Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Dewan Energi Nasional merampungkan rancangan strategi induk energi, termasuk masalah migrasi elpiji.
Sejumlah opsi disiapkan untuk menekan defisit neraca perdagangan dan lonjakan subsidi elpiji.
Ada tantangan di setiap opsi yang dirancang.
SEKRETARIAT Jenderal Dewan Energi Nasional tengah menunggu undangan dari kantor Kementerian Sekretariat Negara. Tim internal Dewan Energi telah merampungkan pembahasan peta jalan energi nasional yang perlu segera dibahas bersama Presiden Joko Widodo sebagai ketua lembaga tersebut. Rancangan peta jalan itu juga memuat beberapa opsi penyelesaian masalah lonjakan angka penggunaan elpiji rumah tangga. “Sudah ada draf final grand strategy energi kita ke depan,” kata Sekretaris Jenderal Dewan Energi Nasional Djoko Siswanto, Rabu, 9 Desember lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rencananya, hasil pembahasan tim internal Dewan Energi dibahas di tingkat kementerian untuk selanjutnya dipresentasikan kepada Presiden Jokowi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dewan Energi Nasional (DEN) beranggotakan tujuh menteri, yakni Menteri Keuangan, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Menteri Perhubungan, Menteri Perindustrian, Menteri Pertanian, Menteri Riset dan Teknologi, serta Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Bersama mereka, ada delapan anggota dari unsur pemangku kepentingan. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral menjadi Ketua Harian DEN.
Sesuai dengan ketentuan, DEN semestinya menggelar sidang paripurna secara berkala, sekurang-kurangnya dua kali dalam setahun, atau sewaktu-waktu jika diperlukan. Namun terakhir kali sidang paripurna terlaksana pada 2017. Sidang tak kunjung digelar lagi setelah lembaga ini terbelit masalah seleksi calon anggota dari unsur pemangku kepentingan yang berlarut-larut. Belakangan, pada November lalu, Dewan Perwakilan Rakyat akhirnya memilih anggota baru setelah menggelar uji kelayakan dan kepatutan.
Tapi ada persoalan baru. Hingga akhir pekan lalu, Presiden Jokowi belum juga melantik delapan anggota anyar tersebut. “Anggota DEN-nya kan belum ada. Ya enggak sah (rapatnya) tanpa anggota,” tutur Djoko. Ia berandai-andai, jika anggota baru DEN dilantik pekan ini, rapat bersama Presiden bisa digelar pekan berikutnya.
Sebenarnya perumusan grand strategy energi nasional adalah permintaan Presiden. Jokowi menginginkan ada produk pengganti elpiji yang volume konsumsinya meningkat, tapi sebagian besar kebutuhannya harus dipenuhi dari negara lain.
Jokowi sudah lama mendorong program penghiliran produk batu bara menjadi dimetil eter (DME). Hasil gasifikasi batu bara ini bisa menjadi pengganti atau bahan campuran elpiji. Dengan begitu, impor elpiji, yang selama ini jadi biang kerok defisit neraca perdagangan minyak dan gas bumi, bisa ditekan. “DME yang sangat penting, sebagai substitusi elpiji,” ujar Jokowi dalam rapat kabinet di Istana Bogor, 23 Oktober lalu.
Sedangkan dalam grand strategy energi nasional, DEN juga menggagas berbagai alternatif solusi. Penggunaan kompor listrik induksi, misalnya, akan menjadi opsi jangka pendek. Langkah awal sudah dimulai lewat PT Perusahaan Listrik Negara (Persero), yang menggeber program sejuta kompor induksi dalam waktu setahun ke depan. Guna menyokong opsi ini pula pemerintah sedang mempertimbangkan kemungkinan mengalihkan dana subsidi elpiji untuk pengadaan kompor induksi bagi masyarakat.
Pilihan lain berupa migrasi dari penggunaan elpiji ke gas bumi yang didistribusikan melalui pipa jaringan gas alias jargas. Pemerintah sebenarnya telah merintis program ini sejak 2009. Namun, selama sebelas tahun berjalan, proyek jargas hanya bisa menyambungkan sekitar 600 ribu rumah tangga ke jaringan pipa. Padahal, dalam rencana pembangunan jangka menengah nasional terdahulu, pemerintah menargetkan jargas bisa tersambung ke 1,9 juta rumah tangga pada 2019. “Ini membutuhkan dana besar. Pemerintah akan mengintervensinya menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara,” ucap Djoko, yang juga mantan Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi.
***
ANGKA konsumsi elpiji terus melonjak sejak pemerintah menggalakkan program konversi bahan bakar minyak ke gas pada 2007. Bersamaan dengan itu, pemerintah menggulirkan program elpiji bersubsidi dalam tabung 3 kilogram berwarna hijau—kemudian dikenal sebagai tabung melon. Kala itu pemerintah sedang dihadapkan pada lonjakan volume konsumsi minyak tanah yang membebani anggaran karena disubsidi.
Namun masalah lain muncul. Lonjakan angka konsumsi elpiji tak disertai kemampuan produksi dalam negeri. Tahun ini, misalnya, jumlah konsumsi elpiji domestik ditaksir mencapai 8,8 juta ton. Sedikitnya 6,84 juta ton di antaranya harus diimpor lantaran produksi kilang pengolahan elpiji tak bertambah di kisaran 1,97 juta ton per tahun—separuh dari kapasitas produksi yang tersedia. Itu sebabnya elpiji disebut sebagai salah satu penyebab melebarnya defisit neraca perdagangan migas Indonesia.
Bahaya baru pun sedang menunggu. Rencana strategis Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral yang diteken Menteri Energi Arifin Tasrif pada 18 September lalu mencatat perkiraan jumlah konsumsi elpiji yang terus meningkat dalam empat tahun ke depan. Pada 2024, misalnya, Kementerian Energi memperkirakan tingkat konsumsi elpiji domestik mencapai 11,98 juta ton. Sedangkan kapasitas kilang dalam negeri dan tingkat produksinya diperkirakan tak banyak berubah.
Tak hanya menyebabkan defisit neraca perdagangan, meningkatnya angka konsumsi elpiji juga terus menggerus anggaran negara. Sebagian besar konsumsi elpiji itu disumbang penggunaan tabung melon yang juga terus bertambah. Pada 2020, jumlah konsumsi elpiji tabung melon diperkirakan mencapai 7,5 juta ton, naik dari 6,84 juta ton pada 2019. Walhasil, alokasi dana subsidi membengkak menjadi sekitar Rp 50,6 triliun.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati bahkan sampai meminta kenaikan anggaran belanja senilai Rp 2,5 triliun dalam pembahasan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2021 bersama Badan Anggaran DPR pada 11 September lalu. Tambahan Rp 2,4 triliun di antaranya ditujukan untuk menutup kebutuhan subsidi elpiji.
***
KAJIAN Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral pada November 2020 menyimpulkan migrasi kompor gas ke kompor induksi dapat mengurangi impor elpiji sebanyak 11,4 kilogram per bulan per rumah tangga. Nilainya sekitar Rp 72.400 per bulan per rumah tangga.
Tapi, menurut kajian itu, opsi tersebut bakal efektif menghemat anggaran negara jika migrasi ke kompor induksi diterapkan pada rumah tangga berkapasitas daya di atas 900 volt-ampere (VA). Sebab, tarif listrik kelompok pelanggan ini tidak disubsidi.
Sebaliknya, migrasi penggunaan gas melon ke kompor induksi pada rumah tangga berkapasitas daya 450-900 VA justru akan menaikkan total subsidi energi di segmen tersebut. Karena itu, bila rencana berlanjut, kajian ini merekomendasikan penerapan sistem blok tarif dasar listrik bersubsidi. Dalam konsep ini, subsidi dibatasi hingga jumlah pemakaian daya tertentu untuk mengendalikan kenaikan subsidi listrik.
Menurut Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Rida Mulyana, pemerintah sedang mengkaji beberapa opsi kebijakan agar harga kompor induksi makin terjangkau dan mudah diperoleh. “Termasuk menghitung nilai subsidi yang dapat diberikan,” kata Rida, Jumat, 11 Desember lalu.
Dalam opsi pengembangan pipa gas, PT Perusahaan Gas Negara Tbk menaksir dibutuhkan dana hingga Rp 12,5 triliun untuk membangun 4,7 juta sambungan rumah tangga jargas hingga 2025. Pembangunan jargas juga akan menyedot anggaran Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Ditjen Migas) Kementerian Energi pada 2021. Pemerintah dan DPR pada awal September lalu sepakat mengalokasikan Rp 1,23 triliun untuk program jargas. Jumlah itu mencapai 61,8 persen dari total anggaran Ditjen Migas tahun depan yang mencapai Rp 1,99 triliun.
Kepala Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi Fanshurullah Asa memastikan pemerintah akan mempercepat pembangunan infrastruktur untuk meningkatkan penyerapan gas bumi sekaligus mengurangi ketergantungan pada impor elpiji. Targetnya: sambungan baru jargas sebanyak 1 juta rumah tangga per tahun.
Opsi lain balik lagi ke gasifikasi batu bara menjadi berbagai macam produk turunan. Salah satunya dimetil eter. Pilihan ini diklaim paling ampuh menggantikan elpiji karena sumber daya batu bara yang berlimpah sehingga diyakini bisa menutup seluruh kebutuhan. Saat ini produksi batu bara nasional lebih dari 650 juta ton dan sekitar 500 juta ton di antaranya diekspor.
Djoko Siswanto menilai pergeseran dunia ke arah energi ramah lingkungan bisa menjadi peluang. Sebab, kontrak-kontrak ekspor batu bara Indonesia bisa tak diperpanjang. Karena itu, pemerintah merancang pemanfaatannya untuk dalam negeri. “Ya sudah, kita jadikan DME sebagai pengganti elpiji,” ujarnya.
Dalam grand strategy energi nasional, penggunaan DME diproyeksikan mulai terlaksana pada 2024. Realisasinya bisa mundur ke 2025 karena perlu sekitar empat tahun untuk membangun fasilitas pabrik pengolahan. Kerja sama PT Bukit Asam (Persero) Tbk dan PT Pertamina (Persero) sedang dikebut untuk menuju target itu. Dua perusahaan milik negara tersebut akan berkongsi dengan Air Products, salah satu pemegang paten teknologi gasifikasi batu bara asal Amerika Serikat, untuk membangun pabrik di Tanjung Enim, Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan.
Pemerintah menargetkan industri gasifikasi batu bara bisa memproduksi hingga 12 juta ton produk turunan, termasuk DME, pada 2040. Pada saat itu, volume konsumsi elpiji diprediksi juga di sekitar angka tersebut.
Di antara opsi-opsi itu, alternatif berupa pembangunan kilang baru juga disiapkan. Fasilitas-fasilitas pengolahan baru diharapkan bisa menambah kapasitas pengolahan berbagai produk bahan bakar, seperti bensin, solar, avtur, termasuk elpiji. Tapi rencana ini diproyeksikan baru terealisasi pada 2023-2026 dengan perhitungan puncak produksi pada 2027. Alternatif ini bersanding dengan gagasan membangun kilang mini elpiji di dekat sumur gas yang mengandung propana (C3) dan butana (C4) menggunakan skema cost recovery.
Dari berbagai opsi itu, menurut Djoko, migrasi penggunaan kompor induksi yang paling mungkin dilakukan dalam jangka pendek. “Paling gampang, paling cepat,” tuturnya.
Adapun pembangunan infrastruktur jargas setidaknya memerlukan waktu setahun. Belum lagi pembiayaannya juga dari APBN sehingga pelaksanaannya harus melalui lelang. “Semua itu belum menjadi keputusan. Masih rencana.”
***
RISIKO konsumsi dan subsidi elpiji sebenarnya bukan tak pernah diperkirakan oleh pemerintah. Menurut mantan Direktur Utama PT Pertamina (Persero), Ari Soemarno, potensi tersebut bahkan sudah diprediksi sejak kebijakan migrasi minyak tanah ke elpiji diluncurkan pada 2007.
Yang jadi masalah, pemerintah tidak kunjung menaikkan harga meski program konversi ini telah berlangsung selama 13 tahun. Tata niaga elpiji bersubsidi juga dinilai tidak diatur secara ketat. Walhasil, jumlah permintaan pun melonjak. “Jelas semua orang mau pakai. Perhatikan, ada orang berjualan gas melon di sekitar Taman Suropati (Jakarta Pusat),” ucap Ari, Kamis, 10 Desember lalu. “Berarti ada pasarnya di situ.”
Di masa awal program migrasi digelar, Ari menceritakan, angka pemakaian elpiji hanya 2 juta ton setahun. Nilai tukar rupiah kala itu sekitar 8.000 per dolar Amerika Serikat. Karena itu, pengadaan melalui impor belum terlalu membebani bujet. Namun ketika itu volume permintaan elpiji sudah diprediksi akan meningkat lebih dari dua kali lipat dalam empat-lima tahun berikutnya. “Begitu orang tahu ini bagus, pasti meledak pemakaiannya,” ujarnya.
Itu sebabnya Ari menilai tata niaga elpiji juga harus diatur ekstraketat. Upaya pengetatan ini pernah digagas pemerintah dengan rencana penggunaan sistem kartu bagi konsumen elpiji bersubsidi. “Tapi (rencana itu) timbul-tenggelam,” katanya.
Anggota Komisi Energi DPR, Kardaya Warnika, juga mendesak pemerintah mengkaji secara komprehensif persoalan ini. Ihwal jargas, misalnya, Kardaya menilai program ini sangat baik dilaksanakan. Tapi dia mengingatkan, pemerintah juga harus memastikan pasokan gas bumi. “Dari mana? Jangan sampai pokoknya punya proyek jargas,” ucapnya.
Kardaya dan Ari berbicara senada. Sumber gas dalam negeri kian tipis. Pembuatan elpiji, misalnya, tak bisa mengandalkan Lapangan Gas Tangguh di Papua atau Donggi Senoro di Sulawesi Tengah karena komponen elpijinya kering. “Propana dan butananya kecil banget,” tutur Kardaya. “Sedangkan di Arun sudah enggak ada.”
Begitu pula untuk proyek jargas, diperlukan gas bumi yang mengandung senyawa metana. Pilihan terbaiknya adalah Lapangan Offshore North West Java, yang cadangannya tersisa sedikit. Di sisi lain, gas dari Lapangan Jambaran Tiung Biru di Blok Cepu dianggap potensial, tapi harganya dinilai mahal. “Buktinya, mau dijual ke PLN saja US$ 7 per MMMBTU,” ujar Kardaya. “Lagi pula, itu gas kotor, CO2-nya banyak, 30 persen.”
Djoko Siswanto membenarkan informasi bahwa tingkat produksi gas bumi yang mengandung propana dan butana menurun dari tahun ke tahun. Tapi dia mengklaim masih ada potensi penambahan sekitar 500 ribu ton elpiji per tahun dari beberapa sumur, seperti dari Pertamina Hulu Energi Jambi Merang di Musi Banyuasin, Sumatera Selatan; wilayah kerja South Jambi B di Tanjung Jabung Barat, Jambi; dan Lapangan Arbei Offshore di Langkat, Sumatera Utara. “Ada juga Mandala Energy Lemang di Kuala Tungkal, Jambi, dan South West Bukit Barisan di Sijunjung, Sumatera Barat.”
RETNO SULISTYOWATI, AISHA SHAIDRA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo