KALAU ada satu variabel jang paling sulit diramalkan oleh para
perentjana di BAPPENAS dalam proses perentjanaan, maka variabel
tersebut tidak lain adalah stockpile karet Amerika Serikat.
Tingkah laku jang tidak dapat diramalkan dari General Service
Administration (GSA), instansi pemerintah Amerika jang menguasai
persediaan karet lebih, menjebabkan perentjanaan dibidang
perdagangan luar negeri sedikit sulit.
Pengumuman GSA jang mengatakan bahwa sedjumlah 72.000 long ton
karet akan dilepaskan dalam djangka waktu dua tahun baru-baru
ini untuk kesekian kalinja mengedjutkan dan sekaligus
mengetjewakan negara-negara produsen karet alam. Hal ini
terdjadi sekalipun ANRPC (Persatuan Negara-Negara Penghasil
Karet Alam) bulan Djanuari jang lalu telah mengirimkan satu
delegasi ke Washington jang mendesak pemerintah Amerika untuk
menunda pelepasan persediaan karet lebih. Hal jang sama djuga
dilakukan oleh duta besar Sudjatmoko sebulan sebelumnja.
Tekanan-tekanan diplomatik jang keras seperti ini rupanja tidak
dapat memaksa pemerintah Amerika untuk mendjandjikan satu
penjelesaian masalah stockpile karet setjara permanen. Jang
diperoleh selalu hanjalah "penger-tian" pemerintah Amerika akan
memburuknja harga karet alam di pasaran internasional. Sekalipun
demikian, ternjata pada bulan Mei-Djuni jang lalu, GSA dapat
menahan diri untuk hal melepaskan persediaan karetnja. Negara
penghasil karet alam berharap bahwa keadaan ini akan
berlangsung terus, karena ternjata memberi pengaruh jang baik
bagi harga karet alam. Segera sesudah GSA mengumumkan akan
menunda pelepasan persediaan karetnja perteng-ahan April jang
lalu Rusia dan RRT mulai terdjun kepasaran. Di Singapura, harga
karet naik dengan 2 sen MS per kilo, di London naik dengan 0,25
pence, dan di New York naik dengan 1/8 point per kilo. Dan pada
pertengahan Mei jang lalu, harga meningkat mentjapai titik
tertinggi untuk tahun 1971. Di Singapura harga mentjapai M$
116,50 per kilo, di London mentjapai 16,65 pence per kilo. Dan
di New York mentjapai 19,5 dollar AS per kilo.
Spekulasi. Ternjata keadaan jang baik ini tidak berlangsung
lama. Mendjelang achir Djuni jang lalu harga karet merosot lagi.
Hal ini disebabkan karena kontrak kontrak pembelian dari Rusia
atau-pun RRT belum ada jang terlaksana. Sementara itu diantara
peda-gang karet mulai timbul spekulasi bahwa penundaan pelepasan
karet oleh GSA akan segera berachir, dan bahwa waktunja tidak
akan lama lagi bagi GSA untuk mengumumkan pelepasan stok
karetnja lagi. Apa jang mendjadi spekulasi sebelumnja, pada awal
Djuli ini ternjata memang benar.
Bagaimanapun djuga memang sulit diharap bahwa GSA akan terus
menunda pelepasan persediaan karetnja. Apalagi kalau diingat,
bahwa djumlah jang direntjanakan semula untuk dilepas, baru
sedikit sekali jang terlaksana Bulan Pebruari tahun 1970 jang
lalu, GSA mengumumkan akan melepas persediaan karetnja sedjumlah
16o.000 long ton (172.000 ton). Tetapi pada tahun 1970 tersebut
baru senpat dilepaskan 25.936 ton, dan pada bulan Djanuari dan
Pebruari 1971 sudah dilepas sedjumlah 2.500 ton. Djadi dengan
demikian, masih ada sisa sekitar 143.000 ton jang djelas se-
waktu-waktu akan mengantjam pasaran karet alam. Djadi sekalipun
misalnja dalam dua tahun ini berhasil dilepas 5.000 ton, masih
akan ada sisa sekitar 5.000 ton karet dalam persediaan GSA.
Dengan demikian maka berarti bahwa dalam dua atau tiga tahun
mendatang, nasalah persediaan karet alam GSA masih akan tetap
merupakan sumber jang menambah harga karet alam dipasaran
internasional
Lihai. Jang sulit untuk dimengerti adalah mengapa GSA musti
merasa perlu sekarang ini untuk mulai melepaskan persediaan
karetnja, sesudah dimasa lalu beberapa kali dia dapat
menundanja. Barangkali GSA berpendapat bahwa dengan makin
giatnja Rusia dan RRT menggunakan kontrak-kontrak pembela akan
memperbaiki harga karet, sehingga pelepasan 6.000 long ton
sebulan menurut pendapatnja tidak akan banjak berpengaruh.
Djumlah ini memang tidak seberapa dibanding dengan seluruh
djumlah persedlaan karet dunia. Namun jang djelas, djumlah jang
hampir sama dengan ekspor karet Indonesia ke Amerika tiap bulan
ini akan berpengaruh besar tentunja bagi ekspor karet Indonesia.
Tahun jang lalu, dengan kemerosotan hingga jang disebabkan oleh
pelepasan karet CSA, Indonesia diperkirakan menderita rugi
sebesar kurang lebih 50 djuta $AS. Dan untuk setengah tahun
pertama tahun 1971 ini harga jang sudah merosot rata-rata 3 sen
dollar AS per kilo, maka kalau djumlah jang sudah diekspor
Indonesia meliputl 375.000 ton, berarti dalam waktu 6 bulan
pertama sadja Indonesia sudah kehilangan devisa sekitar 11,25
djuta dollar AS. Sekalipun djumlah jang dilepaskan memang
ketjil, tapi kechawatiran negara-negara produsen karet alam
memang dapat dimengerti. Tahun jang lalu, sekalipun djumlah jang
dilepaskan hanja 1%, dari seluruh penawaran dunia, tapi sudah
tjukup untuk menarik kebawah harga karet dengan 32,5%, Pelepasan
karet GSA ini bukan satu-satunja penjebab kemerosotan harga,
(sebab lain karena makin meluasnja penggunaan karet sintetis,
dan keadaan ekononi dunia jang masih belum pulih dari resesi)
Tapi GSA jang selalu memprodusir teka-teki, menjebabkan para
spekulan karet di Singapura jang lihai itu dapat mempermainkan
harga, dan inilah jang menambah buruknja situasi harga selama
ini.
Laut. Beberapa tjara penjelesaian telah dikemukakan dalam
menghadapi antjaman persediaan karet GSA. Menteri Perdagangan
Malaysia pernah mengusulkan agar persediaan karet GSA dibuang
sadja kelaut, satu usul jang kedengarannja seperti lelucon,
tetapi jang sebenarnja tjukup serius, mengingat bahwa pembuangan
barang kelaut bukan tidak pernah dikerdjakan dimasa-masa lalu
dalam menghadapi kelebihan produksi. Dikalangan ANRPC sendiri
timbul pikiran untuk mengusahakan agar IMF membantu membeli
seluruh tjadangan karet GSA seharga 100 djuta dollar AS.
Sebagian besar anggota IMF pasti tidak akan senang melihat IMF
melakukan hal ini, apalagi negara penghasil karet alam hanjalah
minoritas dalam IMF, disamping IMF sendiri masih banjak
mempunjai prioritas-prioritas lain disamping hanja sekedar
mengurusi masalah harga karet.
Salah satu djalan jang paling mendekati kemungkinan barangkali
adalah seperti apa jang dikemukakan Ketua GPEI Naafie, jaitu
agar dilakukan kontrak djangka pandjang dalam ekspor karet.
Kalau ini dapat ditjapai, maka ekspor karet sekurang-kurangnja
akan ter-lindung dari londjakan harga dan akan mendjamin
penerimaan devisa. Masalahnja adalah apakah konsumen karet akan
bersedia mengadakan kontrak djangka pandjang seperti ini,
mengingat bahwa selama ini mereka dalam posisi penawaran jang
lebih kuat daripada si eksportir. Karena itu pada achirnja,
negara penghasil karet alam akan terus hidup di bawah bajangan
hantu stockpile karet.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini