KETIKA 14 tahun lalu program Bimbingan Massal (Bimas) secara resmi dilembagakan jutaan petani diharapkan segera terbebas lari kesulitan memperoleh pupuk, obat-obatan, benih, dan uang untuk biaya menggarap sawah mereka. Tak terbayangkan jika program itu, pada akhirnya, malah menjerat hampir dua juta petani. dengan utang lebih dari Rp 53 milyar. Gagalkah Bimas, karena mendadak Presiden Soeharto, pekan lalu, mengisyaratkan agar diteliti kemungkinan menghapuskan program itu tahun depan ? Jawabannya bisa macam-macam. Bagi Cinta Rayat Sembiring, petani Desa Sei Beras Sekata di Medan, misalnya, Bimas merupakan tongkat penyelamat. Ketika 10 tahun lalu mulai mengikuti program itu - dengan mendapat pinjaman pupuk 200 g, obat antihama dua liter benih lima kilogram, dan biaya garap Rp 6.000 - rumahnya masih berada di gubuk sederhana. Tapi, sesudah mengikuti Bimas beberapa kali, dan hasil gabah kering dari satu hektar sawahnya naik dari 4,8 ton menjadi 9 ton, Cinta secara berangsur mampu membeli motor, empat lembu, dan membangun rumah bagus. Begitu juga Paimin, petani di Desa Dorang, Jepara, Jawa Tengah, sejak adanya Bimas tak lagi ribut menggadaikan dan menjual pelbagai barangnya untuk membiayai sawahnya. Berkat hasil program itulah, yang diikutinya sejak hampir 16 tahun lalu, dia kemudian mampu menambah lahan sawahnya dari hanya dua kotak (0,28 ha) menjadi 14 kotak (2 ha), dan bisa pula membangun dua rumah. Petani berusia 53 tahun ini, yang mengaku tak lagi pusing akan dapat kredit lagi atau tidak, juga sudah punya sepeda motor. Secara kasar memang program Bimas, yang diberikan dalam bentuk-pengadaan sarana produksi padi dengan harga subsidi itu, diangap telah memperbaiki kualitas hidup banyak petani. Seberapa jauh Bimas berhasil menaikkan pendapatan petani, Menteri Muda Urusan Peningkatan Produksi Tanaman Pangan, Wardoyo, menyatakan, "Sulit mengukurnya" Yang pasti, katanya, saat program itu diperkenalkan, produksi gabah kering dari setiap hektar tanah sawah hanya 24 kuintal, dan pada tahun ini rata-rata sudah mencapai 42,27 kuintal. Kenaikan produksi gabah sebesar itu, kabarnya, sebagian besar merupakan sumbangan para petani yang punya lahan lebih dari 0,75 ha. Petani kecil yang lahannya kurang dari 0,5 ha, menurut Prof. Sediono Tjondronegoro, mahaguru sosiologi IPB, pada umumnya tidak berani mengambil risiko dengan Bimas. "Sebab, modal lahan yang dimihklnya tidak akan mampu menyangga beban kredit Bimas jika terjadi kegagalan panen," katanya. Kenyataan di lapangan tampaknya mendukung anggapan itu. Menurut Sediono, yang mengutip hasil sebuah penelitian Universitas Parahyangan di sekitar tahun 1975, penunggak kredit Bimas terbesar ternyata kebanyakan petani berlahan 0,75 ha ke atas. Kalaupun petani kecil kedapatan ikut program Bimas, katanya, "Biasanya cenderung lebih berdisiplin dalam melunasi pinjaman." Sebagai penyalur kredit Bimasberbunga 12% setahun, pihah Bank Rakyat Indonesia (BRI) sudah melakukan pelbaai cara untuk menagih tunggakan itu. Dari melakukan gropyokan secara terbuka, sampai menakutnakuti nasabah dengan membawa mobil tahanan keluar masuk desa. Guna meningkatkan pengembalian kredit macet program itu, bersama sembilan program lainnya, pemerintah bahkan sudah membentuk Tim Koordinasi Peningkatan Pengembalian Kredit Program Massal Inpres No. 10 tahun 1981. Hasilnya sudah ada kendati belum memuaskan. Tiga tahun laiu kredit macet Bimas meliputi sekitar Rp 98,4 milyar, sedangkan pertengahan Juni lalu jumlahnya tinggal Rp 53 milyar. Secara teoretis, menurut Kamardy Arief, direktur utama BRI, para petani itu sesungguhnya, "Bisa mengembalikan kredit tadi." Persoalannya, "Mungkin cicilan kredit itu banyak yang mereka gunakan untuk membeli barang konsumsi," kata Kamardy menduga-duga. Kesalahan tampaknya tidak bisa seluruhnya dibebankan ke pundak petani. Aparat desa, dan juga BRI, yang terlalu mengejar target, bisa juga dituduh ikut bersalah - karena dalam memberikan kredit kuran memperhatikan kelayakan nasabah. Dari sinilah kemudian muncul nama petani dan lahan fiktif. Tindakan semacam itulah yang, menurut Sediono Tjondronegoro, "Menyuburkan keruwetan daiam lembaga Bimas." Anehnya, semakin menggunung tunggakan itu, areal peserta Bimas justru makin menyusut. Sebaliknya, areal peserta Intensifikasi Massal (Inmas), yang tak mendapat kredit murah tapi bisa membeli pupuk, obat-obatan, dan benih dengan harga subsidi, malah membesar. Untuk musim kemarau ini, dari areal intensifikasi yang 1,9 juta ha, peserta Bimas hanya 40,8 ribu ha - sisanya peserta Inmas. Berbareng dengan membesarnya Inmas itu, produksi beras pun kian meroket: dari 13,1 juta ton pada tahun 1971 jadi 23,5 juta ton tahun lalu. Berapa sumbangan Bimas dalam menaikkan produksi beras tadi tak jelas 5 benar. Tapi ada dugaan, cicilan kredit program itu, yang seharusnya dikembalikan ke BRI, dengan pelbagai cara digunakan para petani program Bimas untuk membeli pupuk dan obat-obatan mengikuti Inmas. Serangkaian kenyataan seperti itulah yang kelak akan diteliti secara lebih jauh oleh Tim Survei Kredit Bimas. Tim, antara lain, akan berusaha memperoleh jawaban mengapa minat petani mengikuti Bimas menurun, bagaimana peserta Inmas membiayai usahanya, dan bagaimana akibatnya jika kelak Bimas dihapus. Pokoknya, "Tim ini akan mengadakan evaluasi mengenai kelayakan Bimas, apakah program itu patut diteruskan atau tidak," ujar Dr. A.T. Birowo, wakil ketua Tim Survei itu. Tindakan realistis tampaknya diperlukan, mengingat dana murah pemerintah kini semakin terbatas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini