Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Mustahilnya Mencabut Dwifungsi

Usul mencabut dwifungsi ABRI tampaknya tak mungkin diterima tentara. Tapi soal implementasinya dalam politik praktis dan birokrasi tampaknya mudah dinegosiasi.

21 Desember 1998 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

APA beda ABRI sebelum dan setelah reformasi? Bagi masyarakat awam bedanya mungkin institusi militer RI yang sebelumnya terkesan angker itu kini terasa lebih toleran terhadap berbagai kritik dan hujatan. Namun di kalangan perwira ABRI perbedaannya terletak pada doktrin yang diterapkan. "Dulu doktrin kami itu PUNP, sekarang hanya PUN," kata seorang perwira tinggi ABRI yang tak mau disebut namanya.

PUNP? PUN? Itu singkatan dari Pancasila, UUD 45, Negara Kesatuan, dan Pemerintah. "Jadi sekarang kami bukan lagi alat pemerintah melainkan alat negara," tambah perwira tadi sambil menjelaskan pelepasan P terakhir dari doktrin tadi tidak berupa perintah tertulis pemimpin ABRI melainkan, "Kebijakan yang kami sepakati bersama," tuturnya.

Kebijakan ini secara teoretis seharusnya sudah berlaku sejak 1988, yaitu ketika bunyi Sumpah Prajurit secara resmi diubah dari sumpah setia kepada "pemerintah" menjadi kepada "negara". Namun batas antara keduanya rupanya baru dianggap jelas setelah Soeharto lengser dari kursi kepresidenan/Panglima Tertinggi ABRI, dan Habibie, yang sipil itu, menggantikannya.

Lantas apa pula arti perubahan doktrin ini terhadap konsep dwifungsi ABRI, yang belakangan ini banyak diprotes mahasiswa itu? "Kami akan mengambil jarak yang sama terhadap semua partai politik yang ada selama ideologinya Pancasila, menaati UUD 45, dan mendukung negara kesatuan," kata perwira yang menjadi sumber Tempo tadi. Sedangkan tentang peran nonmiliter ABRI, "Pengurangan implementasinya boleh kita diskusikan, tapi kalau dihapus sama sekali tidak mungkin. Kami kan tidak mau sekadar jadi tentara bayaran," katanya lagi.

Keterangan sumber Tempo ini diperkuat oleh Kepala Staf Teritorial ABRI, Letjen Susilo Bambang Yudhoyono. "Menghapus dwifungsi ABRI itu ekuivalen dengan menghapus peran ABRI secara utuh, termasuk peran dalam mempertahankan dan mengamankan negara dan bangsa ini," katanya. Tapi kalau yang dimaksudkan adalah mengurangi peran sosial politik ABRI, agar tidak bermain politik praktis, agar memiliki jarak yang adil dan pantas dengan kekuatan politik yang ada dan mengurangi kekaryaan ABRI, "Itu mari kita bicarakan bersama," tuturnya.

Kalaupun ajakan mendiskusikan peran nonmiliter ABRI ini akhirnya menimbulkan perdebatan sengit, ini sebenarnya cuma mengulang-ulang cerita lama. Masalahnya, perkara ini sudah menjadi persoalan sebelum ABRI dilahirkan secara resmi.

Perdebatan pertama berlangsung antara para pendiri ABRI didikan Belanda? seperti A.H. Nasution serta T.B. Simatupang?dan para pemimpin berbagai laskar yang kebanyakan didikan militer Jepang. Alumni Akademi Militer Belanda umumnya berpendirian bahwa tentara sepatutnya tidak ikut persoalan politik, seperti militer di negara Barat, sedangkan para alumni PETA umumnya memimpin laskar yang mempunyai afiliasi politik.

Pada awalnya Nasution dan Simatupang berhasil menduduki kursi pemimpin TNI sebagai panglima dan kepala staf setelah Jenderal Sudirman meninggal. Itu sebabnya TNI tidak keberatan dengan konsep supremasi sipil yang diberlakukan dalam pelaksanaan UUDS 1950. Nasution, yang baru berusia 31 tahun, bersama dengan para perwira "teknokrat" lainnya berupaya membangun militer yang kecil namun profesional dan melakukan rasionalisasi. Ini menyebabkan banyak perwira PETA merasa tersisih dan keluhan mereka lantas ditampung oleh berbagai partai politik dan menjadi ajang perdebatan di parlemen.

Hal ini membuat para pemimpin TNI jengkel karena menganggap politisi, yang di mata mereka kebanyakan kerjanya kurang becus itu, turut campur dalam persoalan intern militer. Maka meletuslah peristiwa 17 Oktober 1952, ketika tentara mengarahkan moncong meriam ke Istana sementara para pemimpin tentara menghadap Presiden Soekarno meminta agar parlemen dibubarkan.

Soekarno menolak permintaan tersebut dan malah memainkan kartu perpecahan militer untuk memecat Nasution dari jabatannya. Namun upaya pecah belah ini akhirnya disadari para pemimpin militer, yang merasa tidak diperhatikan nasibnya oleh para politisi sipil karena jatuh-bangunnya pemerintahan. Akibatnya, pada 1955, mereka melakukan acara rekonsiliasi dengan melakukan sumpah di hadapan makam Jenderal Sudirman. Belakangan Nasution diangkat kembali menjadi panglima.

Sayangnya semangat rekonsiliasi ini terguncang lagi akibat upaya Nasution meningkatkan efektivitas komando dengan mengganti sejumlah panglima daerah. Para panglima yang merasa akan diganti lantas mengadakan kontak dengan pemimpin partai politik di daerah yang kebetulan juga sedang jengkel terhadap kebijakan ekonomi Jakarta yang dianggap merugikan daerah. Hal ini, dan persoalan politik lain, akhirnya menjadi pemicu lahirnya berbagai pemberontakan bersenjata.

Keadaan ini yang kemudian menyebabkan negara dinyatakan berada dalam keadaan darurat perang, 1957. Maka pada saat inilah peran nonmiliter ABRI berkembang pesat, tak hanya dalam birokrasi melainkan juga pada sektor ekonomi, melalui nasionalisasi berbagai perusahaan asing. Pada saat ini pula Nasution menelurkan gagasannya tentang "Jalan Tengah", yaitu konsep peran ABRI yang berada di antara konsep apolitis ala militer Barat dan diktator militer ala negara Amerika Latin.

Konsep ini berjalan mulus sebelum Orde Baru. Masalahnya ketika itu kekuatan ABRI diimbangi oleh kekuatan politik lain yang disebut Bung Karno sebagai kekuatan Nasionalis-Agama-Komunis (Nasakom). Namun runtuhnya Bung Karno ternyata diikuti pula dengan rontoknya kelompok Nasakom, terutama komunis, dan menyebabkan dominasi ABRI di bawah Soeharto menjadi kental terasa, baik di institusi politik seperti DPR dan MPR maupun di birokrasi.

Pada awalnya, masuknya tentara ke berbagai posisi sipil dianggap wajar karena keadaan darurat. Semula, masuknya baju hijau ini sebagai "penugasan", tapi belakangan banyak juga yang masuk sebagai "penyaluran" alias memperpanjang rezeki dan jabatan menjelang masuk usia pensiun. Hal ini tentu saja menyebabkan keresahan di kalangan sipil yang instansinya menjadi tempat "penyaluran" itu. Apalagi kehadiran mereka biasanya juga disertai titipan membantu terciptanya dominasi kepentingan politik ABRI.

Namun belakangan dominasi ini membuat sebagian pemimpin ABRI sendiri merasa miris. Itu sebabnya pada akhir 1970-an Jenderal Yusuf kerap membuat pernyataan bahwa "ABRI berada di atas semua golongan".

Sayangnya Soeharto berpendapat lain. Pada 1980 ia menyatakan "ABRI harus mendukung Golkar" karena aspirasinya dianggap paling sesuai dengan Orde Baru. Suatu sikap politik yang tak berubah kendati semua partai politik menyatakan berasas Pancasila pada 1985. "Padahal, menurut saya, setelah saat itu seharusnya ABRI membuat jarak yang sama dengan semua parpol yang ada," kata seorang jenderal.

Soeharto rupanya hanya mau membuat konsepsi berarti di bidang nonpolitis seperti kekaryaan ABRI. Buktinya, pada kurun 1973-1995, persentase militer aktif ataupun purnawirawan sebagai pejabat tinggi sipil menurun drastis. Jumlah menteri dari 34 persen turun ke 24 persen, gubernur dari 70 persen ke 40 persen, sedangkan duta besar dari 44 persen ke 17 persen. Demikian pula pada kurun 1980-1995, jumlah militer aktif yang mendapat "penyaluran" ke birokrasi sipil turun dari 8.156 menjadi 6.000-an. Sedangkan di sektor politis, porsi Fraksi ABRI diturunkan dari 20 persen menjadi 15 persen pada 1995. Namun ini hanya berlaku di tingkat nasional. Sebaliknya, pada Maret 1996, Kepala Staf TNI-AD Hartono secara terang-terangan mengenakan jaket kuning pada acara kampanye Golkar di Jawa Tengah.

Kini Soeharto telah turun takhta dan para pemimpin ABRI telah menyatakan peninjauan kembali atas implementasi dwifungsi ABRI. Namun, untuk berharap dicabutnya peran nonmiliter ABRI ini agaknya bagai pungguk merindukan bulan. Pasalnya, berbagai doktrin ABRI yang berlandaskan pada Sistem Pertahanan dan Keamanan Rakyat Semesta itu sangat bertumpu pada keseimbangan peran militer dan nonmiliter dan diterapkannya sistem teritorial yang menggapai hingga tingkat desa. Bahkan implementasi sistem ini kemudian berkembang menjadi sistem yang mempunyai kemampuan mencari dana sendiri bagi kegiatannya, yang dinilai banyak pihak?termasuk internal ABRI?sebagai hal yang memperlemah kemampuan profesional militer.

Tak kurang dari Robert Lowry, pengamat ABRI asal Australia yang juga alumni Seskoad, yang memperkirakan bila hanya ancaman eksternal yang jadi patokan, dua pertiga dari 150.000 personel TNI-AD di sektor teritorial boleh ditarik dan digantikan dengan Rakyat Terlatih. Bisa dibayangkan apa yang terjadi kalau 100.000 tentara bersenjata tiba-tiba terkena rasionalisasi alias PHK karena dwifungsi dicabut tiba-tiba.

Bambang Harymurti, Darmawan Sepriyosa, dan Hani Pudjiarti

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus