JELI nian Indosat melirik peluang investasi. Rabu pekan lalu, perusahaan telekomunikasi milik pemerintah ini membuat terobosan dengan meluncurkan produk anyar syariah, yaitu obligasi. Karena namanya syariah, obligasi ini berbeda dengan surat utang biasa dengan adanya label halal—predikat yang amat penting bagi umat Islam. Jenis investasi ini bakal meramaikan produk keuangan yang sudah lebih dulu beredar dengan embel-embel syariah seperti asuransi, reksadana, tabungan, dan deposito.
Seperti produk syariah lainnya, aturan dalam surat utang ini bersumber pada hukum Islam, antara lain bebas dari unsur riba dan keuntungan tidak dihitung berdasarkan bunga. Sebagai gantinya, para investor akan berbagi untung dengan emiten berdasarkan laba atau pendapatan perusahaan—dikenal dengan mudarabah. Jumlahnya sesuai dengan kesepakatan awal antara kedua pihak. Supaya tetap terjamin halal, pendapatan atas usaha yang dibiayai dari dana syariah juga harus disimpan di bank syariah. Tentu saja, selain itu, ada sederet aturan dasar perbisnisan yang mesti dianut, seperti fundamen usaha dan keuangan si emiten haruslah kuat serta risiko usahanya rendah.
Investasi model begini adalah barang baru dan belum ada catatan suksesnya di Indonesia. Untuk itu, Indosat tak cukup bernyali untuk mematok target dalam jumlah besar. Jumlahnya cuma sepuluh persen dari seluruh obligasi yang bakal diluncurkan—atau sekitar Rp 100 miliar dari total obligasi, yang mencapai Rp 1 triliun. Sisanya, menurut Direktur Keuangan Indosat, Junino Jahja, dilempar ke pasar dalam bentuk obligasi biasa.
Obligasi ini berjangka waktu lima tahun dengan nisbah atau persentase keuntungan yang telah ditetapkan sejak awal, yaitu 15,5 persen hingga 16 persen. Sumbernya berasal dari pendapatan Indosat di bidang satelit dan internet yang dibayar tiap tiga bulan. Dua bidang usaha ini memang tak sebasah bisnis seluler. Tapi konsultan PT Andalan Artha Advisindo (AAA) Sekuritas—selaku penjamin pelaksana emisi—Iggi H. Achesin meyakinkan bahwa pergerakan bisnis dua usaha Indosat itu lumayan stabil dan tetap menjanjikan keuntungan bagi investor.
Anda masih belum yakin berinvestasi di sini? Mari kita tengok pengalaman negara tetangga, Malaysia. Di sana, ini termasuk jenis investasi yang diburu. Jumlahnya juga tak main-main. Hampir separuh pasar obligasi Malaysia adalah syariah. Prestasinya juga lumayan bikin ngiler. Malaysia Global Suukok (MGS), salah satu jenis obligasi syariah Malaysia, tidak cuma laku di dalam negeri. Enam puluh persen dari total obligasi yang mereka keluarkan laris di luar negeri, dari negara-negara petrodolar di Timur Tengah, Eropa, hingga Benua Amerika.
Agaknya ini juga yang mengilhami Indosat untuk berinvestasi di sana. Seperti diakui Ninok—nama panggilan Junino Jahja—sejak tragedi 11 September tahun lalu, sebagian besar aliran dana dari Timur Tengah kebingungan mencari muara baru untuk berinvestasi. Ini peluang yang harus ditangkap.
Pernyataan Ninok itu tampaknya untuk menanggapi rumor yang beredar di pasar. Menurut Mirza Adityaswara, analis dari Bahana Sekuritas, seluruh obligasi syariah yang diluncurkan oleh Indosat adalah pesanan dari sebuah lembaga keuangan di Timur Tengah. "Sebab, jika hanya mengandalkan pasar dalam negeri, belum tentu ada yang beli," ucapnya. Pendapat Mirza bukan tanpa alasan. Perkembangan perbankan syariah, yang sudah berdiri 10 tahun lalu, hingga kini tak terlalu menggembirakan.
Sementara Mirza bersikap pesimistis, Leksono Widodo, analis dari ING Barings, berpendapat lain. Katanya, obligasi syariah di Indonesia adalah ceruk pasar yang belum tergarap. Tes pasar yang dilakukan Indosat akan menunjukkan bagaimana sebenarnya prospek obligasi jenis ini di Indonesia. Tapi ya harus ada faktor penariknya. Leksono menyarankan supaya Indosat lebih transparan menjelaskan ke mana modal tersebut akan ditanamkan. Juga menyodorkan konsep bagi hasil yang menarik, seperti besarnya nisbah yang lebih bervariasi. "Misalnya, semakin besar pendapatan perusahaan, seharusnya persentase keuntungannya juga lebih besar," ucapnya. Kalau tidak begitu, bagaimana mau mengandalkan pasar dalam negeri yang saat ini sedang lesu?
Dewi Rina Cahyani
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini