BENANG kusut di tubuh Gabungan Koperasi Batik Indonesia (GKBI), tampaknya, makin sulit dibenahi. Dibelit utang sekitar Rp 35 milyar, induk koperasi primer itu kini hanya memiliki kekayaan sekitar Rp 1,5 milyar. Kemelut bahkan sempat melanda rapat anggota tahunan (RAT), yang diselenggarakan di Jakarta, awal bulan ini. Palin tidak, dua koperasi pembatik nasional (KPN) meragukan laporan keuangan yang disampaikan pengurus GKBI sebagai pertanggungjawaban di depan RAT tersebut. "Banyak keanehan dalam laporan itu," kata Mucharom, ketua KPN Surakarta. Di antaranya Mucharom menyebut perbedaan harga pembelian benang, yang lebih mahal Rp 42.000 per bal dari harga sesungguhnya. Juga pembelian suku cadang, yang perbedaan harganya terpaut Rp 3,5 juta. Maka, "Ketika Pak Mucharom mengusulkan kepada RAT untuk membentuk badan peneliti keuangan, saya langsung setuju," sahut Marzuki, ketua KPN Klaten. Usul itu meman ditolak sidang. Toh gabungan koperasi yang didirikan 36 tahun lalu itu harus menelan angka kerugian yang cukup berkesan. Pada 1982, misalnya, GKBI menderita kerugian Rp 4,289 milyar. Tahun berikutnya angka itu menurun, menjadi hanya Rp 2,957 milyar. Tetapi tahun ini, berdasarkan perhitungan sementara hingga akhir Juni lalu, kerugian sudah mencapai Rp 2,5 milyar. Kisah kusut GKBI, sebetulnya, bukan cerita baru. Pernah naik daun di zaman "ekonomi terpimpin", manajemen GKBI tampaknya terseok-seok mengikuti tuntutan yang lebih profesional. Padahal, sudah sejak tahun lalu, dalam forum diskusi GKBI yang dilangsungkan diJakarta, Prof. Dr. Sudjanadi, Direktur Jenderal Bina Lembaga Koperasi saat itu, menekankan "Perlunya orang yang cakap dan memiliki pandangan tajam ke depan, atau yang disebut tenaga profesional." Tahun itu pula pabrik cambric (PC) GKBIdi Plumbon dan Medari terpukul. Plumbon (Cirebon), yang disiapkan untuk memproduksikan benang tipe 32S, 40S, dan 42S, harus mencicil utang Rp 2,6 milyar. Sedangkan dana yang macet di kedua pabrlk itu berupa hasil produksi, mencapai Rp 9 milyar. Bahkan dirut BNI 1946, Somala Wiria, yang menyalurkan kredit investasi Rp 8,4 milyar kepada GKBI ketika itu, sudah membayangkan masa sulit yang bakal dihadapi Plumbon. Tambahan pula, harga bahan baku yang disalurkan GKBI kepada koperasi primer lebih tinggi dibandingkan dengan di pasaran bebas. Di tengah pasar yang lesu, dan persaingan yang kian ketat, seagian besar dari 40 koperasi primer anggota GKBI yang umumnya setengah mati - berusaha memasarkan sendiri produksinya. Dalam evaluasi KPN Surakarta terhadap hasil kerja pengurus GKBI periode 1981-1983, hampir semua hal disorot. Di bidang komersial dan usaha, evaluasi itu mencantumkan angka kerugian yang diderita proyek GKBI selama 1982-1983. Di PC Plumbon, kerugian itu tercatat Rp 3,579 milyar. Di PC Medari, angka itu mencapai Rp 1,819 milyar. Sedangkan di unit pemasaran batik, kerugian tercatat Rp 60,135 juta. Proyek pakaian jadi, yang hingga akhir tahun lalu sudah menghabiskan Rp 1,270 milyar, sampai bulan lalu belum menghasilkan sesuatu. Bahkan dalam pembelian tanah, dan perencanaan lanjutan, proyek itu terjadi beberapa kericuhan. Tanah seluas 23.550 m2 di Kedunghalang, Bogor, itu dibeli pada 10 September 1980 dengan harga Rp 235,5 juta dari Hidar Darulhusni Badruddin, anak sang ketua. Di samping harga tanah yang masih bisa di pertanyakan, pabrik itu sendiri, konon, tidak membutuhkan lokasi seluas itu. Kemudian, menurut sebuah sumber, pabrik tersebut akan memproduksikan celana jin. Nah, barang yang satu ini, selain kini lesu di pasaran, sudah tentu jauh sekali kaitannya dengan ihwal perbatikan. Biaya inklaring juga dipersoalkan dalam evaluasi itu. Menurut tarif wajar, biaya inklaring sampai di atas truk Rp 5.000 per bal. Tetapi GKBI pernah mengeluarkan biaya inklaring Rp 35.000 per bal. Juga terdapat ketidaksesuaian antara perusahaan EMKL yang diberi kuasa menangani inklaring dan perusahaan yang menagih pembayaran. Yang jelas, keuntungan Rp 346 juta yang pernah diproyeksikan pengurus GKBI untuk tahun 1983 memang tinggal impian. Tetapi, kerugian beruntun yang diderita GKBI, "Juga disebabkan keadaan ekonomi yang tidak stabil, misalnya resesi," ujar H. Badruddin. RAT ternyata memilih kembali tokoh ini sebagai ketua umum. Ia, tentu saja, langsung membantah halhal yang dipermasalahkan KPN Surakarta. Menyinggung dua KPN yang tidak menyetujui laporan keuangan, Badruddin balik menantang, "Apakah kita harus menuruti kehendak mereka, sedangkan 38 anggota lainnya menyetujui?" Mengenai harga pembelian barang dan pengeluaran lainnya. ia menyatakan "Semuanya sudah diusahakan serendah mungkin." Lalu, bagaimana dengan uang Rp 618 juta yang, menurut Mucharom dan Marzuki, dipakai Badruddin? "Semuanya sudah diselesaikan," jawab sang ketua umum seraya melirik stafnya yang hadir. Yang dilirik segera menganggukkan kepala. Dan Badruddin sudah memprioritaskan usaha membenahi GKBI. Pertama menstabilkan semua pabrik GKBI. Kemudian mencari manajer profesional, meningkatkan teknik membatik, dan menawarkan kekayaan GKBI yang sudah tidak produktif.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini