Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pasar Tunggu Kabinet
Indeks harga saham gabungan (IHSG) pada akhir perdagangan pekan lalu tercatat 835,905 poin, naik 16,084 poin dibandingkan dengan IHSG pada awal pekan. Angka tersebut merupakan yang tertinggi sepanjang sejarah. Membuntuti indeks saham, rupiah juga berhasil menguat pada perdagangan pekan silam. Nilai tukar rupiah terhadap dolar pada penutupan perdagangan Jumat lalu berada di posisi Rp 9.044 per dolar AS, menguat tipis dibandingkan dengan pada pembukaan perdagangan Senin pekan silam, yaitu Rp 9.090.
Kendati indeks terus merambat naik, euforia pemilihan presiden di pasar mulai mereda. Di awal pekan, para broker saham terlihat merealisasi keuntungan yang mereka tuai dari kenaikan indeks dengan melepaskan saham mereka, dan indeks sempat jatuh selama perdagangan Senin dan Selasa—harga minyak yang naik sampai US$ 50 pada perdagangan Selasa menjadi salah satu penyebabnya. Tapi, bursa saham dan pasar uang kembali memperoleh angin segar setelah harga minyak di pasar dunia kembali turun di bawah US$ 50 per barel.
Pada perdagangan Jumat, rekor baru tercapai. Data makroekonomi yang dipublikasi oleh Badan Pusat Statistik (BPS) menenangkan hati para pelaku pasar. Inflasi sampai September (tahun takwim) baru 3,8 persen, masih jauh di bawah target APBN yang tujuh persen. Nilai ekspor Indonesia selama Januari-Agustus 2004 naik 5,75 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya. Dengan impor pada periode yang sama naik 36,5 persen, ada peluang ekspor akan naik lebih tinggi lagi selama tahun 2004.
Pekan depan, mata dan telinga pasar akan terarah ke pengumuman susunan kabinet baru. Calon presiden terpilih, Susilo Bambang Yudhoyono, menyatakan paling cepat akan mengungkap siapa-siapa saja yang akan duduk di kabinet hari Selasa (5/10). Tak sekadar susunan, pasar juga menanti apa saja agenda ekonomi Susilo dalam 100 hari awal pemerintahannya.
Kalangan dealer di bursa saham memprediksi indeks masih akan menari di kisaran 825 hingga 842. Namun, jika susunan kabinet dan program 100 hari sesuai dengan harapan pasar, bukan tak mungkin indeks akan tancap gas di atas 860. Kurs rupiah terhadap dolar AS kemungkinan tertahan di kisaran Rp 8.900 hingga Rp 9.100.
Pemerintah Turun, Daerah Naik
Pemerintah dan DPR akhirnya sepakat sedikit mengubah skema bagi hasil minyak dan gas antara pusat dan daerah. Sementara semula daerah penghasil minyak mendapat bagian 15 persen dan penghasil gas memperoleh 30 persen, nantinya jatah daerah-daerah kaya ini bertambah 0,5 persen menjadi masing-masing 15,5 dan 30,5 persen. Perubahan tersebut dimasukkan dalam revisi Undang-Undang No. 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, yang diteken DPR dan pemerintah Rabu pekan lalu.
Perubahan ini merupakan respons pemerintah dan DPR atas permintaan daerah yang minta jatah bagi hasilnya dinaikkan. Riau, misalnya, menuntut pembagian 40 persen. Dengan adanya perubahan ini, pemerintah bakal kehilangan pendapatan sekitar Rp 3 triliun per tahun. Namun, semuanya bergantung pada asumsi harga minyak dan harga minyak mentah di pasar internasional. "Kalau harga minyak tidak terlalu tinggi, kehilangan pendapatan kita juga mengecil," kata Anggito Abimanyu, pejabat sementara Kepala Badan Pengkajian Ekonomi Departemen Keuangan.
Indosat tanpa Nakhoda
Indosat kini ibarat kapal tanpa nakhoda. Rapat umum pemegang saham luar biasa (RUPSLB) Indosat, yang berlangsung Kamis pekan lalu, gagal menetapkan direktur utama yang akan menggantikan Widya Purnama. Widya sendiri kini menjadi Direktur Utama Pertamina. Sebelum rapat, pemerintah menyorongkan nama Direktur Utama Aplikanusa Lintasarta—anak perusahaan Indosat—Yoyo Waluyo Basuki sebagai calon orang nomor satu di Indosat. Namun, Singapore Telecommunication Technology sebagai pemegang saham terbesar (42 persen) malah meminta posisi itu dikosongkan.
Akhirnya, untuk memutuskan soal itu, diambil jalan pemungutan suara (voting). Dari 70 persen yang memberikan suara—sisanya abstain—90 persen di antaranya setuju posisi nomor satu dikosongkan. "Demi kebaikan Indosat dan sesuai dengan kesepakatan bersama, posisi direktur utama sementara waktu dikosongkan," kata Roes Aryawidjaya, Deputi Menteri BUMN Bidang Telekomunikasi, Pertambangan, Energi, dan Industri Strategis, yang juga Komisaris Utama Indosat. Kendali perusahaan sementara ini diserahkan kepada Wakil Direktur Utama, Ng Engho—perwakilan Singapore Telecom.
Ekspor Kayu Gergajian Dilarang
Pemerintah akhirnya melarang ekspor kayu gergajian dan kayu untuk bantalan rel. Pelarangan ini ditetapkan berdasarkan surat keputusan bersama Menteri Kehutanan, M. Prakosa, dan Menteri Perindustrian dan Perdagangan, Rini M.S. Soewandi, yang dikeluarkan Jumat dua pekan lalu. Kayu gergajian yang dilarang ini adalah yang memiliki ketebalan lebih dari 6 mm. Kepala Pusat Informasi Departemen Kehutanan, Transtoto Handadhari, mengatakan bahwa pelarangan ini tetap berlaku untuk kayu gergajian yang sudah mendapat rekomendasi ekspor dari Departemen Kehutanan dan persetujuan Badan Revitalisasi Industri Kehutanan.
Pelarangan itu, kata Transtoto, untuk menanggulangi kekurangan bahan baku di industri pengolahan kayu. Pabrik pengolahan kayu belakangan ini memang makin sulit mendapat kayu secara legal karena hutan makin gundul akibat penebangan liar dan penyelundupan kayu. Kebijakan ini juga untuk mendorong ekspor produk kayu setengah jadi dan jadi. Sehingga, nantinya industri pengolahan kayu dapat meningkatkan nilai tambah melalui proses produksi dan penyerapan tenaga kerja.
PGN Genjot Konsumsi Gas
Perusahaan Gas Negara akan menggenjot penggunaan gas dalam industri. Saat ini perusahaan milik negara itu baru memasok sekitar 300 juta kaki kubik ke sektor industri setiap harinya. Namun, pada tahun 2006-2007, angkanya akan melonjak sampai 900 juta kaki kubik per hari atau sekitar 60 persen dari kebutuhan bahan bakar sektor industri, yang saat ini mencapai 1,5 miliar kaki kubik. "PGN akan bisa memenuhi kebutuhan 1,5 miliar kaki kubik pada tahun 2012," kata Direktur Utama PGN, W.M.P. Simanjuntak, di Jakarta, Kamis pekan lalu.
Simanjuntak mengatakan, makin besar penggunaan gas untuk industri untuk menggantikan bahan baku minyak (BBM), makin besar penghematan yang bisa dilakukan Indonesia. Seperti diketahui, sebagian kebutuhan BBM dalam negeri diimpor dari luar negeri. Selain itu, sebagian minyak mentahnya pun juga diimpor. Nah, ketika harga minyak melonjak seperti sekarang, devisa yang dipakai untuk membeli minyak mentah ataupun BBM juga ikut bertambah. Saat ini, harga minyak mentah bertahan di kisaran US$ 45 per barel.
Dengan harga minyak mentah di atas US$ 40, harga solar setara dengan 1.000 kaki kubik gas berkisar US$ 10, sementara harga 1.000 kaki kubik gas hanya US$ 4. Kini, kebutuhan solar untuk industri sekarang ini sekitar 1,5 juta kiloliter per tahun atau setara dengan 1,5 miliar kaki kubik per hari. Simanjuntak menghitung, jika 60 persen konsumsi solar sektor industri yang mencapai 900 juta kiloliter diganti gas bumi, penghematannya akan mencapai hampir US$ 2 miliar (Rp 18 triliun) per tahun. Terang bukan jumlah yang kecil di tengah mepetnya anggaran negara.
PPA Tolak Texmaco
Perusahaan Pengelola Aset (PPA) menolak rencana Menteri Keuangan yang hendak menyerahkan aset utang Grup Texmaco senilai Rp 29 triliun. Direktur Utama PPA, M. Syahrial, meminta Tim Pemberesan—aset tersebut kini di tim ini—agar masalah hukum Texmaco dibereskan dulu sebelum diserahkan ke PPA. Wakil Direktur Utama PPA, Raden Pardede, menambahkan, sesuai dengan Keppres No. 15/ 2004 tentang Pembubaran BPPN, PPA hanya mengelola aset-aset yang tidak memiliki perkara. "Ka-mi pertanyakan keputusan Menteri Keuangan itu," kata Raden.
Sebelumnya, Ketua Kelompok Kerja Tim Pemberesan BPPN Bidang Administrasi Aset, I Nyoman Sender, mengungkapkan bahwa Menteri Keuangan Boediono sudah memutuskan untuk mengalihkan penanganan Texmaco ke PPA, paling tidak selama enam bulan. Keputusan itu diambil dalam rapat pleno Tim Pemberesan BPPN, Jumat dua pekan lalu. Namun, ada perkara hukum yang masih mengganjal, yakni gugatan Texmaco yang mempersoalkan pengenaan status gagal bayar (default) yang menyebabkan restrukturisasi utang selama 11 tahun dianggap batal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo