Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Belajar dari Inggris

Sejumlah kota di Inggris berubah dari kota kumuh menjadi kota kreatif dunia. Bangkit bersama warga.

22 September 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Glasgow, awal 1980-an. Kejayaan kota itu menguap. Berabad lamanya, kota di pantai barat daratan Inggris Raya ini termasyhur sebagai pelabuhan penting dan gerbang utama impor tembakau serta gula dari Amerika. Pun hampir dua abad lamanya, kota terbesar kedua setelah London ini tersohor karena industri manufakturnya, dari pabrik kapas hingga bengkel pembuatan kapal berat.

Ambruknya perekonomian Glasgow dimulai sejak 1960-an. Daya saing Glasgow luruh setelah banyak kota lain menawarkan buruh murah. Sampai dua dekade kemudian, Glasgow seperti kota yang renta. Bangunan pabrik berubah menjadi besi tua. Apartemen-apartemen kosong ditinggal pemiliknya yang mencari peruntungan di kota lain. Penduduk kota yang mencapai 1,1 juta pada tahun itu hanya tersisa separuhnya.

Seorang warga kota, Debora Keogh, mengenang masa depresi itu. Kemiskinan membelit warga kota. Tingkat kriminalitas melonjak. Membuat warga sudah tak lagi nyaman tinggal di kampung halaman mereka. Perlahan, kondisi itu berubah sejak 1983. Warga berembuk membicarakan soal perbaikan. Satu kata, mereka yakin perubahan ekonomi hanya bisa dilakukan dengan mengubah citra kota.

Warga dari beragam latar belakang komunitas itu kemudian menggelar Glasgows Miles Better Campaign. ”Kampanye itu lahir dari kegelisahan warga kota akibat citra negatif Glasgow,” ujar Keogh. Kota disulap untuk menarik para pelancong. Pabrik-pabrik tua direnovasi tanpa mengubah struktur aslinya. Puncaknya, digelar Glasgow Garden Festival pertama pada 1988. Festival ini kemudian membuat citra Glasgow sebagai kota kumuh berubah 180 derajat.

Sejak itu, perekonomian kota mulai tumbuh. Kini, penggeraknya industri kreatif. Tak berhenti di sana, para pengelola kota pun memikirkan cara agar Glasgow tumbuh berkelanjutan. Salah satunya dengan mendorong industri kreatif dan menyokong komunitas kreatif yang mulai menjamur, antara lain dengan membentuk klub wirausaha kreatif.

Pada 2001, Dewan Kota juga membentuk lembaga nirlaba Cultural Enterprise Office untuk menjadi media inkubasi bisnis baru di kota itu. Lembaga yang kini dipimpin Keogh itu melayani para pebisnis dan praktisi kreatif secara gratis. ”Kami mendampingi para individu atau organisasi yang mau terjun di sektor industri kreatif,” ujarnya. Intinya, menghubungkan skill dengan pasar.

Setidaknya ada lima sektor kreatif yang ditetapkan menjadi ujung tombak perekonomian Glasgow, yakni seni pertunjukan, literatur, musik, film, video, dan seni rupa. Mereka rajin menggelar pameran tiap tahun. Bukan hal mudah, tentu saja. ”Butuh empat tahun kerja keras,” ujarnya. Tapi hasilnya luar biasa. Lebih dari 153 ribu lapangan kerja tercipta di kota itu sejak 2000. Pada 2005 saja, tercipta 17 ribu lapangan kerja baru. Darah segar kembali mengaliri kehidupan Glasgow.

Bukan cuma Glasgow. Ada lagi cerita Bristol. Kota di barat daya Inggris ini dikenal sebagai ”Kota Sains” karena masyhur dengan perguruan tinggi dan pengembangan teknik sains itu. Tapi belakangan Bristol juga berkembang menjadi pusat industri media animasi dan film. Khususnya wildscreen atau program dokumenter alam, seperti The Life of Birds (1998), The Life of Mammals (2002), dan Life in The Undergrowth (2005).

Pemerintah kota sepenuhnya mendukung industri kreatif, antara lain dengan menyokong 3,5 juta pound sterling (Rp 60 miliar) untuk membangun infrastruktur publik: teater, ruang konferensi dan pameran, serta kafe. Hasilnya dahsyat! Sektor-sektor industri kreatif ini mampu menyumbang 3,7 miliar pound sterling (hampir Rp 62,5 triliun) tahun lalu. Dan menjadikan Bristol sebagai kota kedua dengan pendapatan per kapita terbesar setelah London.

Pemerintah agaknya menjadi kata kunci bagaimana sebuah kota di Inggris sukses menjadi kota kreatif. Pakar industri kreatif asal Inggris, Charles Landry, mengatakan itu jalan baru yang dipilih pemerintah Inggris. Nilai tambah hasil eksploitasi kekayaan intelektual, keahlian, dan bakat individu ternyata punya nilai jual bagus ketika ekonomi berbasis industri manufaktur tak lagi bisa diandalkan.

Bisa jadi itulah yang membuat kota-kota industri, seperti Birmingham, Brighton, atau Newcastle, perlahan beralih ke industri kreatif. Duta Besar Inggris untuk Indonesia, Martin Hatfull, mengatakan industri kreatif kini menjadi pilar ekonomi negara itu. Setidaknya kontribusinya pada 2007 mencapai 60 miliar pound sterling—setara dengan jasa perbankan sebagai sektor ekonomi terbesar di sana.

Wajar, jika prestasi ini akhirnya memancing sejumlah kota dan negara di dunia ikut membaca peluang ini. Singapura, misalnya, sejak 2005 mencanangkan diri menjadi pusat ekonomi kreatif di Asia. Perdana Menteri Lee Hsien Long meluncurkan tiga gerakan industri kreatif nasional: Design Singapore, Media 21, dan Renaissance City 2.0. Mereka berharap ketiganya dapat membuat ekonomi tumbuh dua kali lipat dalam tujuh tahun.

Widiarsi Agustina, Ahmad Fikri

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus