Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Belum semua bertelur emas

Pelud telah berubah fungsi menjadi pusat bisnis, pengelolaannya tidak pernah merugi, terutama di negara maju. keadaan bisnis pelud komersil di beberapa negara termasuk indonesia. (eb)

10 Juli 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENGELOLA pelabuhan udara sipil boleh dibilang seperti menunggui sangkar angsa bertelur emas. "Tinggal memungut untung." Begitu kesan yang diungkapkan para pengelola pelabuhan udara (pelud) sipil Perhimpunan Pelud Sipil Internasional (ICAA) kawasan Asia di Denpasar 28-30 Juni lalu. Nah, yang harus dilakukan pengelola pelud itu ialah bagaimana membuat "sangkar dan memelihara agar angsa itu tetap rajin bertelur." "Banyak cara mencari uang dari pelud, karena bandar udara kini bukan sekedar berfungsi melayani pesawat yang mendarat dan mau terbang. Tapi sudah menjadi pusat bisnis besar," kata Martin C. van Gent, 56 tahun, konsultan manajemen Pelud Schiphol, Negeri Belanda, yang juga konsultan Perum Angkasa Pura (PAP) sejak 6 bulan lalu. Setiap sudut pelud -- asal dikelola dan direncanakan secara matang -- bisa menghasilkan duit. Kecuali memungut pembayaran dari lalu-lintas pesawat terbang, perusahaan pengelola juga bisa memetik penghasilan dari sewa tempat pelayanan umum, parkir mobil, bursa valuta asing, gudang, restoran dan lainlain. "Panen telur emas" itu juga dinikmati PAP yang sejak 1974 diserahi mengelola tiga pelud komersial: Halim Perdanakusuma dan Kemayoran (Jakarta), serta Ngurah Rai (Denpasar). Tahun lalu, misalnya, penghasilan PAP Rp 19 milyar -- sebagian besar, sekitar 81% (Rp 15,5 milyar) masih bersumber dari pos aeronautica yang berhubungan dengan pelayanan penerbangan. Sedang pemasukan dari pelayanan bukan penerbangan misalnya sewa gudang, parkir kendaraan, pas pelud, dan lain-lain baru Rp 3,5 milyar (19%). Menurut perhitungan, PAP seharusnya mendapat uang lebih besar dari jumlah penumpang 6,9 juta dan 167 ribu pesawat mengangkut penumpang di tiga pelud itu selama 1981. "Sebagai Perum, kami masih mempertimbangkan segi pelayanan umum," kata Hari Soebagyo, Dirut Perum PAP. PAP, misalnya belum bisa memaksakan karcis untuk pengantar dan penjemput atau mengutip airport tax yang tinggi. Untuk penerbangan Internasional, Indonesia hanya memungut airport tax Rp 3.000, masih jatuh separuh dibanding Singapura atau Hongkong. Pelud komersial di Bali belum bisa dinikmati seluruhnya oleh PAP. Sebagian besar pengelola pelud anggota ICAA telah memungut persentase setiap liter bahan bakar yang diminum pesawat terbang di lapangan terbang itu. "PAP belum bisa menerapkan itu," kata Soebagyo. Bahkan di negara lain, anggota ICAA juga mendapat uang banyak dari sewa bagian gedungnya yang dipakai perusahaan penerbangan yang beroperasi di sana. "Apakah Pertamina atau Garuda mau kami kenakan persentase pungutan semacam itu?" kata Soebagyo. Namun, untuk ukuran perum di Indonesia, PAP boleh menepuk dada. "Kami tidak perlu menunggu pencairan Daftar Isian Proyek (DIP) dari pemerintah untuk mengemudikan perusahaan," kata Soebagyo. Biaya rutin untuk gai 2.500 pegawai sebesar Rp 4,5 milyar dan biaya operasi Rp 2,1 milyar bisa ditutup dengan penghasilannya. "Bahkan kami masih mendapat untung," tambahnya. Dalam dua tahun terakhir, PAP bisa menikmati untung Rp 5 milyar setahun. "Dari keuntungan itu, tujuh puluh lima persen disetor kembali ke pemerintah dan sisanya kami depositokan di bank, " kata Soebagyo. Karena keuntungan yang dikumpulkan, PAP juga berhasil mengembangkan ketiga pelud itu menjadi lebih semarak. Contohnya, minggu lalu telah diselesaikan pembangunan kembali dan pengembangan Pelud Ngurah Rai yang menampilkan Corak Bali dengan biaya Rp 2,1 milyar. Pemerintah cuma memberikan penyertaan modal 35% saja. "PAP sudah untung, tidak perlu subsidi lagi," kata Menteri Perhubungan Roesmin Noerjadin kepada TEMPO seusai peresmian proyek itu. Namun tidak semua pelabuhan komersial bisa mengeruk untung. "Karena lalu lintas udara di negara berkembang seperti Asia, pada umumnya tidak ramai," kata T.R. Kesharwani, Kepala Otorita Pelud Komersial India (IAAI) dalam konperensi di Bali itu. Untuk Asia yang boleh dibilang seperti "sangkar angsa bertelur emas" -- dan telurnya banyak tentu saja -- baru Narita (Tepang), Hongkong dan Singapura. Ketlga bandar udara internasional itu masing-masing kedatangan dan memberangkatkan 5 juta penumpang setahun. Sedang pelabuhan udara Asia lainnya, seperti Jakarta, Bangkok, Kuala Lumpur, New Delhi masih ketinggalan dibanding jumlah itu. Penghasilan dari jasa bukan navigasi -- menurut Kesharvani -- juga tergolong rendah di pelud komersial Asia. "Pada umumnya, kecuali frekuensi penerbangan yang sedikit, penghasilan penduduk Asia masih rendah. Dengan begitu mereka belum mampu membayar tinggi untuk jasa bukan pelayanan penerbangan yang disediakan pengusaha pelud," tambahnya. BERDASARKAN kenyataan itu, IAAI yang mengurus empat pelud komersial India sejak 1972 itu mengembangkan sumber pemasukan -- terutama -- dari jasa navigasi. Pendapatannya Rp 4,2 milyar pada 1972 menggelembung menjadi Rp 42 milyar tahun 1981. Kenaikan ini didapat stelah IAAI menertibkan pengutipan bea mendarat, parkir pesawat, dan landasan. Sedang dari bidang bukan jasa pelayanan penerbangan, pendapatannya sebesar Rp 6,3 milyar tahun lalu. Keadaan bisnis pelud komersial memang agak berbeda dengan yang terjadi di negara maju seperti Eropa atau AS. "Di Eropa, misalnya, orang mau memanfaatkan waktu seefisien mungkin. Maka, untuk melayani mereka, disediakan toko berbagai kebutuhan," kata van Gent, bekas detektif yang beralih profesi menjadi konsukan manajemen Pelud Schiphol itu. Salah satu gagasannya ketika masuk Pelud Schiphol 20 tahun lalu, ialah membuat toko bebas cukai (duty free shop). "Kini toko semacam itu ditiru di hampir semua airport internasional," katanya. Penghasilan dari sektor bukan pelayanan penerbangan -- di negara maju -- tidak bertaut jauh dari jasa aeronautica itu. Agaknya, ini memang menggiurkan 15 anggota ICAA Kawasan Asia yang berkonperensi sambil pelesiran di Bali itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus