Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Beribu Akal Menjaring Nasabah

Produk investasi asing berisiko tinggi terus bermunculan. Cara bergabung gampang, bunga tinggi terbayang.

23 April 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BRIAN Fox khusus didatangkan ke Jakarta, tiga pekan lalu. Terbang jauh-jauh dari Colorado, Amerika Serikat, Chief Executive Officer Powder River Basin Gas Corporation itu hadir dalam acara perkenalan produk in-vestasi OilPods di Agung Room Hotel Grand Hyatt, Jakarta.

Produk investasi yang ditawarkan Brian berupa penyertaan modal di ladang minyak dan gas milik perusahaannya. Unit yang dijual di Indonesia itu hasil kerja sama antara Powder dan OL&M, Business International Pte. Ltd. Perusahaan yang berpusat di Singapura ini menjual eceran 25 persen penyertaan modal miliknya kepada perorangan.

Powder memang lagi butuh duit US$ 20 juta untuk memproduksi minyak di Brookshire Salt Dome, Texas. Lewat penjualan produk tadi, perusahaan itu berharap bisa menjala US$ 4-8 juta dana dari Indonesia. Target US$ 2 juta per semester pun dipatok. Sisanya akan ditutup dari penjualan produk OilPods di Singapura.

Nilai unit dari produk itu dijual minimal US$ 10 ribu, atau sekitar Rp 90 juta, dengan kelipatan US$ 5 ribu. Lamanya kontrak 12 tahun, dengan empat bulan pertama merupakan proses pengurusan sertifikat kepemilikan atas ladang minyak dan gas yang ditawarkan.

Setelah itu investor dijanjikan mendapat pengembalian modal hingga akhir tahun kedua. Lalu selama 10 tahun, investor dijanjikan mendapat keuntungan 1,5 hingga 3 persen per bulan, yang ditentukan dari harga jual dan volume produksi minyak.

Bagaimana bila produksi macet? Menurut Fox, kepemilikan investor tidak hanya untuk satu sumur, tetapi untuk semua sumur dalam satu ladang minyak. ”Jadi kemungkinan tidak adanya produksi kecil sekali,” ujarnya hakul yakin. Hingga detik ini, Powder mengklaim berhasil menjala dana segar US$ 1 juta dari investor Jakarta dan Surabaya.

l l l

ACARA perkenalan produk investasi OilPods itu jauh dari gegap-gempita. Berlangsung satu jam, perhelatan itu cuma dihadiri juru warta media cetak. ”Ini memang dirancang untuk menangkis berita miring tentang produk investasi gara-gara kasus Dressel mencuat,” kata sumber di Berkat Lestari. ”Apalagi ada rumor bahwa kita masuk daftar hitam.” Nah, agar lebih meyakinkan, PT Berkat Lestari, agen pemasaran OilPods di Indonesia, mendatangkan Fox ke Indonesia.

Perhelatan itu memang tak sampai satu purnama setelah kantor pusat PT Wahana Bersama Globalindo di Wisma BRI II lantai 18, Jakarta, itu disegel pengelola gedung (Tempo, 12-18 Maret 2007). Wahana merupakan agen pemasaran Dressel Investment Limited, perusahaan investasi yang berpusat di British Virgin Islands, Laut Karibia, Amerika Selatan.

Penutupan kantor Wahana yang juga terjadi di beberapa kota lain. Medan, Surabaya, Malang, Makassar, hingga Manado geger dipicu oleh mampetnya pembayaran bunga plus simpanan pokok kepada sekitar 10 ribu nasabah Dressel. Di Surabaya bahkan sudah macet sejak November tahun lalu.

Padahal total duit yang ditanam sekitar Rp 3,5 triliun. Nasabahnya pun bukan orang sembarangan. Tak sedikit dari mereka adalah tokoh ternama dari pelbagai kalangan. Ketua DPR Agung Laksono, politisi Andi Mattalata, pengacara O.C. Kaligis, Wakil Direktur Utama Bursa Efek Surabaya Isakayoga, bekas Wakil Direktur Pertamina Mustiko Saleh, hingga praktisi film Mira Lesmana masuk deretan korban.

Bersamaan dengan lenyapnya duit nasabah, Presiden Direktur Wahana Krisno Abiyanto Soekarno ikut raib. Meletupnya kasus Dressel semakin melengkapi kisruh produk-produk investasi yang pernah terjadi. Bedanya, produk investasi sebelumnya itu hanya melibatkan perusahaan lokal.

Sebut saja kasus PT Probest International Indonesia empat tahun lalu, yang menimbulkan kerugian Rp 268 miliar. Disusul kemudian gonjang-ganjing PT Interbanking Bisnis Terencana (Ibist), pada November tahun lalu, yang merugikan 5.024 nasabah hingga Rp 224,57 miliar. Toh, tawaran investasi dengan bunga jumbo masih saja menyerbu para nasabah yang sepertinya tak pernah jera.

Kasus penggelapan dana masyarakat kembali terkuak pada Maret lalu. Kali ini pelakunya PT Sarana Perdana Indoglobal (SPIG). Perusahaan berkedok investasi dengan iming-iming imbal hasil 15 persen per tahun itu menggelapkan duit nasabah hingga Rp 2 triliun. Pemilik perusahaan, Leo Patar Sinaga, dan Rifa, istrinya, masih buron.

l l l

MUDAH terpikatnya orang Indo-nesia dengan tawaran bunga selangit menjadi sasaran baru bagi perusahaan investasi asing. Fenomena itu, kata Roland Haas, bankir investasi asal Belanda, sudah marak sejak dua tahun lalu. OilPods sesungguhnya bukanlah satu-satunya pemain yang gencar menjala duit di Indonesia. Salah satu produk lain yang agresif meraup nasabah adalah SwissCash.

Dikembangkan sejak dua tahun lalu oleh Swiss Mutual Fund (SMF), yang mengaku berpusat di Republik Dominika, program investasi yang dijalan-kan dengan sistem online ini menawarkan bunga hingga 25 persen per bulan.

Syarat menjadi nasabah gampang saja. Cukup mendaftarkan diri lewat situs SwissCash dengan menyertakan nomor keanggotaan sponsor (referral). Uang pendaftarannya US$ 30. Setelah mengantongi nomor anggota, nasabah baru bisa menyetor modal awal minimal US$ 1.000 ke rekening bank yang ditunjuk. ”Setelah itu akan mendapat e-point,” kata salah satu investor SwissCash yang tak mau disebut namanya.

Setiap 30 hari, kata sumber tadi, nasabah akan mendapatkan pemberitahuan melalui pesan pendek atau surat elektronik tentang jumlah e-point yang diperoleh. Pencairan dana bisa dilakukan dengan menukarkan e-point di money changer online. Lalu dana dikirim ke rekening nasabah yang didaftarkan di SwissCash.

Semuanya dilakukan secara online. Tidak ada kantor perwakilan di Indonesia. Juga tidak ada hitam di atas putih ketika mendaftar. ”Ini investasi beri-siko tinggi, dan Anda harus siap kehilangan uang,” kata investor tadi.

SwissCash dan OilPods bukan tanpa cela. Pada September tahun lalu, Bank Negara Malaysia dan Securities Commission, badan pengawas pasar modal negeri itu, meminta masyarakat Malaysia menentang Swiss Mutual Fund yang gencar mempromosikan produk SwissCash.

Perusahaan dan produk yang ditawarkan itu bahkan masuk daftar investor alert. Ini adalah kumpulan perusahaan, berikut produknya, yang mesti diwaspadai karena tidak mendapat izin dari Securities Commission di Malaysia.

Satu bulan kemudian, polisi Malaysia melakukan investigasi atas dugaan penipuan US$ 8,7 juta yang terjadi melalui SwissCash. Kedutaan Swiss di Malaysia pun meminta investor agar hati-hati terhadap SwissCash.

Hal yang sama terjadi di Singapura. Monetary Authority of Singapore (Mas) mengkategorikan SwissCash sebagai produk yang mesti diwaspadai. Kedutaan Swiss di Negeri Singa itu juga mengatakan pemakaian kata Swiss oleh perusahaan itu ilegal. Apalagi Swiss Mutual Fund tidak pernah terdaftar di Swiss. Situs resmi Swiss Mutual Fund sendiri terdaftar di Amerika, dengan nomor telepon di New Jersey.

Bagaimana dengan Powder River? Meski memiliki enam ladang minyak, kondisi perusahaan yang berdiri sejak 1999 ini tak begitu cemerlang. Menyimak laporan Securities and Exchange Commission di Amerika dua tahun lalu, Powder hanya membukukan pendapatan US$ 4,643 juta.

Yang menarik, laba bersihnya hanya US$ 699,33 ribu. Sedangkan pendapatan dari penjualan minyak dan gasnya cuma US$ 622,88 ribu. Pencapaian itu kalah jauh dibanding hasil penjualan unit penyertaan modal lewat produk OilPods, yang besarnya US$ 4,021 juta. Dengan kata lain, sebagian besar pendapatan Powder besar kemungkinan disumbangkan dari ”iuran” nasabah OilPods.

Hal lain yang menarik disimak, dengan 25 persen penyertaan modal di tangan investor, duit yang seharusnya disetor ke investor Oilpods US$ 155,7 ribu (seperempat dari hasil penjualan minyak dan gas Powder). Faktanya, duit yang diterima investor menembus US$ 482,5 ribu. Selisih angka ini diduga hasil tambal sulam dari penjualan eceran unit penyertaan modal di ladang minyak lainnya.

Berdasarkan catatan badan pengawas pasar modal Amerika itu, Powder juga tak pernah melakukan penelitian dan pengembangan di ladang minyak yang dimilikinya. Hingga akhir Desember 2005, jumlah karyawan tetapnya hanya enam orang, dengan dua pekerja paruh waktu.

Namun Anwar Eddy Hartono, Direktur PT Berkat Lestari, menampik perusahaan minyak yang menjadi mitranya tidak bonafide. ”Saya tantang, buktikan kalau bisnis ini tidak benar,” katanya.

Yandhrie Arvian, M. Nafi, D.A. Candraningrum

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus