Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SUBSIDI bahan bakar minyak (BBM) kini malah mirip labirin. Berliku-liku, penuh jebakan, dan sering kali jalan keluarnya cuma satu. Pangkal soalnya adalah kenaikan besaran subsidi BBM tahun ini yang luar biasa, empat kali lebih dari yang dianggarkan sebelumnya. Pemerintah Megawati Soekarnoputri dan DPR lama (1999-2004) sepakat mengurangi jumlah subsidi dari yang semula diusulkan pemerintah, Rp 63,1 triliun, menjadi Rp 59,2 triliun, dengan penghematan Rp 3,9 triliun. Penghematan ini antara lain dipakai untuk menaikkan anggaran pembangunan.
Dalam kesepakatan yang diteken Jumat dua pekan lalu itu, pengurangan subsidi ini bisa dilakukan dalam tiga opsi: menaikkan harga BBM, mengurangi konsumsi BBM, dan menghemat biaya pokok. Yang jadi soal, bukan pemerintah Megawati yang akan menjalankan kesepakatan tersebut, melainkan duet Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla. Dengan waktu hanya dua bulan, agaknya muskil bagi pemerintah baru untuk memenuhi kesepakatan tersebut.
Ekonom yang juga pemimpin Partai Demokrat, Irsan Tanjung, mengakui tak mudah menyelesaikan masalah ini. Pekan depan, kaum muslimin sudah mulai memasuki bulan puasa, disusul Lebaran, Natal, dan Tahun Baru. Biasanya angka inflasi agak tinggi dibandingkan dengan bulan lain. Pemerintah baru jelas tak akan berani menaikkan harga BBM. Selain hal itu akan menganiaya masyarakat, kondisi makro-ekonomi yang sudah membaik bakal kembali terganggu. "Meskipun langkah ini yang paling mungkin untuk mengurangi subsidi, momentumnya kurang tepat," kata Irsan.
Pilihan kedua dan ketiga sangat bergantung pada kondisi eksternal. Pemerintah jelas tak akan mudah meminta masyarakat mengurangi konsumsi BBM. Terlebih lagi, produsen mobil dan motor sedang memasuki euforia pencapaian rekor penjualan baru sepanjang sejarah otomotif Indonesia. Perbankan dan lembaga keuangan lain juga berlomba-lomba menawarkan paket murah karena tingkat suku bunga memang sedang rendah-rendahnya. "Tidak mungkin pemerintah mengatur konsumsi BBM," kata ekonom Rino Agung Effendi.
Langkah mengurangi biaya produksi setali tiga uang. Komponen terbesar harga BBM sekarang adalah minyak mentah, yang sebagian besar masih diimpor. Apalagi tiba-tiba harga minyak di pasar internasional kembali menari-nari. Selasa pekan lalu, harga emas hitam di pasar New York sudah di atas US$ 50 per barel, rekor tertinggi selama 21 tahun terakhir. Kenaikan ini dipicu perang sipil di Nigeria—salah satu penghasil minyak terbesar di dunia—sementara krisis Irak belum juga beres. Belakangan, harga minyak turun ke kisaran US$ 46-47 per barel, setelah ada sinyal negara-negara produsen minyak akan membanjiri pasar.
Dengan situasi internal dan eksternal seperti itu, sulit bagi pemerintah baru untuk menyiasati keuangan negara agar bisa mendapatkan penghematan Rp 3,9 triliun. Rino Agung malah percaya, yang terjadi nanti bukannya penghematan, melainkan pembengkakan subsidi. Dia menghitung, jika harga minyak bertahan di atas US$ 45 per barel, harga rata-rata minyak sepanjang tahun ini tidak lagi US$ 36 per barel, tapi US$ 39 per barel. "Kalau ini terjadi, subsidi akan membengkak menjadi Rp 66 triliun," katanya.
Kemungkinan itu sangat terbuka karena belahan bumi utara kini sedang memasuki musim dingin. Sejumlah analis di pasar internasional menyatakan pasar minyak mentah dunia sekarang ini sangat ketat. Untuk pertama kalinya sepanjang sejarah, pertumbuhan permintaan jauh lebih cepat ketimbang perkembangan kapasitas produksinya. "Pasar minyak sekarang ini sangat rentan terhadap gangguan apa saja," kata Daniel Yergin, bos Cambridge Energy Research Associates, seperti dikutip MNSBC. Karena itu, mustahil mengharapkan harga minyak akan turun dalam 1-2 bulan ke depan. Sebagian analis malah memperkirakan krisis minyak ini akan berlanjut hingga tahun depan.
Susahnya, jika tak satu pun dari ketiga opsi tadi dipilih, itu berarti subsidi BBM—tanpa memperhitungkan kenaikan harga minyak pekan lalu—akan kembali ke Rp 63,1 triliun. "Harus memilih salah satu opsi," kata Anggito Abimanyu, penjabat sementara Kepala Badan Pengkajian Ekonomi dan Kerja Sama Internasional Departemen Keuangan. Jika harga minyak diperhitungkan, angkanya malah bisa lebih besar, seperti yang dikatakan Rino Agung.
Pilihan lain sebetulnya masih terbuka. Irsan, misalnya, melihat pos-pos pengeluaran di luar subsidi BBM masih membuka peluang menghemat anggaran. "Tapi kita masih harus meneliti lebih dalam," katanya. Ekonom Raden Pardede pun sepakat. Menurut dia, dalam kondisi anggaran yang berat, semua pos wajib dihemat. Pemerintah juga harus menggenjot sisi penerimaan negara untuk mengurangi defisit anggaran, seperti menaikkan tarif cukai dan pajak, mengubah bagi hasil antara pemerintah pusat dan daerah, atau menjadwal ulang utang luar negeri. "Semua pilihan ini memang tidak enak karena pasti akan menghadapi pertentangan," kata Raden.
Namun, ke depan, Raden dan Irsan setuju subsidi BBM dikurangi karena kebijakan ini memang tidak tepat sasaran. Orang yang memiliki kendaraan roda empat, yang banyak menggunakan premium, selayaknya membeli minyak dengan harga pasar. "Cara menghemat konsumsi BBM adalah dengan memaksa masyarakat yang memiliki mobil membeli BBM dengan harga pasar," kata Raden. Irsan pun menyebut subsidi yang terfokus pada konsumen yang tepat. Misalnya, subsidi premium dihapus, tapi solar, yang banyak dipakai nelayan atau pengusaha kecil, dan minyak tanah, yang mayoritas digunakan rakyat kelas ba-wah, masih perlu disubsidi.
Seharusnya, kata Irsan, penyesuaian harga BBM dilakukan sejak dulu. Tapi pemerintah Megawati tampaknya tidak ingin mengambil kebijakan yang tidak populer karena ini bagian dari strategi menghadapi pemilihan umum. "Tapi sudahlah, ini sudah jadi sejarah," ujar Irsan. Dan kini tinggallah pemerintah Yudhoyono yang harus mempelajari APBN Perubahan 2004 dengan cepat dan mencari solusi yang tepat. Jika tidak, Yudhoyono hanya akan memasuki labirin yang gelap dan rumit.
MT, Taufik Kamil
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo