Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Tuan tanah yang malang

Tuan tanah kedawung produksi kedua tidar film dengan sutradara lilik sujio. mengisahkan keruntuhan keluarga tuan tanah karena kecurangan isteri mudanya. hasil karya lilik tidak menggembirakan.

24 Juli 1971 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUTRADARA Nawi Ismail barangkali tidak salah ketika ia men-sinjalir bahwa penonton Indonesia ibarat orang makan selalu ingin disuguhi hingga perutnja meleduk (TEMPO, 27 Maret). Paling tidak inilah jang dirasakan setiap menjaksikan film-film Indonesia. Tapi melihat bahwa film-film impor jang menghindari suguhan jang membuntjitkan perut, Ketua Dewan Kesenian Djakarta, Dr Umar Kayam, djadi bertanja: "Apa ini berarti bahwa penonton kita menggunakan ukuran ganda?" Belum djelas, meskipun kemungkinan tetap terbuka bahwa sinjalemen Nawi tidak kurang dari tjuma suatu permintaan maaf atas hasil jang baru bisa ditjapai. Ini persoalan djuga timbul ketika menjaksikan Tuan Tanah Kedawung produksi kedua Tidar Film dengan sutradara Lilik Sudjio. Disana dikisahkan keruntuhan keluarga tuan tanah (Awaluddin) jang disebabkan oleh kecurangan isteri mudanja jang bernama Zubaidah (Tina Melinda). Sang bini tidak main sendiri, sebab sang kasir Samirun (Ami Priono) ternjata punja hasrat besar terhadap kekajaan tuannja. Berbagai tjara mereka lakukan, tapi kematian tuan tanah oleh ratjun isterinja sendiripun tidak berdaja memindahkan kekajaan itu ketangan Samirun dan Zubaidah. Pewaris sah dan putera tunggal tuan tanah, Giran (Dicky Suprapto) disia-sati oleh ibu tirinja dengan menjuruhnja ke Kalimantan mengurusi kekajaan ajahnja disana. Dibelakang, kasir Samirun memaksa isteri Giran, Ratna (Suzanna) untuk menjerahkan kotak berisi surat wasiat almarhum. Semuanja bisa berhasil andaikata tidak ada pelajan setia Samolo (Maruli Sitompul) meskipun ia harus mengorbankan mata setelah membunuh Samirun dan pelajan Sarkawi (Kusno Sudjarwadi). Ketika Giran pulang dari Kalimantan, ia memang bisa diperdaja oleh ibu dan adik tirinja, Mitra (Farouk Afero), tapi semuanja berachir ketika pelajan setia, Nji Ronde (Marliah Hardi) buka mulut. Banjolan. Biograti keluarga tuan tanah jang diangkat dari komik karja Ganes Tin ini bukannja tidak menarik, meskipun terlalu berkepandjangan untuk sebuah film. Orang jang pernah membatja komik aslinja menganggap Lilik terlalu setia kepada lukisan Ganes. Soalnja barangkali bukan setia atau berchianat, sebab sebuah komik jang baik memang mirip sebuah skenario jang dilukis-kan, tjuma sadja bedanja adalah bahwa melalui kamera, tokoh-tokoh kisah itu akan hidup dan berbitjara. Kelemahan Lilik barangkali disini. Tokoh-tokoh jang ia hadirkan terasa tidak bagaikan manusia dengan darah dan daging. Gaja permainan Tina Melinda tidak begitu konstan, kadang-kadang serius, seringkali bagaikan parodi bagi ibu tiri jang tamak. Dan pada bagian terachir, adegan pertemuan Tina. Dicky, Farouk dan Suzanna, betul-betul membing-ungkan. Disitu ada banjolan ada horror disamping keedanan Farouk jang tidak pula menentu. Dibanding dengan Si Buta Dari Gua Hantu, skenario film ini djauh dibawah persjaratan. Kalimat-kalimat jang mengingatkan film tahun limapuluhan bertaburan dimana-mana. Kata-kata konjol memantjing banjak ketawa meskipun jang diinginkan airmata. Hal jang sudah djelas tambah diper-djelas, sehingga film jang sebenarnja bisa baik mendjadi bahan tertawaan. Mungkin akan lebih berhasil andai kata film ini di-edit kembali, diperpendek. Dan kalau bisa dimulai dengan kedatangan Giran dari Kalimantan sambil membuang adegan-adegan konjol Tina dan Farouk. Apa jang disadjikan sekarang ini betul-betul suatu hasil jang tidak matang dan dengan paksa menempatkan penonton dalam kelas tahun limapuluhan. Ami. Sedikit mengherankan ialah Lilik sendiri: setelah hampir rapih dalam Si Buta, ia mendjadi kedodoran dengan Tuan Tanab. Ketjuali aspek teknik, hampir semuanja kuno. Para pemain bagai- kan tak tersentuh sutradara, sehingga semua orang boleh punja gaja sendiri, ketjuali barangkali Maruli Sitompul jang meskipun masih seperti si Mata Malaikat, namun permainannja konstan. Ami Priono hanja menang postur, sehingga kehadirannja tidak lebih dari penempatan sebuah patung disudut jang kosong. Peranan ini terlalu berat baginja, lagi pula dialognja mendatar tanpa nuansa sedikitpun. Alhasil, karja Lilik ini sama sekali tidak menggembirakan. Apa jang ia hidangkan tidak lebih dari serentetan gambar hidup jang hampir tidak hidup. Bagian-bagian jang seharusnja mengharukan -- pertemuan ajah dengan anak, pertemuan suami dengan isteri --berlalu dengan tjepatnja tanpa tarikan napas pandjang sekalipun, smentara kedjadian sambil lalu -- adegan konjol Tina, Farouk, Suzanna dan Dicky -- digambarkan berkepandjangan seperti mie-rebus setengah matang. Sajang sekali bahwa kesempatan jang banjak bagi sutradara mtuk memperlihatkan kemampuannja, momen jang tjukup buat pemain untuk membuktikan bakatnja, semuanja beralu dengan sepi dalam kisah Tuan Tanah jang malang ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus