MENGELOLA pelabuhan udara sipil boleh dibilang seperti menunggui
sangkar angsa bertelur emas. "Tinggal memungut untung." Begitu
kesan yang diungkapkan para pengelola pelabuhan udara (pelud)
sipil Perhimpunan Pelud Sipil Internasional (ICAA) kawasan Asia
di Denpasar 28-30 Juni lalu.
Nah, yang harus dilakukan pengelola pelud itu ialah bagaimana
membuat "sangkar dan memelihara agar angsa itu tetap rajin
bertelur." "Banyak cara mencari uang dari pelud, karena bandar
udara kini bukan sekedar berfungsi melayani pesawat yang
mendarat dan mau terbang. Tapi sudah menjadi pusat bisnis
besar," kata Martin C. van Gent, 56 tahun, konsultan manajemen
Pelud Schiphol, Negeri Belanda, yang juga konsultan Perum
Angkasa Pura (PAP) sejak 6 bulan lalu.
Setiap sudut pelud -- asal dikelola dan direncanakan secara
matang -- bisa menghasilkan duit. Kecuali memungut pembayaran
dari lalu-lintas pesawat terbang, perusahaan pengelola juga bisa
memetik penghasilan dari sewa tempat pelayanan umum, parkir
mobil, bursa valuta asing, gudang, restoran dan lainlain.
"Panen telur emas" itu juga dinikmati PAP yang sejak 1974
diserahi mengelola tiga pelud komersial: Halim Perdanakusuma dan
Kemayoran (Jakarta), serta Ngurah Rai (Denpasar). Tahun lalu,
misalnya, penghasilan PAP Rp 19 milyar -- sebagian besar,
sekitar 81% (Rp 15,5 milyar) masih bersumber dari pos
aeronautica yang berhubungan dengan pelayanan penerbangan.
Sedang pemasukan dari pelayanan bukan penerbangan misalnya sewa
gudang, parkir kendaraan, pas pelud, dan lain-lain baru Rp 3,5
milyar (19%).
Menurut perhitungan, PAP seharusnya mendapat uang lebih besar
dari jumlah penumpang 6,9 juta dan 167 ribu pesawat mengangkut
penumpang di tiga pelud itu selama 1981. "Sebagai Perum, kami
masih mempertimbangkan segi pelayanan umum," kata Hari
Soebagyo, Dirut Perum PAP. PAP, misalnya belum bisa memaksakan
karcis untuk pengantar dan penjemput atau mengutip airport tax
yang tinggi. Untuk penerbangan Internasional, Indonesia hanya
memungut airport tax Rp 3.000, masih jatuh separuh dibanding
Singapura atau Hongkong.
Pelud komersial di Bali belum bisa dinikmati seluruhnya oleh
PAP. Sebagian besar pengelola pelud anggota ICAA telah memungut
persentase setiap liter bahan bakar yang diminum pesawat terbang
di lapangan terbang itu. "PAP belum bisa menerapkan itu," kata
Soebagyo. Bahkan di negara lain, anggota ICAA juga mendapat uang
banyak dari sewa bagian gedungnya yang dipakai perusahaan
penerbangan yang beroperasi di sana. "Apakah Pertamina atau
Garuda mau kami kenakan persentase pungutan semacam itu?" kata
Soebagyo.
Namun, untuk ukuran perum di Indonesia, PAP boleh menepuk dada.
"Kami tidak perlu menunggu pencairan Daftar Isian Proyek (DIP)
dari pemerintah untuk mengemudikan perusahaan," kata Soebagyo.
Biaya rutin untuk gai 2.500 pegawai sebesar Rp 4,5 milyar dan
biaya operasi Rp 2,1 milyar bisa ditutup dengan penghasilannya.
"Bahkan kami masih mendapat untung," tambahnya. Dalam dua tahun
terakhir, PAP bisa menikmati untung Rp 5 milyar setahun. "Dari
keuntungan itu, tujuh puluh lima persen disetor kembali ke
pemerintah dan sisanya kami depositokan di bank, " kata
Soebagyo.
Karena keuntungan yang dikumpulkan, PAP juga berhasil
mengembangkan ketiga pelud itu menjadi lebih semarak. Contohnya,
minggu lalu telah diselesaikan pembangunan kembali dan
pengembangan Pelud Ngurah Rai yang menampilkan Corak Bali dengan
biaya Rp 2,1 milyar. Pemerintah cuma memberikan penyertaan modal
35% saja. "PAP sudah untung, tidak perlu subsidi lagi," kata
Menteri Perhubungan Roesmin Noerjadin kepada TEMPO seusai
peresmian proyek itu.
Namun tidak semua pelabuhan komersial bisa mengeruk untung.
"Karena lalu lintas udara di negara berkembang seperti Asia,
pada umumnya tidak ramai," kata T.R. Kesharwani, Kepala Otorita
Pelud Komersial India (IAAI) dalam konperensi di Bali itu. Untuk
Asia yang boleh dibilang seperti "sangkar angsa bertelur emas"
-- dan telurnya banyak tentu saja -- baru Narita (Tepang),
Hongkong dan Singapura. Ketlga bandar udara internasional itu
masing-masing kedatangan dan memberangkatkan 5 juta penumpang
setahun. Sedang pelabuhan udara Asia lainnya, seperti Jakarta,
Bangkok, Kuala Lumpur, New Delhi masih ketinggalan dibanding
jumlah itu.
Penghasilan dari jasa bukan navigasi -- menurut Kesharvani --
juga tergolong rendah di pelud komersial Asia. "Pada umumnya,
kecuali frekuensi penerbangan yang sedikit, penghasilan penduduk
Asia masih rendah. Dengan begitu mereka belum mampu membayar
tinggi untuk jasa bukan pelayanan penerbangan yang disediakan
pengusaha pelud," tambahnya.
BERDASARKAN kenyataan itu, IAAI yang mengurus empat pelud
komersial India sejak 1972 itu mengembangkan sumber pemasukan
-- terutama -- dari jasa navigasi. Pendapatannya Rp 4,2 milyar
pada 1972 menggelembung menjadi Rp 42 milyar tahun 1981.
Kenaikan ini didapat stelah IAAI menertibkan pengutipan bea
mendarat, parkir pesawat, dan landasan. Sedang dari bidang bukan
jasa pelayanan penerbangan, pendapatannya sebesar Rp 6,3 milyar
tahun lalu.
Keadaan bisnis pelud komersial memang agak berbeda dengan yang
terjadi di negara maju seperti Eropa atau AS. "Di Eropa,
misalnya, orang mau memanfaatkan waktu seefisien mungkin. Maka,
untuk melayani mereka, disediakan toko berbagai kebutuhan," kata
van Gent, bekas detektif yang beralih profesi menjadi konsukan
manajemen Pelud Schiphol itu. Salah satu gagasannya ketika masuk
Pelud Schiphol 20 tahun lalu, ialah membuat toko bebas cukai
(duty free shop). "Kini toko semacam itu ditiru di hampir semua
airport internasional," katanya.
Penghasilan dari sektor bukan pelayanan penerbangan -- di negara
maju -- tidak bertaut jauh dari jasa aeronautica itu. Agaknya,
ini memang menggiurkan 15 anggota ICAA Kawasan Asia yang
berkonperensi sambil pelesiran di Bali itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini