SUTRADARA Nawi Ismail barangkali tidak salah ketika ia
men-sinjalir bahwa penonton Indonesia ibarat orang makan selalu
ingin disuguhi hingga perutnja meleduk (TEMPO, 27 Maret). Paling
tidak inilah jang dirasakan setiap menjaksikan film-film
Indonesia. Tapi melihat bahwa film-film impor jang menghindari
suguhan jang membuntjitkan perut, Ketua Dewan Kesenian Djakarta,
Dr Umar Kayam, djadi bertanja: "Apa ini berarti bahwa penonton
kita menggunakan ukuran ganda?" Belum djelas, meskipun
kemungkinan tetap terbuka bahwa sinjalemen Nawi tidak kurang
dari tjuma suatu permintaan maaf atas hasil jang baru bisa
ditjapai.
Ini persoalan djuga timbul ketika menjaksikan Tuan Tanah
Kedawung produksi kedua Tidar Film dengan sutradara Lilik
Sudjio. Disana dikisahkan keruntuhan keluarga tuan tanah
(Awaluddin) jang disebabkan oleh kecurangan isteri mudanja jang
bernama Zubaidah (Tina Melinda). Sang bini tidak main sendiri,
sebab sang kasir Samirun (Ami Priono) ternjata punja hasrat
besar terhadap kekajaan tuannja. Berbagai tjara mereka lakukan,
tapi kematian tuan tanah oleh ratjun isterinja sendiripun tidak
berdaja memindahkan kekajaan itu ketangan Samirun dan Zubaidah.
Pewaris sah dan putera tunggal tuan tanah, Giran (Dicky
Suprapto) disia-sati oleh ibu tirinja dengan menjuruhnja ke
Kalimantan mengurusi kekajaan ajahnja disana. Dibelakang, kasir
Samirun memaksa isteri Giran, Ratna (Suzanna) untuk menjerahkan
kotak berisi surat wasiat almarhum. Semuanja bisa berhasil
andaikata tidak ada pelajan setia Samolo (Maruli Sitompul)
meskipun ia harus mengorbankan mata setelah membunuh Samirun dan
pelajan Sarkawi (Kusno Sudjarwadi). Ketika Giran pulang dari
Kalimantan, ia memang bisa diperdaja oleh ibu dan adik tirinja,
Mitra (Farouk Afero), tapi semuanja berachir ketika pelajan
setia, Nji Ronde (Marliah Hardi) buka mulut.
Banjolan. Biograti keluarga tuan tanah jang diangkat dari komik
karja Ganes Tin ini bukannja tidak menarik, meskipun terlalu
berkepandjangan untuk sebuah film. Orang jang pernah membatja
komik aslinja menganggap Lilik terlalu setia kepada lukisan
Ganes. Soalnja barangkali bukan setia atau berchianat, sebab
sebuah komik jang baik memang mirip sebuah skenario jang
dilukis-kan, tjuma sadja bedanja adalah bahwa melalui kamera,
tokoh-tokoh kisah itu akan hidup dan berbitjara. Kelemahan Lilik
barangkali disini. Tokoh-tokoh jang ia hadirkan terasa tidak
bagaikan manusia dengan darah dan daging. Gaja permainan Tina
Melinda tidak begitu konstan, kadang-kadang serius, seringkali
bagaikan parodi bagi ibu tiri jang tamak. Dan pada bagian
terachir, adegan pertemuan Tina. Dicky, Farouk dan Suzanna,
betul-betul membing-ungkan. Disitu ada banjolan ada horror
disamping keedanan Farouk jang tidak pula menentu.
Dibanding dengan Si Buta Dari Gua Hantu, skenario film
ini djauh dibawah persjaratan. Kalimat-kalimat jang
mengingatkan film tahun limapuluhan bertaburan dimana-mana.
Kata-kata konjol memantjing banjak ketawa meskipun jang
diinginkan airmata. Hal jang sudah djelas tambah
diper-djelas, sehingga film jang sebenarnja bisa baik
mendjadi bahan tertawaan.
Mungkin akan lebih berhasil andai kata film ini di-edit kembali,
diperpendek. Dan kalau bisa dimulai dengan kedatangan Giran dari
Kalimantan sambil membuang adegan-adegan konjol Tina dan Farouk.
Apa jang disadjikan sekarang ini betul-betul suatu hasil jang
tidak matang dan dengan paksa menempatkan penonton dalam kelas
tahun limapuluhan.
Ami. Sedikit mengherankan ialah Lilik sendiri: setelah hampir
rapih dalam Si Buta, ia mendjadi kedodoran dengan Tuan Tanab.
Ketjuali aspek teknik, hampir semuanja kuno. Para pemain bagai-
kan tak tersentuh sutradara, sehingga semua orang boleh punja
gaja sendiri, ketjuali barangkali Maruli Sitompul jang meskipun
masih seperti si Mata Malaikat, namun permainannja konstan. Ami
Priono hanja menang postur, sehingga kehadirannja tidak lebih
dari penempatan sebuah patung disudut jang kosong. Peranan ini
terlalu berat baginja, lagi pula dialognja mendatar tanpa nuansa
sedikitpun.
Alhasil, karja Lilik ini sama sekali tidak menggembirakan. Apa
jang ia hidangkan tidak lebih dari serentetan gambar hidup jang
hampir tidak hidup. Bagian-bagian jang seharusnja mengharukan --
pertemuan ajah dengan anak, pertemuan suami dengan isteri
--berlalu dengan tjepatnja tanpa tarikan napas pandjang
sekalipun, smentara kedjadian sambil lalu -- adegan konjol Tina,
Farouk, Suzanna dan Dicky -- digambarkan berkepandjangan seperti
mie-rebus setengah matang. Sajang sekali bahwa kesempatan jang
banjak bagi sutradara mtuk memperlihatkan kemampuannja, momen
jang tjukup buat pemain untuk membuktikan bakatnja, semuanja
beralu dengan sepi dalam kisah Tuan Tanah jang malang ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini