Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saat ini separuh dari total jumlah kematian akibat virus corona di dunia terjadi di Amerika selatan. Ini terjadi meski kawasan itu hanya memiliki 8 persen total populasi dunia. Tampaknya, pemberlakuan karantina yang teramat ketat gagal untuk melandaikan kurva kasus-kasus infeksi, seperti halnya di Eropa dan Asia Timur. Amerika Latin kini menghadapi bahaya yang berlipat ganda: rasio kematian tinggi dan keterpurukan ekonomi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Peru adalah contoh bagaimana respons terukur tetap gagal bekerja semestinya. Presiden Martin Vizcarra awalnya sempat dipuji atas responnya yang cepat dan tegas. Dia mengerahkan militernya ke jalanan kurang dari dua minggu semenjak kasus Covid-19 pertama negaranya ditemukan. Ia juga mengumumkan ‘lockdown’ skala nasional dan mengancam akan memenjarakan mereka yang melanggar. Pemerintahannya pun mengumumkan paket ekonomi US$32 miliar untuk menyokong ekonomi negara, termasuk dana sekali pakai untuk keluarga miskin sejumlah US$110.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Akan tetapi tiga bulan berjalan, Peru masih berjuang untuk mengontrol persebaran virus corona. Dari 32 juta populasi negaranya, mereka telah melaporkan 200,000 kasus penularan, melebihi Perancis dan Jerman, seiring dengan bertambahnya kasus kematian. Menurut beberapa ahli, satu kunci kenapa penanganan pemerintah gagal dalam pandemi Covid-19 adalah karena ekonomi informal Peru yang teramat besar, sekitar 70 persen pekerja di negara tersebut.
Contohnya Leonor Lavado, seorang penjual ayam di sentra pasar makanan umum terbesar di Peru. Dia sadar akan pentingnya tinggal di rumah dan mengikuti arahan pemerintah - terutama dengan pesan-pesan dari pemerintah yang ia dengar setiap menyalakan telepon genggamnya. Akan tetapi, terus menetap di rumah hanya akan membuatnya tak mampu bertahan hidup.
Sumber: FT / Ilustrasi: Firdhy Esterina
“Setiap saya berangkat kerja, saya selalu takut akan ada orang yang terinfeksi yang akan membuat saya sakit,” ujar perempuan berumur 46 tahun tersebut. “Tapi tagihan akan tetap ada dan saya harus membeli makanan kalau saya tidak pergi bekerja.”
Dilema yang dirasakannya juga dirasakan oleh setengah dari pekerja informal lainnya di Amerika Latin. Kebimbangan mereka antara harus mengikuti arahan pemerintah atau tidak, menjadi salah satu kunci naiknya persebaran kasus virus corona di benua ini.
“Wilayah kami telah menjadi episentrum pandemi Covid-19,” kata Carissa Etienne, Direktur WHO untuk benua Amerika pada 26 Mei 2020. “Sekarang bukan saatnya untuk melonggarkan pembatasan-pembatasan sosial.”
Para pembuat kebijakan kuatir pandemi ini akan menyia-nyiakan usaha dua dekade kemajuan sosial dan memaksa puluhan juta penduduk untuk berjibaku dengan kemiskinan kembali. Kondisi ini berisiko memantik terulangnya protes-protes hebat yang terjadi pada tahun lalu. Kegagalan pembayaran utang juga amat mereka takuti.
Pemandangan usai longsor besar dan banjir lumpur melanda distrik Huachipa di Lima, Peru, 17 Maret 2017. Intensitas hujan yang tinggi selama berhari-hari menyebabkan terjadi tanah longsor yang meluluhlantakan rumah warga dan menyumbat jalan-jalan utama di negara wilayah Amerika Selatan tersebut. REUTERS
“Ini akan memperparah tingkat kemiskinan dan makin tak meratanya distribusi pendapatan,” kata Direktur IMF Alejandro Werner. “Kita mungkin akan melihat kembalinya ketidakpuasan rakyat kala perasaan akan situasi yang genting itu hilang. Teramat penting bagi sistem politik untuk fokus menyatukan publik dan negaranya masing-masing guna mengimplementasi respon yang kuat terhadap pandemi ini.”
Covid-19 menyerang Amerika Latin beberapa minggu setelah Eropa. Kasus pertama mereka ditemukan di Brasil pada akhir Februari 2020, pada seorang warga berumur yang baru kembali dari Italia. Harapan bahwa penularan tidak akan terjadi pada skala besar sempat dirasakan kala masuknya virus corona tak secepat negara lain dan penyebarannya sempat melambat, ditambah anggapan adanya populasi anak muda melimpah dan cuaca tropis.
Hanya dalam waktu tiga minggu, hampir semua pemerintah di Amerika Latin mengumumkan ‘lockdown’, melarang segala bentuk penerbangan, menutup perbatasan-perbatasan, dan menutup bisnis-bisnis non-esensial. Namun kasus-kasus penularan terus bertambah, yang pada akhirnya terus melemahkan sistem kesehatan publik, yang sudah lama kekurangan dana.
“Tingkat kepatuhan mereka akan aturan jaga jarak sangat berbeda dengan di Eropa yang tidak memiliki banyak pemukiman kumuh dan penduduk miskin,” ujar Asisten Direktur Organisasi Kesehatan Pan Amerika, Jarbas Barbosa. “Teramat sulit untuk terus mempertahankan langkah-langkah ini pada waktu yang lama.”
Sumber: FT / Ilustrasi: Firdhy Esterina
Negara-negara panci presto
Situasi politik regional yang sedang terjadi pun tidak membantu. Pemimpin-pemimpin populis seperti di Brasil dan Meksiko - dua negara raksasa Amerika Latin - telah mengecilkan keseriusan permasalahan virus corona. Kedua pemimpin negara tersebut, yang tercermin dari perilaku mereka, terus menganggap remeh saran para ahli untuk tetap di rumah.
Dengan 800,000 kasus dan lebih dari 40,000 kematian, Brasil kini menjadi negara dengan jumlah kasus terbesar kedua setelah Amerika Serikat. Bahkan angka kematian mingguannya menjadi yang terbesar pada 11 Juni dengan 6,898 kematian dan masih 4 minggu sebelum mencapai puncaknya, seperti yang diperkirakan para ahli.
Presiden Jair Bolsonaro bahkan menganggap virus corona sebagai “flu sepele” dan terus bertemu dengan pengikutnya. Dia mengatakan bahwa penduduk negaranya menghadapi situasi yang tak terhindarkan dan sebagian besar dari mereka lebih baik “menghadapinya secara jantan”. Pernyataan ini justru membangkitkan antusiasme para pendukungnya.
Sumber: FT / Ilustrasi: Firdhy Esterina
Sebuah spanduk besar yang dipasang di kamp dadakan demonstrasi karantina wilayah di Sao Paulo, Brazil, tertulis: “Bolsonaro benar.”
Penduduk Meksiko juga mendapat pesan yang bercampur saat Presiden Andrés Manuel López Obrador masih mendorong penduduknya pada akhir Maret 2020 untuk makan di restoran guna membantu perekonomian selagi presiden nasionalis-kiri tersebut meneruskan tur keliling negaranya dan melanggar protokol kesehatan dengan memeluk dan menyambut ibu dari pengedar narkoba kawakan.
Data resmi mengkonfirmasi adanya lebih dari 130.000 kasus dan 16.000 kasus kematian di Meksiko, namun setidaknya ada tiga penelitian independen yang mengatakan bahwa negara itu diam-diam mengurangi laporan kematian sebenarnya. Bahkan ada satu penelitian yang menemukan bahwa angka kematian di Meksiko sebenarnya empat kali lebih banyak ditambah jumlah tes Covid-19 yang teramat rendah secara global.
Meski jumlah kasus Covid-19 terus bertambah, pemerintah setempat mulai melonggarkan pembatasan-pembatasan sosial dan Presiden Lopez bersikeras bahwa virusnya telah berhasil ‘dijinakkan.’
“Saya memahami bahwa membuka perekonomian negara sudah sangat mendesak - mereka perlu makan,” ujar seorang dokter senior di sebuah rumah sakit di Kota Meksiko. “Namun menjalankan beberapa hal secara tidak konsisten berdasarkan pada perkiraan epidemiologi cacat menjadikan negara ini memendam tekanan seperti panci presto.”
‘Krisis yang belum pernah terjadi’
Kala dua negara Amerika Latin terbesar kalang kabung dalam respons mereka terhadap pandemi Covid-19, banyak negara lain yang mengikuti kebijakan Peru dengan secepatnya menetapkan karantina wilayah. Namun, kebanyakan dari mereka menemukan bahwa karantina wilayah di negara-negara maju berbeda hasil dengan kebijakan yang sama apabila diterapkan di negara yang penduduknya skeptis terhadap keputusan-keputusan pemerintah.
Ekuador mengalami gelombang infeksi parah di pusat distrik bisnisnya, Guayaquil, pada April 2020. Sama seperti di negara Amerika Latin lainnya, virus itu kebanyakan diimpor oleh warga-warga berada yang pulang dari liburan ke Spanyol dan Italia. Hal ini membuat rumah sakit dan fasilitas pemakaman kewalahan. Banyak tubuh yang dibiarkan tak terurus di bawah matahari tropis dan pihak keluarga yang terpaksa membuat peti mati dari bahan seadanya.
“Kita pernah mengalami erupsi gunung berapi, epidemi, dan gempa bumi,” kata Presiden Ekuador Lenin Moreno kepada Financial Times. “Akan tetapi, krisis seperti ini belum pernah terjadi sebelumnya. Sang presiden mengumumkan defisit anggaran tahun ini akan berkisar pada US$12 miliar, atau sekitar 12 persen dari PDB. Untuk mengisi kekosongan, pemerintah telah mengumumkan penghematan pengeluaran sebesar US$4 miliar yang termasuk meniadakan pengeluaran perusahaan-perusahaan BUMN, likuidasi perusahaan penerbangan negara, dan meminta pegawai pemerintahan dan para guru untuk mengurangi gaji dan jam kerja mereka.
Angka kematian akibat virus corona sebenarnya jauh lebih rendah di Argentina dan Kolombia, dua negara Amerika Latin dengan perekonomian terkuat keempat dan ketiga. Meskipun demikian, penularan virus corona belum sepenuhnya teratasi dan mereka terpaksa memperpanjang karantina wilayahnya, sesuatu yang juga memperparah dampak ekonomi di sana.
Hanya dua negara kecil Uruguay dan Kosta Rika yang dapat mengklaim kesuksesan karantina wilayah dan menurunnya angka kasus Covid-19. Kedua negara tersebut memiliki sistem kesehatan yang didanai pemerintah. Menteri Luar Negeri Uruguay, Ernesto Tavli, menyatakan lockdown, tes dan pelacakan yang efektif adalah kunci keberhasilan negara itu.
Menurutnya, Uruguay memiliki tradisi demokrasi yang lebih kuat yang membuat rakyatnya percaya dengan arahan dari pemerintah. “Untuk saya pribadi, itu adalah pelajaran paling berharga dari semua ini. Yaitu tingkat kepercayaan institusi,” kata Talvi.
Namun, Uruguay hanya pengecualian untuk benua yang tengah terseok menghadapi pandemi. Bank-bank Wall Street memprediksi jatuhnya PDB dari 6 hingga 9 persen tahun ini bagi negara-negara Latin Amerika yang paling terdampak, dan diikuti dengan masa pemulihan yang lemah pada tahun 2021 untuk Brasil, Meksiko, dan Argentina. Secara kontras, Cina, Taiwan, dan Vietnam diprediksi akan tumbuh sedikit tahun ini dengan India dan Indonesia diprediksi mengalami resesi moderat.
Menurut Luis Alberto Moreno, kepala Inter-American Development Bank, pandemi telah berefek parah pada perekonomian Amerika Latin yang paling rentan, menekan harga-harga minyak dan komoditas-komoditas, menghentikan turisme, dan secara drastis mengurangi pemasukan dolar dari pekerja mereka di manca negara.
Apalagi utang pemerintah di negara Amerika Latin semakin bertambah dalam satu dekade terakhir seiring dengan tersendatnya pertumbuhan perekonomian mereka pasca booming komoditas global. Menurut IMF, utang bruto pemerintah tercatat 48.9 persen dari PDB di 2009 dan naik signifikan 70 persen pada 2019. Total utang luar negeri Amerika Latin membengkak dua kali lipat dari US$1.1 trilliun pada 2009 menjadi US$2.4 trilliun satu dekade kemudian.
“Sepertinya kita berada di bagian paling curam dari pertumbuhan pandemi,” kata Moreno dari IDB. “Akan tetapi memang benar bahwa semua negara sedang mencoba melandaikan kurva, kurva utang untuk pemerintahan negara, perusahaan, dan penduduk juga bertambah seiring dengan kemiskinan yang terjadi dan pengangguran yang meninggalkan konsekuensi sulit untuk wilayah itu.”
Sumber: FT / Ilustrasi: Firdhy Esterina
Pukulan telak perdagangan
Menurut Kepala Riset Pasar Negara Berkembang HSBC, Murat Ulgen, perekonomian negara-negara Amerika Latin sudah berada pada posisi paling lemah saat dilanda krisis Covid-19. Ia menyalahkan penurunan tajam dalam produktivitas total pada dekade sebelumnya seiring dengan mandegnya reformasi struktural. Dia juga menyebut cepatnya negara-negara di kawasan itu menuju de-industrialisasi menambah ketergantungan pada ekspor bahan mentah.
“Hal ini menempatkan Amerika Latin di belakang pasar berkembang,” kata Ulgen. “Dan berikutnya yang terjadi adalah jatuhnya harga komoditas dan minyak yang berefek pada perdagangan banyak negara Amerika Latin.”
Hal tersebut menambah keraguan akan seberapa cepat wilayah itu akan mampu pulih dari pandemi. Utang pemerintah diperkirakan oleh Bank of America akan menembus 80 persen dari PDB tahun ini di Brasil dan Argentina dan mendekati 60 persen untuk Meksiko. Jumlah itu dua kali lipat dibanding ketika krisis finansial global.
Dan lagi, negara di Amerika Latin memiliki tingkat tabungan yang rendah, sehingga sangat bergantung pada pembiayaan eksternal. Ini meningkatkan kerentanannya terhadap arus modal keluar karena investor melarikan diri dari negara-negara yang berisiko; Institute of International Finance memperkirakan bahwa investor portofolio asing akan menarik modal US$ 25.5 miliar dari Amerika Latin tahun ini, sebagian besar dari pasar saham.
"Krisis ini telah menyoroti banyak masalah yang ada di sana, yang belum diselesaikan oleh kita sebagai masyarakat," kata Moreno dari IDB. Ia menambahkan bahwa protes tahun lalu terjadi karena kualitas pendidikan, khususnya pendidikan menengah, dan kualitas layanan kesehatan. "Itu bukan keluhan bahwa tidak ada layanan, itu keluhan tentang kualitas mereka."
Seorang demonstran menatap polisi anti huru hara, saat berunjukrasa memperingati kudeta militer 1973 di Santiago, Cile, pada 11 September 2016. REUTERS/Carlos Vera
Menjaga agar pengangguran tak bertambah adalah prioritas utama. Presiden Kolombia Iván Duque merilis serangkaian kebijakan untuk perlindungan ketenagakerjaan dan stimulus ekonomi - mulai dari membantu perusahaan membayar gaji hingga insentif untuk industri konstruksi. Semua untuk mengurangi dampak ekonomi pandemi. Ia menambahkan bahwa “upaya seperti ini tidak pernah dilakukan di Amerika Latin dalam situasi seperti ini ”. Namun Duque menambahkan kawasan itu memiliki “kelas menengah yang rentan dan kami memiliki tingkat informalitas yang tinggi dan itu berarti virus corona berefek lebih parah pada kami”.
Utang yang menggunung
Lembaga keuangan multilateral melakukan apa yang mereka bisa untuk membantu. IMF mencairkan dana tambahan hingga US$50,6 miliar untuk Amerika Latin dan Karibia dengan kredit fleksibel, peningkatan program yang sudah ada dan beberapa bantuan darurat. IDB sendiri meminjamkan jumlah yang belum pernah terjadi sebelumnya - hingga US$ 15 miliar ke sisi publik dan US$ 7 miliar untuk sektor swasta.
Peru dan Chile bergabung dengan Kolombia guna mengumumkan paket-paket stimulus. Akan tetapi Argentina, dengan pinjaman yang sudah mendekati 90 persen dari PDB - dan telah gagal membayar utang luar negerinya - memiliki ruang yang sangat kecil untuk bermanuver.
Di Meksiko, López Obrador telah mengesampingkan bantuan pemerintah untuk bisnis apapun kecuali bisnis mikro dan telah menggandakan penghematan, menolak memberi pinjaman tambahan meski berada pada level aman dalam standar internasional. Di Brasil, agenda reformasi ekonomi pasar bebas ambisius yang diluncurkan oleh menteri keuangan Paulo Guedes telah terhenti.
Menteri Talvi dari Uruguay mengatakan, dia dan rekan-rekan sesama menteri luar negeri Amerika Latin lainnya telah membahas kemungkinan meminta institusi finansial internasional agar siap "mengeluarkan bantuan besar-besaran bagi negara-negara yang kehilangan akses kredit atau pembiayaan perdagangan".
Dia wanti-wanti bahwa Amerika Latin terancam menghadapi “dekade yang hilang” berikutnya seperti pada tahun 1980-an yang membawa wilayah ini terjun bebas ke dalam utang berliku dan jatuhnya upah riil. Kondisi baru membaik setelah Brady Plan diperkenalkan untuk negara-negara Amerika Latin dimana pinjaman yang gagal bayar bisa digunakan kembali sebagai obligasi.
“Kita akan keluar dari pandemi ini dengan utang menggunung,” kata Talvi. “Kami membutuhkan Brady Plan instan.”
Artikel ini pertama kali diterbitkan Financial Times pada 14 Juni 2020
Penerjemah: Ricky M. Nugraha
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo