Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SUDAH dua pekan mal anyar Sudirman Place dipagari tembok kayu GRC. ”Something amazing is going on behind this wall,” begitu bunyi tulisan mencolok di tripleks setebal satu sentimeter itu. ”Saya ingin tahu apa yang akan dilakukan Sudirman Place,” kata Rizki P. Hasan, petinggi sebuah bank swasta yang berkantor di seberang mal, penasaran.
Pusat belanja itu untuk sementara memang kembali ditutup. Pengelolaan mal rupanya pindah tangan. ”Mulai bulan ini, kami mengambil alih,” kata M. Sjohirin, Direktur PT Plaza Indonesia Realty Tbk. Di jagat mal, perusahaan milik Franky Oesman Widjaja ini memang punya jam terbang lumayan panjang. Anak taipan Eka Tjipta Widjaja ini mengelola dua mal prestisius di kawasan Jakarta Pusat, yakni Plaza Indonesia dan Plaza Indonesia EX. Di bawah bendera perusahaan ini bernaung pula jaringan hotel Grand Hyatt.
Sudirman Place, yang dibangun pada akhir 2003, sesungguhnya sudah mulai beroperasi awal tahun ini. Semula pengelolanya PT Aneka Bina Lestari (ABL), yang 80 persen sahamnya dimiliki Sari Dewi, istri Johann Boyke Nurtanio. Boyke pemegang waralaba Ray White, perusahaan pialang properti asal Australia.
Mal ini dibangun di atas tanah negara seluas 11,4 ribu meter persegi, yang dikelola Badan Pengelola Gelora Bung Karno. Dengan sistem kontrak build-operate-transfer, pemilik mal punya hak pengelolaan selama 35 tahun. Biaya kompensasi yang harus disetor ABL ke Badan Pengelola konon sekitar Rp 500 juta per tahun.
Menurut sumber Tempo, belakangan Sari Dewi, yang terbilang masih ”hijau” di bisnis mal, kewalahan. ”Pemiliknya nombok biaya operasional Rp 1,3 miliar per bulan,” katanya. Dari 224 unit kios, yang disewa hanya separuhnya. Itu pun tak semuanya buka ”warung”. Pengunjung tak banyak datang. Akibatnya, pedagang merugi (Tempo edisi 30 Oktober 2006).
Yang juga bikin pening, di kawasan itu juga dibangun apartemen 42 tingkat. Pembangunan baru separuh jalan, tapi duit yang digerojokkan sudah membengkak dua kali lipat. Celakanya lagi, utangan ke salah satu bank swasta, Rp 175 miliar, yang diajukan setahun lalu, tak kunjung cair.
Untunglah, sang ”juru selamat” datang. Lewat kesepakatan yang ditandatangani pada akhir September lalu, Plaza Indonesia resmi mengambil alih pengelolaan Sudirman Place. ”Kami mendapat management fee,” kata Sjohirin. ”Tapi, besarannya belum ditentukan.” Plaza Indonesia, kata sumber itu, semula berniat mengambil alih kepemilikan PT ABL. Niat ini terganjal aturan Badan Pengawas Pasar Modal, yang tak mengizinkan sebuah perusahaan terbuka mengakuisisi perusahaan ”sekarat” secara langsung.
”Jadi, Plaza ikut membenahi dulu,” katanya. ”Baru, nanti diakuisisi.” Untuk soal yang satu ini, Sari Dewi memilih mengunci mulut. ”Sekarang sudah dikelola Plaza Indonesia, saya tidak berwenang menjawab,” katanya berkelit. Untuk pembenahan itulah, rencana renovasi dan perubahan tata letak kios disiapkan.
Konsep baru bisnis dan interior ditenderkan ke sejumlah konsultan luar negeri, antara lain ke Inggris dan Jepang. Akibatnya, seluruh tenant alias penyewa terpaksa harus menutup sementara kiosnya hingga dibuka kembali, Juli tahun depan. Kecuali 11 unit yang dimiliki sendiri dan terletak di lantai dasar. ”Tenant yang buka selama renovasi tidak dihitung sewanya,” kata sumber tadi. Mereka hanya membayar biaya servis US$ 9 per meter persegi tiap bulan. Padahal, selama ini biaya sewa mencapai US$ 40-70.
Konsep dasar bisnis mal ini pun bakal dirombak total. Namun, Sjohirin belum mau buka kartu. Yang jelas, ”Tak akan jauh dengan Plaza Indonesia,” katanya. Menurut sumber Tempo, mal ini nantinya bakal bertumpu pada bisnis gaya hidup, yang didominasi makanan dan tempat hangout. Jumlah butik fashion dikurangi, department store yang ada juga bakal ditutup. Fasilitas lainnya yang bakal tersaji: live music, plus studio TV dan radio. ”Jadi, nanti bisa siaran langsung dari Sudirman Place,” ujarnya.
Dengan model baru itu, pasar yang dibidik adalah kaum berduit berumur 35-40 tahun. Jadi, meski sama-sama mengusung bisnis entertainment, pangsa pasarnya beda dengan Plaza, yang membidik anak baru gede. Strategi baru ini, menurut Wendy Haryanto, konsultan properti dari Jones Lang LaSalle, tampaknya cukup jitu. ”Di kawasan ini, konsep seperti itu belum ada,” katanya.
Danto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo