antena parabola berdiameter 80 sentimeter. Tapi Star TV tetap masih memakai Palapa, sementara pelanggan ada yang sudah coba-coba memakai Cakrawarta I.
''Tiba-tiba September lalu Star TV bilang tidak mau memakai Cakrawarta dan tetap memilih Palapa. Padahal penggunaan Cakrawarta sudah dalam perjanjian," kata Dicky. Alasan mereka, terlalu riskan, karena satelit itu tidak mempunyai back-up (cadangan). Jadi kalau terkena meteor, misalnya, bisa tidak ada siaran sama sekali. Mereka juga meragukan kemampuan Indovision secara teknis.
Menurut analisis Dicky, bukan masalah teknis yang membuat Star TV menolak memakai Cakrawarta, tapi pertimbangan ekonomi. Soalnya untuk berpindah ke Cakrawarta, pihak Star TV harus ikut menanggung 45 persen dari biaya pengeluaran. Ini memang sesuai KSO yang juga menyebutkan adanya pembagian keuntungan maupun kerugian: 45 persen bagi Star TV dan 55 persen bagi MLC. Sedangkan pengeluaran untuk pindah satelit rata-rata US$ 1 juta untuk satu saluran per tahun.
Pada saat krisis begini, stasiun milik raja media Rupert Murdoch itu rupanya menghitung, bisnis Indovision tidak akan bisa berkembang di tengah daya beli masyarakat yang sedang menukik. Pelanggan yang dulu diyakini bisa sampai 1 juta, nyatanya hanya tergaet 27 ribu saja. Sementara itu, Indovision sudah mengeluarkan US$ 25 juta untuk jaringan dan US$ 260 juta untuk satelit.
Todung Mulya Lubis, pengacara yang ditunjuk Star TV untuk kasus ini, sayangnya menolak berkomentar ketika dimintai konfirmasi. Sebenarnya ia sudah menghubungi langsung pihak Star TV tapi, kata Todung kepada Hendriko L. Wiremmer dari TEMPO, kliennya ternyata tak mau berkomentar tentang perselisihannya dengan Indovision.
Hengkangnya Star TV, bagaimanapun juga, meninggalkan pekerjaan besar. Selain harus mengisi saluran sendirian, Indovision juga harus merampungkan penggantian parabola pelanggannya. Bukan pekerjaan yang gampang untuk dilakukan pada masa sulit begini. Namun Dicky yakin Indovision tetap akan berjalan terus. `'Kalau bisnis ini baru dimulai sekarang berat. Tapi kami kan sudah punya investasi, tinggal modal kerja saja,'' katanya.
Wicaksono, Ahmad Fuadi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo