Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DRAMA pasokan gas di Aceh mendekati babak akhir, justru di penghujung masa pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri. Padahal urusan yang membuat PT Pupuk Iskandar Muda (PIM) I, II, dan Asean Aceh Fertilizer (AAF) "mati" itu hampir dua tahun menggantung tanpa juntrungan. Beberapa kali dibahas di sidang kabinet, masalah pasokan gas ketiga pabrik pupuk itu tak kunjung berubah.
Ketika kemampuan produksi lapangan gas Arun terus anjlok secara alamiah, gas yang ada terikat kontrak gas alam cair (LNG) dengan pembeli asing. Sebetulnya, sejak Maret lalu ada aliran gas ke pabrik pupuk. Tapi volumenya hanya cukup untuk menghidupkan satu pabrik (PIM I). Per Mei, AAF menderita kerugian US$ 6,1 juta (Rp 55 miliar), sedangkan manajemen PIM memproyeksikan kerugian Rp 30 miliar tahun ini.
Menurut Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Purnomo Yusgiantoro, Senin pekan ini kabinet melakukan sidang terbatas dengan agenda memutuskan masalah pasokan gas ke Aceh. "Saya dipanggil untuk membahas masalah pasokan gas ke Aceh," kata Purnomo di Istana Negara, pekan lalu, tanpa memberi penjelasan tambahan.
Dokumen yang diperoleh Tempo menyebutkan, kantor Menteri Koordinator Perekonomian menyiapkan beberapa pilihan solusi yang akan diteken Presiden. Dalam surat Menko Perekonomian Dorodjatun Kuntjoro-Jakti kepada Presiden Megawati pada 21 September lalu, disebutkan masalah pasokan gas di Aceh akan diselesaikan secara jangka pendek, menengah, dan panjang.
Dalam jangka pendek (2004-2005), pemerintah akan meminta penjadwalan ulang pengiriman kargo LNG ke Korea Selatan dan Jepang. Di sisa tiga bulan tahun ini, Indonesia meminta penundaan delapan kargo supaya PIM I dan AAF mendapat pasokan gas lagi. Untuk lima tahun ke depan, pemerintah meminta penundaan 16 kargo supaya ketiga pabrik "hidup" lagi.
Pemerintah akan menghentikan pasokan gas Pupuk Kaltim I supaya lapangan gas Bontang di Kalimantan Timur punya cukup gas untuk menerima pengalihan kontrak Arun. Perpanjangan kontrak LNG dari Arun II ke pembeli Jepang juga dibatalkan. Kalau pilihan ini diambil, pemerintah harus rela kehilangan pendapatan US$ 200 juta per tahun.
Sebaliknya, tiga pabrik pupuk bisa beroperasi selama lima tahun ke depan, dengan potensi pendapatan US$ 140 juta pada 2007. Dengan nilai tambah di daerah, nilai ekonomisnya lebih tinggi dari US$ 200 juta itu. Alternatifnya, pemerintah akan melakukan transfer kontrak LNG Arun ke lapangan gas Bontang untuk pembeli Korea II. Bagaimana jangka panjang?
Pengembangan lapangan gas Blok A—tak jauh dari Arun—akan jadi pilihan satu-satunya. Untuk itu, pemerintah rela mengurangi pendapatannya. Sebab, kontraktornya, Conocophillips, meminta bagian sama besar dengan bagian pemerintah, atau split 50 : 50. Dengan cadangan gas 560 miliar kaki kubik, lapangan Blok A menambah umur pabrik pupuk hingga 2014.
Sumber Tempo di lingkungan migas menjelaskan, sidang kabinet terbatas Senin ini ibarat ketok palu atas usulan Menko Perekonomian. Untuk jangka pendek dan menengah, pemerintah lebih suka memilih penjadwalan ulang ketimbang pembatalan kontrak. Sebab, risiko penalti atau arbitrase bagi pemerintah hampir tidak ada. "Apalagi sudah ada penjadwalan ulang yang berhasil," kata sumber tersebut.
Data Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (BP Migas) menyebutkan, Korean Gas sudah bersedia menunda tiga kargo pada tahun ini. Dari lapangan Bontang, Pertamina berhasil meminta penjadwalan ulang sembilan kargo kepada Jepang. Celakanya, Pertamina, yang ditunjuk pemerintah selaku penjual LNG Indonesia, belum melakukan negosiasi penjadwalan ulang itu.
Menurut Direktur Pemasaran dan Niaga Pertamina, Arie Soemarno, Pertamina justru masih rada "sungkan" lantaran tahun ini tak mampu memenuhi kontrak lapangan Bontang. "Negosiasi penjadwalan ulang untuk Arun belum konkret," kata Arie Soemarno.
Pengamat migas Ramses Hutapea mempertanyakan efektivitas kebijakan Presiden Megawati mengatasi masalah pasokan gas di Aceh ini. Sebab, persetujuan di luar kelaziman, seperti bagi hasil 50 : 50 yang diminta Conocophillips, tak pantas dilakukan di penghujung masa kabinetnya. "Etika harus dijaga. Mestinya ada moratorium kebijakan strategis itu," katanya.
M. Syakur Usman
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo