Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Harga Elpiji Bakal Naik
PT Pertamina (Persero) akan menaikkan harga gas dalam tabung (elpiji) ukuran 12 kilogram tahun depan. Kenaikan dilakukan secara bertahap dari Rp 4.250 menjadi Rp 6.400 per kilogram. ”Harga yang ukuran tiga kilogram tidak naik,” kata Direktur Utama Pertamina, Ari H. Soemarno, pekan lalu.
Alasannya, gas tabung ukuran tiga kilogram banyak digunakan oleh masyarakat menengah-bawah. Sedangkan pengguna tabung gas 12 kilogram lebih banyak berasal dari kalangan menengah ke atas. ”Tidak adil kalau harga elpiji 12 kilogram sama dengan elpiji 3 kilogram,” ujarnya.
Deputi Direktur Pemasaran dan Niaga Pertamina, Hanung Budya, mengatakan Pertamina saat ini memberikan subsidi kepada pengguna gas tabung 12 kilogram sebesar Rp 2 ribu per kilogram. Beban ini cukup berat buat Pertamina, sebab dari total penjualan elpiji yang per tahunnya mencapai 1,1 juta ton, sebanyak 82-83 persen di antaranya merupakan pengguna gas tabung 12 kilogram.
Casa Alihkan Produksi ke Dirgantara
INDUSTRI pesawat terbang Casa yang berkedudukan di Spanyol akan mengalihkan produksi pesawat Casa 212-400 ke PT Dirgantara Indonesia. Nota kesepakatannya akan diteken kedua belah pihak pada 23 November mendatang di Jakarta.
Selama ini, PT Dirgantara telah memproduksi pesawat Casa 212-200 dengan nama NC (Nurtanio Casa) -212-200, dengan membeli lisensi dari Casa. Namun, untuk Casa 212-400, kata Direktur Operasi dan Produksi PT Dirgantara, Budi Wuraskito, perusahaannya hanya dijadikan tempat produksi. Karena itu, nama pesawat tetap bernama Casa 212-400.
Budi menjelaskan, dengan pengalihan itu, Casa akan memindahkan semua fasilitas produksi pesawat ini ke Indonesia ”Nilainya mencapai Rp 150 miliar” kata Menteri BUMN Sugiharto saat mendampingi Wakil Presiden Jusuf Kalla mengunjungi PT Dirgantara, Ahad dua pekan lalu. Produksi pesawat ini rencananya dimulai tahun depan. Untuk tahap pertama, akan diproduksi 50 pesawat: 40 pesawat pesanan dari Brasil, sisanya diharapkan diserap Departemen Pertahanan RI.
Lapindo Dijual ke Perusahaan Non-Bakrie
PT Energi Mega Persada Tbk. akhirnya menjual PT Lapindo Brantas kepada Freehold Group Ltd., Selasa pekan lalu, tanpa persetuju-an Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam). Perusahaan investasi yang berbasis di British Virgin Island ini pun tak punya kaitan sama sekali dengan kelompok usaha maupun keluarga Bakrie.
Padahal, sebelumnya perusahaan pengelola ladang gas di Sidoarjo, Jawa Timur, itu hendak dijual ke Lyte Ltd. (afiliasi Grup Bakrie) seharga US$ 2 (sekitar Rp 18 ribu). Dengan begitu, diharapkan keluarga Bakrie akan tetap memikul tanggung jawab atas semua kerugian akibat bencana lumpur panas di lokasi pengeboran, kendati Lapindo tak lagi bernaung di bawah Energi Mega.
Rencana penjualan ke Lyte, Oktober lalu, terganjal setelah Bapepam menolak penyelenggaraan rapat umum pemegang saham Energi Mega untuk menyetujui aksi korporasi itu. Alasannya, belum keluar hasil penilaian tim independen mengenai siapa nanti yang akan bertanggung jawab atas bencana itu. ”Tak ada bukti kuat bahwa Lyte terafiliasi Grup Bakrie,” kata sumber Tempo. Karena itu, dikhawatirkan nantinya Bakrie tak bisa diminta terus menanggung kerugian yang diderita.
Juru bicara Energi Mega, Herwin Hidayat, mengatakan penjualan itu tak butuh persetujuan Bapepam karena tidak termasuk transaksi material (10 persen dari total pendapatan atau 20 persen dari total ekuitas perusahaan). Meski begitu, Ketua Bapepam, Fuad Rahmany, menyatakan akan meminta klarifikasi dari manajemen Energi Mega. ”Siapa ultimate shareholder-nya, apakah benar non-afiliasi Bakrie,” katanya pekan lalu.
Pertamina Tunjuk McKinsey
PT Pertamina (persero) telah menunjuk konsultan internasional McKinsey untuk melakukan program transformasi di tubuh perusahaan minyak milik negara ini. Penunjukan konsultan asal Amerika Serikat itu sempat diributkan, karena dilakukan tanpa proses tender.
Direktur Utama Pertamina, Ari Soemarno, menegaskan, meski tanpa tender, pemilihan telah dilakukan lewat proses seleksi atau beauty contest. ”Tender itu untuk mencari harga yang paling murah, sedangkan kami mencari konsultan yang dapat menaikkan nilai tambah,” katanya pekan lalu.
Ari juga menjelaskan, Pertamina telah memanggil lima perusahaan konsultan untuk mengajukan penawaran harga. Namun, yang memasukkan penawaran hanya tiga, yaitu Boston Consulting Group, PricewaterhouseCoopers, dan McKinsey. Adapun biaya sewa konsultan ini sebesar US$ 15 juta atau sekitar Rp 140 miliar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo